SURAU.CO. Dunia Islam, khususnya di Purworejo, Jawa Tengah, berduka. Pada Selasa sore, 19 Agustus 2025, langit Purworejo seakan ikut bersedih. Hujan deras membasahi kota “sejuta bedug”, seiring tersebarnya kabar duka yang menyayat hati bagi masyarakat Indonesia: KH. Muhammad Thoifur Mawardi, seorang ulama kharismatik yang akrab disapa Abah Thoifur, telah berpulang ke rahmatullah. Beliau wafat di RSUD dr. Tjitrowardojo pada pukul 16.30 WIB. Innaa Lillahi Wa Innaa Ilaihi Rajiun.
Abah Thoifur meninggal dunia setelah berjuang melawan penyakit ginjal dan hipertensi yang telah lama dideritanya. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 70 tahun 11 hari. Kepergiannya bukan hanya kehilangan bagi masyarakat Purworejo, tetapi juga kehilangan besar bagi umat Islam secara keseluruhan. Masyarakat merasa kehilangan sosok panutan, guru, dan teladan yang hidupnya sarat dengan ilmu, karisma, dan kesederhanaan.
Abah Thoifur-Silsilah Keluarga Ulama
KH. Muhammad Thoifur Mawardi lahir di Purworejo pada 8 Agustus 1955. Beliau adalah putra dari KH. R. Mawardi, seorang ulama terkemuka di daerahnya. Silsilah keluarganya terhubung dengan dzurriyyah KH. R. Imam Maghfuro, tokoh besar Karesidenan Kedu. Bahkan, garis keturunannya terhubung dengan trah Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Sejak kecil, Abah Thoifur akrab dengan al-Qur’an dan kitab kuning. Ia rajin mengaji, tekun menghafal, dan menunjukkan daya ingat yang luar biasa. Dari usia dini, ia sudah menumbuhkan kecintaan pada ilmu agama hingga berakar kuat dalam jiwanya.
Abah Thoifur dan Perjalanan Intelektual
Perjalanan menuntut ilmu Abah Thoifur sangatlah berwarna. Beliau berkelana dari pesantren ke pesantren. Perjalanan dimulai dari Pesantren Sugihan Kajoran Magelang, lalu ke Pesantren Lasem Rembang, dan akhirnya menetap di Ma’had Rushaifah Makkah serta pulang ke Kedungsari, Purworejo mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Daarut Tauhid..
Pada tahun 1976, Abah Thoifur berangkat ke Tanah Suci untuk menimba ilmu langsung dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, seorang ulama besar di Makkah. Selama 12 tahun, beliau tinggal di Makkah, dengan tekun mempelajari ilmu fiqih, hadis, dan tasawuf. Dari sanalah, keilmuan beliau semakin dikenal luas.
Para santri dan ulama kemudian menjuluki beliau sebagai “kitab berjalan”. Julukan ini sangatlah beralasan. Abah Thoifur mampu mengutip isi kitab-kitab klasik secara lengkap, mulai dari dalil, sanad, hingga rincian yang biasanya hanya bisa diakses langsung dari teks.
Karunia Spiritual dan Kisah Bi’ru Thoifur
Selain keilmuannya yang luas, Abah Thoifur juga mendapatkan karunia spiritual yang luar biasa. Banyak orang percaya bahwa beliau sering bermimpi bertemu dengan Rasulullah Muhammad Saw. Santri dan masyarakat pun seringkali sowan, berharap mendapatkan doa dan pengalaman spiritual serupa.
Salah satu kisah yang sangat terkenal adalah Bi’ru Thoifur, atau Sumur Thoifur. Ketika masih di Rushaifah, Sayyid Muhammad, guru beliau, meminta Abah Thoifur membuat sumur. sesaat kemudiam Ia beristikharah dan mendapatkan petunjuk dalam mimpi dengan menyaksikan Rasulullah Muhammad Saw menunjukkan lokasi sumur. Beliau menggali tanah itu hingga mengeluarkan air yang menghidupi santri hingga hari ini. Inilah salah satu karunia besar dalam perjalanan spiritual beliau.
Abah Thoifur Mendirikan Pesantren
Pada tahun 1988, Abah Thoifur kembali ke tanah air. Beliau tidak mencari panggung besar atau posisi terhormat di ibu kota. Sebaliknya, beliau memilih untuk mengabdi di kampung halamannya dengan mendirikan Pondok Pesantren Daarut Tauhid Kedungsari, Purworejo.
Pesantren ini berkembang pesat, dengan ribuan santri dan mempunyai banyak pesantren cabang. Beliau mengajar dengan metode yang sederhana namun mendalam: tekun membaca kitab kuning, disiplin dalam ibadah, dan latihan spiritual yang intensif. Adab adalah hal yang paling beliau tekankan. Pesan beliau sangat jelas: “Ilmu tanpa adab hanya akan membuatmu sombong. Tetapi ilmu yang diiringi adab akan mengangkatmu di sisi Allah.”
Selain mendidik santri, Abah Thoifur juga aktif berdakwah di masyarakat. Majelis pengajian beliau hadir di berbagai daerah. Melalui sanad keilmuan yang beliau dapatkan dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, beliau menjadi penghubung antara ulama Haramain dan pesantren di Nusantara.
Kehidupan Sederhana dan Ilmu yang Mendalam
Meskipun namanya begitu masyhur, Abah Thoifur tetap hidup sederhana. Beliau menolak kemewahan dan lebih memilih untuk duduk di serambi pesantren bersama para santri. Hari-harinya diisi dengan dzikir, wirid, dan mengajar. Dari beliau, orang-orang melihat bagaimana ilmu dan amal berjalan beriringan. Banyak murid beliau yang kini menjadi pengasuh pesantren, muballigh, dan tokoh masyarakat. Namanya juga tercatat dalam forum-forum ilmiah dan spiritual.
Kini, Abah Thoifur memang telah tiada. Namun, jejak perjuangan beliau akan tetap hidup:
- Pondok Pesantren Daarut Tauhid Kedungsari dan pesantren cabang akan terus mencetak kader-kader ulama.
- Sanad keilmuan fiqih dan tasawuf yang beliau bawa sampai kepada Rasulullah Muhammad Saw tetap terjaga.
- Ribuan alumni siap melanjutkan perjuangan intelektual dan spiritual beliau.
- Teladan hidup sederhana dan zuhud akan terus menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Purworejo, Jawa Tengah bahkan Indonesia, telah kehilangan salah satu pelita cahaya. Namun, cahaya ilmu dan karomah Abah Thoifur tidak akan pernah padam. Beliau telah kembali ke haribaan Ilahi, mungkin dengan senyum lega karena akhirnya dapat berjumpa kembali dengan Rasulullah Muhammad Saw yang sangat beliau cintai. Lahul Fatihah (kareemustofa)
Diolah dari berbagai sumber
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
