Khazanah
Beranda » Berita » Kemerdekaan Menurut Sufi: Menaklukkan Penjajahan dari Dalam Diri

Kemerdekaan Menurut Sufi: Menaklukkan Penjajahan dari Dalam Diri

Kemerdekaan Menurut Sufi
Ilustrasi para sufi berkumpul mendiskusikan arti kemerdekaan. Sumber foto: Meta AI

SURAU.CO. Para pemikir sufi dalam tradisi Islam telah lama membahas tentang makna kemerdekaan sejati. Jauh sebelum konsep kemerdekaan fisik dari penjajahan asing menjadi wacana politik global, para sufi sudah menggali makna lebih dalam dari kata hurriyyah. Bagi mereka, kemerdekaan tidak terbatas pada pembebasan dari belenggu kolonial atau kekuasaan eksternal. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah pembebasan jiwa dari belenggu yang lebih dalam dan merusak: hawa nafsu, keserakahan, keinginan akan pengakuan, serta ketergantungan terhadap segala hal selain Tuhan.

Merdeka dari Perbudakan

Imam Al-Qusyairi dalam risalah tasawuf klasiknya Ar-Risalah al-Qusyairiyyah menyatakan bahwa seorang yang merdeka adalah mereka yang telah terbebas dari perbudakan makhluk. “Al-hurriyah (Kemerdekaan) adalah ketika seorang hamba tidak diperbudak makhluk, dan tidak dikuasai oleh kekuatan ciptaan-Nya. Tanda yang paling jelas adalah ia tidak mampu membedakan segala sesuatu dalam hatinya, sehingga baginya semua perbuatan terlihat sama.”

Dalam pandangannya, al-hurriyyah atau kemerdekaan spiritual adalah ketika seseorang tidak lagi dikuasai oleh apa pun selain Allah. Ia tidak membiarkan harta, jabatan, status sosial, maupun opini publik memperbudaknya. Jiwa yang merdeka menjadi bening dan tenang, sehingga seluruh keputusan dan tindakannya mengalir dari kesadaran yang murni dan nurani yang bersih, bukan dari kepentingan pribadi atau tekanan eksternal.

Dalam realitas modern, bentuk-bentuk perbudakan telah bergeser dari yang bersifat fisik menjadi psikis dan sosial. Kini, manusia bisa terjerat dalam perbudakan digital, kecanduan validasi di media sosial, tekanan popularitas, atau manipulasi oleh algoritma. Tak sedikit pejabat dan pemimpin publik yang menyesuaikan arah kebijakan berdasarkan popularitas di media, bukan berdasarkan kebutuhan riil rakyat. Nafsu untuk viral, untuk disukai, untuk terus mendominasi, kerap mendorong mereka meninggalkan pertimbangan etika, empati, dan keseimbangan sosial.

Pemimpin yang Merdeka

Para sufi, yang bukan hanya ahli spiritual, tetapi juga pengamat tajam kondisi sosial, memahami bahwa nafsu tidak hanya merusak individu, tetapi juga mencemari tatanan publik. Ketika nafsu kekuasaan atau harta menguasai seorang pemimpin, ia akan menciptakan sistem yang menindas rakyat. Kebijakan yang lahir dari ego hanya akan melayani elite, bukan publik. Mereka memposisikan rakyat sebagai alat, bukan tujuan. Mereka menguras rakyat demi angka-angka ekonomi, mengeksploitasi demi pembangunan pencitraan, dan meminta rakyat  bersabar atas penderitaan yang mereka tidak ikut tentukan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kemerdekaan internal seorang pemimpin menjadi titik awal dari kebebasan sosial. Ketika ambisi dan ketakutan masih menguasai jiwa seorang penguasa, ia akan menghasilkan kebijakan yang represif. Ia tidak akan menciptakan kesejahteraan, melainkan memperluas dominasi. Seorang pejabat yang belum mampu menundukkan nafsu, akan cenderung menyalahgunakan jabatan, menjadikan kekuasaan sebagai alat memperkaya diri dan kelompoknya, serta menekan kritik demi menjaga kenyamanan semu. Itulah wujud nyata penjajahan modern oleh anak bangsa sendiri.

Kebijakan Cermin Kepemimpinan

Kita menyaksikan bukti dari hal ini dalam kasus kebijakan-kebijakan publik yang timpang dan tidak adil. Ambil contoh kebijakan di daerah seperti Pati, di mana pajak bumi dan bangunan (PBB) dinaikkan secara drastis hingga ratusan persen. Pemimpin yang hanya memikirkan target pendapatan akan mencari cara untuk menaikkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) secara cepat. Sebaliknya, pemimpin yang memiliki jiwa merdeka akan memikirkan kebutuhan rakyat agar mereka bisa berkontribusi dengan sukarela dan sejahtera. Tampak sederhana, namun mencerminkan perbedaan paradigma antara kekuasaan yang menindas dan kepemimpinan yang melayani.

Begitu pula dengan cara negara memperlakukan para guru. Jika seorang menteri melihat guru hanya sebagai beban anggaran, maka sesungguhnya ia telah kehilangan pandangan jangka panjang. Jiwa yang dibelenggu oleh kalkulasi untung-rugi tidak akan mampu menghargai jasa para pendidik sebagai pondasi kemajuan bangsa. Pemimpin yang memiliki hurriyyah sejati akan memahami bahwa pendidikan bukanlah biaya, melainkan investasi strategis untuk menciptakan peradaban.

Merdeka atau Masih Terjajah?

Penjajahan hari ini tidak dilakukan oleh serdadu asing atau korporasi kolonial, melainkan oleh aparat dan pejabat yang jiwanya belum merdeka. Mereka menciptakan ketergantungan, menekan aspirasi, dan menyulitkan kehidupan rakyat melalui kebijakan yang tidak empatik. Maka, kita perlu mempertanyakan kembali makna upacara kemerdekaan yang saban tahun kita gelar. Apa arti pengibaran bendera, jika rakyat justru dikekang oleh aturan-aturan yang merampas kesejahteraan mereka? Untuk apa meneriakkan “NKRI harga mati” jika yang dilakukan adalah menjual masa depan bangsa melalui ketidakadilan struktural?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan ajakan untuk bersikap sinis atau pesimis. Sebaliknya, ia merupakan pintu menuju kesadaran baru: bahwa perjuangan sejati pasca kemerdekaan fisik adalah perjuangan menaklukkan penjajahan dalam diri. Musuh terbesar kita hari ini bukan lagi penjajah berseragam militer, melainkan ego yang menyamar dalam bentuk ambisi politik, ketamakan ekonomi, dan ketakutan kehilangan jabatan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Meski, kemerdekaan sejati bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga setiap individu. Kita semua, baik sebagai warga biasa, intelektual, aktivis, maupun pejabat publik harus melakukan jihad an-nafs, yaitu perjuangan melawan diri sendiri. Tanpa ini, kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus hanya menjadi seremoni tanpa makna. Bangsa ini tidak akan benar-benar merdeka selama para pemimpinnya masih menjadi budak dari hawa nafsunya sendiri.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement