SURAU.CO – Setiap hari, kita berinteraksi dengan konsep “harta”. Harta menjadi pusat dari berbagai aktivitas muamalah. Mulai dari jual beli, sewa, hingga kewajiban membayar zakat, semuanya tidak bisa lepas dari harta. Namun, sudahkah kita memahami apa sebenarnya definisi harta menurut syariat Islam? Pertanyaan ini menjadi sangat penting, terutama saat kita membahas aset tak berwujud seperti manfaat, jasa, dan keahlian profesional.
Definisi Harta (Al-Maal) Menurut Para Ulama
Secara bahasa, kata Arab al-maal (harta) memiliki akar kata yang berarti condong atau cenderung. Hal ini sangat sesuai dengan sifat alamiah manusia. Manusia memang cenderung mencintai, memiliki, dan menguasai harta.
Adapun secara istilah, para ulama fikih memberikan definisi yang lebih teknis. Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali mendefinisikan harta sebagai:
“Sesuatu yang memiliki nilai jual, dan adanya ganti rugi bagi siapa saja yang merusaknya.”
Definisi ini mengandung dua unsur utama. Pertama, sebuah benda harus memiliki nilai ekonomis di tengah masyarakat. Kedua, hukum memberlakukan sanksi ganti rugi jika ada orang yang merusaknya. Oleh karena itu, ulama tidak menganggap sesuatu yang remeh seperti sebiji gandum sebagai harta.
Berbeda dengan jumhur, ulama Hanafiyah memberikan syarat tambahan. Mereka mendefinisikan harta sebagai:
“Sesuatu yang tabiat manusia cenderung kepadanya dan bisa disimpan untuk digunakan saat dibutuhkan.”
Bagi mazhab Hanafi, kemampuan untuk disimpan (iddikhar) menjadi syarat mutlak. Sesuatu yang tidak dapat mereka simpan secara fisik, seperti aroma wewangian, tidak termasuk dalam kategori harta.
Perdebatan Inti: Apakah Manfaat Termasuk Harta?
Perbedaan definisi di atas kemudian melahirkan sebuah perdebatan klasik. Para fukaha membahas secara mendalam status “manfaat” (manfa’ah). Manfaat adalah kegunaan atau faedah dari suatu benda atau jasa, misalnya manfaat menempati rumah sewaan. Apakah manfaat ini bisa kita sebut sebagai harta?
Pandangan Mayoritas Ulama (Jumhur)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa manfaat bukanlah harta. Alasan utama mereka sederhana: manfaat tidak memiliki wujud fisik yang mandiri. Manusia tidak bisa memegang, melihat, atau menyimpan manfaat itu sendiri. Karena tidak memenuhi syarat “bisa disimpan”, mereka pun tidak menganggapnya sebagai harta.
Pandangan Mazhab Syafi’i
Di sisi lain, ulama dari mazhab Syafi’i menawarkan pandangan yang berbeda. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa manfaat termasuk dalam kategori harta. Argumen mereka sangat logis dan relevan. Menurut mereka, tolok ukur utama dari harta adalah adanya nilai dan kegunaan yang masyarakat akui.
Faktanya, orang bersedia membayar mahal hanya untuk mendapatkan suatu manfaat. Seseorang rela membayar jutaan rupiah untuk menyewa rumah dan memperoleh manfaat tinggal di dalamnya. Karena masyarakat menghargai manfaat dan mau mentransaksikannya, maka manfaat layak disebut sebagai harta.
Imam As-Suyuthi, seorang ulama besar mazhab Syafi’i, memperkuat pandangan ini:
“Manfaat-manfaat itu seperti benda (al-a’yan) dalam kepemilikan. Oleh karena itu, manfaat bisa diwariskan dan bisa menjadi objek wasiat.”
Banyak ahli fikih kontemporer menganggap pendapat mazhab Syafi’i ini lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Pandangan ini mampu menjawab tantangan ekonomi modern yang banyak bertumpu pada jasa dan aset tak berwujud.
Implikasinya pada Keahlian dan Jasa Profesional
Lalu, bagaimana diskusi ini berlaku untuk keahlian, keterampilan, atau jasa profesional? Pada dasarnya, keahlian adalah sumber yang menghasilkan suatu manfaat atau jasa.
Jika kita mengikuti pandangan mayoritas ulama, maka keahlian bukanlah harta dalam arti sesungguhnya. Namun, jika kita mengacu pada pendapat mazhab Syafi’i, maka keahlian dan jasa yang dihasilkannya jelas merupakan harta. Keduanya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dan terus menjadi objek transaksi di tengah masyarakat.
Praktik syariat sendiri mendukung pandangan kedua. Contohnya, Rasulullah SAW pernah menyetujui mahar berupa jasa mengajarkan hafalan Al-Qur’an. Peristiwa ini menunjukkan bahwa syariat mengakui nilai dari sebuah jasa dan menganggapnya setara dengan harta benda.
Meskipun ulama klasik berbeda pendapat, pandangan yang menganggap manfaat dan jasa sebagai harta memiliki landasan yang sangat kuat. Pendapat inilah yang memberikan kepastian hukum dalam berbagai transaksi modern, termasuk menjadi dasar bagi perhitungan zakat profesi yang bersumber dari keahlian seseorang.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
