Adab Menyebut Nama Rasulullah ﷺ
Salah satu wujud cinta kita kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah menjaga adab ketika menyebut nama beliau. Allah Ta’ala mengingatkan dalam Al-Qur’an agar kita tidak memanggil Rasulullah sebagaimana kita memanggil manusia biasa. Firman Allah:
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” (QS. An-Nur)
Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ memiliki kedudukan mulia, yang harus kita hormati dengan sebutan yang terhormat pula. Karenanya, para ulama mengajarkan kita agar tidak menyebut nama beliau dengan sekadar “Muhammad” saja, kecuali dalam konteks membaca ayat Al-Qur’an atau hadits yang memang demikian bunyinya.
Sebaliknya, kita dianjurkan menyebut beliau dengan sebutan yang penuh penghormatan, seperti:
Rasulullah ﷺ (Utusan Allah)
Nabiyyullah ﷺ (Nabi Allah)
Atau dengan kunyah beliau, yaitu Abul Qasim
Hal ini bukan sekadar aturan formal, melainkan bentuk nyata dari cinta, hormat, dan pengagungan kita kepada kekasih Allah. Menyebut beliau dengan adab yang benar akan menumbuhkan rasa ta’zim dalam hati, serta menjaga lisan kita dari meremehkan sosok yang menjadi teladan utama umat Islam.
Bayangkan, jika terhadap guru duniawi saja kita terbiasa menyebut dengan gelar hormat, apalagi terhadap Rasulullah ﷺ yang membawa risalah suci bagi keselamatan umat manusia.
Menghidupkan Adab dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Dalam Majelis Ilmu
Saat guru atau ustadz menyebut nama beliau, kita membalas dengan membaca shalawat sebagai wujud cinta.
2. Dalam Penulisan
Saat menulis nama beliau, hendaknya ditambahkan lafaz Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ﷺ) sebagai penghormatan.
3. Dalam Doa dan Dzikir
Perbanyaklah bershalawat, karena setiap shalawat yang kita ucapkan akan kembali kepada kita dengan sepuluh rahmat dari Allah.
Cinta Tumbuh dari Adab
Cinta kepada Rasulullah ﷺ bukan hanya diucapkan, tetapi dibuktikan dengan sikap nyata. Salah satu bentuk paling sederhana namun sangat bermakna adalah dengan menjaga adab ketika menyebut nama beliau. Inilah yang membedakan seorang mukmin sejati dari orang yang sekadar mengenal nama Nabi.
Semoga Allah jadikan kita umat yang selalu menaruh hormat, cinta, dan kerinduan kepada Rasulullah ﷺ. Dan semoga dengan menjaga adab, kita termasuk golongan yang mendapatkan syafaat beliau kelak di hari kiamat.
“Sesungguhnya orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi)
Mari hidupkan adab, perbanyak shalawat, dan tunjukkan cinta kita kepada Rasulullah ﷺ melalui lisan, tulisan, dan perbuatan.
BERMUHAMMADIYAH YANG BERIDEOLOGI
Konsekuensi logis dari sebuah organisasi besar dengan amal usaha yang tersebar luas adalah munculnya tantangan yang sepadan dengan besarnya gerakan tersebut. Demikian pula Muhammadiyah. Amal usaha Muhammadiyah yang hadir di berbagai bidang—pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, hingga pelayanan kemasyarakatan—telah menjadikannya organisasi modern Islam yang berpengaruh luas. Namun di balik keberhasilan itu, ada tantangan serius: derasnya arus anggota atau kader baru yang masuk tanpa proses seleksi ideologis yang matang.
Fenomena ini sesungguhnya wajar dan juga dialami oleh banyak organisasi besar lainnya. Di satu sisi, daya tarik Muhammadiyah begitu kuat: sebagai organisasi besar dengan amal usaha yang mapan, Muhammadiyah menjadi tempat tujuan bekerja bagi para profesional dan pencari kerja. Bahkan sebagian pihak masuk ke persyarikatan hanya demi kepentingan politik, memanfaatkan dukungan warga Muhammadiyah pada momentum politik nasional maupun lokal.
Di sisi lain, Muhammadiyah memang secara teknis membutuhkan SDM yang kompeten agar amal usaha terus berjalan. Tetapi jika masuknya kader baru hanya berlandaskan kepentingan duniawi—bekerja atau politik semata—tanpa ikatan ideologi, maka dalam jangka panjang hal ini bisa melemahkan ruh gerakan. Muhammadiyah berisiko kehilangan arah, bahkan berpotensi mengalami konflik internal yang kering dari makna perjuangan.
Penguatan Ideologi
penguatan ideologi Muhammadiyah menjadi hal yang niscaya. Para kader lama harus terus dirawat orientasinya agar tetap konsisten bermuhammadiyah dengan nilai Islam yang berkemajuan. Sementara kader baru harus ditanamkan sejak awal bahwa bergabung dengan Muhammadiyah bukan semata untuk mencari nafkah atau kekuasaan, melainkan untuk beramal shalih, berjuang, dan berkontribusi bagi umat, bangsa, dan negara. Dengan begitu, setiap kader akan memahami arti sejati “Bermuhammadiyah yang Berideologi.”
Penguatan ideologi ini tidak boleh berjalan setengah hati. Ia harus dikawal dengan kesungguhan (istiqamah) melalui:
Pengajian-pengajian Muhammadiyah yang mencerahkan.
Pengkaderan formal yang menanamkan paham Islam berkemajuan.
Pertemuan dan musyawarah di majelis-majelis, ortom, dan lembaga Muhammadiyah di semua tingkatan.
Dengan langkah-langkah itu, Muhammadiyah akan tetap kokoh sebagai gerakan Islam modern yang berkemajuan, bukan sekadar organisasi sosial atau birokrasi amal usaha. Sehingga seluruh kader benar-benar bergerak dengan ruh Islam yang murni, berlandaskan ideologi persyarikatan, dan menghidupi semangat dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Penutupnya: Muhammadiyah bukan hanya wadah bekerja, melainkan jalan perjuangan. Kader yang sejati adalah mereka yang bermuhammadiyah dengan kesadaran ideologis—bukan sekadar hadir, tetapi hadir untuk menegakkan Islam yang berkemajuan. (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
