Sosok
Beranda » Berita » Haji Agus Salim: Harmoni Nasionalisme, Intelektualitas, dan Islam

Haji Agus Salim: Harmoni Nasionalisme, Intelektualitas, dan Islam

Ilustrasi Sosok Haji Agus Salim

SURAU.CO – Indonesia mengenal banyak pahlawan besar. Namun, sedikit yang memiliki spektrum keahlian seluas Haji Agus Salim. Ia adalah seorang nasionalis militan. Selain itu, ia juga ulama intelektual yang disegani. Peranannya sebagai diplomat ulung bahkan diakui dunia internasional. Sosoknya menjadi bukti nyata bahwa Islam, modernitas, dan nasionalisme dapat berjalan harmonis.

Kisah hidupnya menawarkan teladan yang tidak lekang oleh waktu. Ia tidak hanya berjuang dengan fisik. Justru, kekuatan utamanya terletak pada pena dan pemikirannya yang tajam. Oleh karena itu, memahami perjalanan hidup Haji Agus Salim adalah memahami salah satu fondasi penting Republik Indonesia.

Awal Kehidupan dan Transformasi Intelektual

Lahir dengan nama Mashudul Haq di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884. Sejak muda, ia menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Agus Salim berhasil menempuh pendidikan di sekolah Belanda, Hogere Burgerschool (HBS). Ia bahkan lulus sebagai salah satu siswa terbaik se-Hindia Belanda.

Namun, titik balik dalam hidupnya terjadi saat ia bekerja di konsulat Belanda di Jeddah. Di kota suci inilah, ia memperdalam ilmu agama secara intensif. Ia belajar langsung dari ulama-ulama besar. Pengalaman ini membentuk identitas barunya. Agus Salim kemudian menjelma menjadi seorang Muslim terpelajar dengan wawasan global. Sekembalinya ke tanah air, ia pun segera bergabung dengan pergerakan nasional.

Peran Sentral di Sarekat Islam

Haji Agus Salim menemukan wadah perjuangannya dalam Sarekat Islam (SI). Organisasi ini menjadi panggung utama bagi pemikiran-pemikirannya. Bersama H.O.S. Tjokroaminoto, ia membesarkan SI menjadi organisasi massa terbesar saat itu. Agus Salim aktif menulis dan berpidato. Tulisannya seringkali mengkritik tajam kebijakan pemerintah kolonial.

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Di dalam Sarekat Islam, ia memperjuangkan ide “Islampolitik”. Menurutnya, ajaran Islam harus menjadi landasan etika dalam berpolitik dan bernegara. Ia percaya bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah. Kemerdekaan juga berarti menegakkan keadilan sosial sesuai prinsip-prinsip Islam. Perjuangannya ini mengukuhkan posisinya sebagai tokoh nasionalis Muslim terkemuka.

Diplomat Ulung Berjuluk “The Grand Old Man”

Kecerdasan Haji Agus Salim tidak hanya terbatas pada teori. Ia adalah seorang poliglot yang menguasai sedikitnya sembilan bahasa asing. Kemampuan ini menjadikannya diplomat andalan bagi Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan. Ia memimpin banyak misi diplomatik penting ke negara-negara Timur Tengah.

Salah satu pencapaian terbesarnya adalah keberhasilan meraih pengakuan kedaulatan dari Mesir. Kemudian, diikuti oleh negara-negara Arab lainnya. Perannya yang vital dalam diplomasi ini membuatnya sangat dihormati. Bahkan, ia mendapatkan julukan “The Grand Old Man” karena kebijaksanaan dan pengalaman luasnya di panggung internasional. Julukan ini membuktikan betapa besar pengaruhnya bagi bangsa.

Soekarno pernah mengakui kehebatannya dengan berkata, “Kecerdasan dan kefasihan lidahnya membuat setiap orang terpesona.”

Ulama Intelektual dengan Gaya Hidup Sederhana

Di balik citranya sebagai pejabat tinggi dan diplomat, Haji Agus Salim adalah pribadi yang sangat sederhana. Ia dan keluarganya hidup dalam kondisi yang jauh dari kemewahan. Rumahnya sering berpindah-pindah dan mengontrak. Ia tidak pernah memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri. Prinsip ini ia pegang teguh hingga akhir hayatnya.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Kesederhanaan ini sejalan dengan kedalaman ilmu agamanya. Ia adalah seorang ulama yang tidak hanya pandai beretorika. Lebih dari itu, ia mempraktikkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Baginya, integritas adalah segalanya. Seperti yang pernah ia tulis, “Memimpin adalah menderita.” Kutipan ini mencerminkan pandangannya bahwa kekuasaan adalah amanah berat, bukan fasilitas.

Warisan Abadi untuk Indonesia

Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954. Namun, warisan pemikiran dan teladannya tetap hidup. Ia menunjukkan bahwa menjadi seorang Muslim yang taat tidak menghalangi seseorang untuk menjadi nasionalis sejati. Sebaliknya, ia membuktikan bahwa keduanya dapat saling menguatkan.

Pada akhirnya, Haji Agus Salim adalah paket lengkap seorang bapak bangsa. Ia seorang pemikir, pejuang, diplomat, dan ulama. Kisahnya mengajarkan generasi muda tentang pentingnya ilmu pengetahuan, integritas, dan pengabdian tanpa pamrih kepada negara. Ia adalah bukti bahwa intelektualitas dan spiritualitas mampu melahirkan kekuatan besar untuk perubahan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement