SURAU.CO – Allah menciptakan manusia untuk menyembah dan menghamba kepada-Nya. Al-Qur’an menegaskan: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS.adz-Dzariyat [51]: 56).
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama manusia hidup di dunia adalah beribadah, tunduk, dan taat kepada Allah. Inilah khittah manusia yang harus dijalani.
Namun dalam praktiknya, manusia beribadah dengan niat yang berbeda-beda. Ada yang beribadah karena takut, ada pula yang beribadah karena cinta. Perbedaan niat ini menunjukkan tingkatan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah. KH. Achmad Siddiq, salah satu pembaharu Nahdlatul Ulama (NU), merinci tujuh tingkatan motif manusia dalam beribadah.
1. Ibadah karena Takut (Lil Khaufi)
Pada tingkatan pertama, seseorang beribadah karena takut pada ancaman siksa Allah. Ia melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya agar terhindar dari neraka.
Motif ini tetap memiliki nilai karena rasa takut bisa menjadi benteng agar seseorang tidak jatuh ke dalam kemaksiatan. Namun, jika ia hanya berhenti pada rasa takut, ia akan merasakan hubungan kaku dengan Allah, seolah-olah Allah hanya Zat yang menakutkan.
2. Ibadah karena Harapan (Lil Rojaa’i)
Tingkatan kedua adalah melakukan ibadah karena berharap pahala dan surga. Ia berdoa layaknya pedagang yang bekerja keras untuk meraih keuntungan.
Motif ini lebih tinggi dibandingkan sekadar takut karena di dalamnya ada semangat positif untuk mengejar pahala. Namjun, ibadahnya masih terasa transaksional. Ia menjalin hubungan dengan Allah seperti penjual dengan pembeli, bukan hubungan kasih sayang yang tulus.
3. Ibadah karena Syukur (Lisy Syukri)
Pada tingkat selanjutnya, seseorang beribadah karena rasa syukur atas nikmat Allah yang tak terhitung.
Rasulullah ﷺ mencontohkan hal ini. Ketika Aisyah ra bertanya mengapa diaNabi tetap tekun beribadah padahal Allah telah menjamin surga untuknya, Nabi menjawab: “Apakah saya tidak pantas menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari-Muslim).
Ibadah pada tingkat syukur ini terasa lebih ikhlas. Ia melakukannya bukan karena takut atau sekadar berharap balasan, melainkan sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Allah.
4. Ibadah karena Ridha (Lir Ridla)
Motif berikutnya adalah ibadah karena ridha. Seseorang menerima sepenuhnya status dirinya sebagai hamba Allah, sambil berharap Allah juga meridhainya.
Pada tahap ini, ia tidak lagi memandang ibadah sebagai beban. Ia sadar sepenuhnya bahwa Allah menciptakan manusia untuk taat. Imam al-Ghazali menyebut tingkatan ini sebagai maqām orang-orang yang “tenang”, karena mereka sudah berdamai dengan kehadirannya di hadapan Allah.
5. Ibadah karena Cinta (Lil Mahabbah)
Di atas semua tingkatan itu, ada ibadah karena cinta. Seseorang yang beribadah karena cinta merasakan getaran batin yang mendalam. Ia mencintai Allah sebagai tujuan hidupnya, sehingga ia mengisi ibadahnya demi meraih cinta dan kasih sayang-Nya.
Rasa cinta menjadikan ibadah bukan lagi kewajiban, melainkan kerinduan. Ia menikmati setiap sujud, doa, dan amal yang mendekatinya kepada Sang Kekasih.
Ibnu Qayyim dalam Raudhah al-Muhibbin menulis: “Ibadah tertinggi adalah ibadah yang dilandasi rasa cinta. Cinta adalah ruh dari ibadah, dan ibadah tanpa cinta hanyalah tubuh tanpa jiwa.”
Karena cinta, ibadah menjadi nikmat. Seorang pecinta menikmati shalat sama dengan ia menikmati pertemuan dengan kekasihnya. Cinta inilah yang menggerakkan para wali, ulama, dan orang-orang saleh untuk terus beribadah dengan penuh semangat meskipun tanpa janji pahala atau ancaman siksa.
6. Ibadah karena Kewajiban (Lil Wujub)
KH. Achmad Siddiq juga menambahkan motif lain, yakni ibadah karena kewajiban. Seorang mukallaf—yang sudah baligh dan berakal—menyadari bahwa Allah membebankan syariat kepadanya. Oleh karena itu, ia menjalankan ibadah sebagai bentuk tanggung jawab.
Motif ini berada di antara rasa takut dan kesadaran. Ia melakukan ibadah karena merasa harus, meski belum tentu disertai rasa syukur atau cinta. Jika ia berhenti di tahap ini, ibadahnya cenderung formal dan kering. Namun motif ini tetap menjadi bagian dari proses menuju tingkat yang lebih tinggi.
7. Ibadah karena Kesenangan (Lit Taladz-Dzudz)
Tingkatan terakhir adalah ibadah karena kesenangan, yakni merasakan ibadah itu sendiri sebagai kenikmatan. Bagi orang-orang yang sudah sampai pada tingkatan ini, shalat terasa lebih manis dari dunia dan segala isinya, doa menjadi kelezatan hati, dan munajat menjadi kebutuhan ruhani, seperti ibadah yang dilakukan oleh para Anbiya dan Shalihin di alam barzakh dan alam akhirat, meskipun mereka sudah tidak terbebani dengan kewajiban melakukannya.
Motif Yang Merusak Ibadah
KH. Achmad Siddiq juga memperingatkan adanya motif yang dapat merusak ibadah, seperti riya (ingin dipuji), ujub (bangga diri), atau ibadah demi kepentingan dunia.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu?” Beliau menjawab, “Riya.” (HR.Ahmad).
Imam al-Ghazali juga menegaskan bahwa riya adalah penyakit hati yang sangat halus yang bisa merusak nilai amal. Oleh karena itu, setiap muslim harus meluruskan niatnya agar ibadahnya tidak sia-sia.
Muhasabah: Kita di Tingkatan Mana?
Uraian KH. Achmad Siddiq mengajak kita untuk bermuhasabah. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri: saat ini kita berada di tingkatan mana? Apakah kita beribadah karena takut, karena kewajiban, atau karena mengharap pahala? Ataukah kita sudah sampai pada tingkat syukur, ridha, cinta, atau bahkan merasakan kenikmatan ibadah?
Kita tidak perlu terburu-buru merasa rendah bila masih berada di tingkat dasar. Setiap orang menempuh proses spiritual yang berbeda-beda. Yang terpenting, kita terus memperbaiki niat dan menjaga istiqamah.
Ibnu Qayyim berkata: “Perjalanan menuju Allah adalah perjalanan hati, bukan perjalanan badan. Dan niat adalah kendaraan utama.”
Dengan niat yang benar, ibadah kita akan menjadi jalan menuju keridhaan Allah, kebahagiaan di dunia, dan perjumpaan dengan-Nya di akhirat kelak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
