Khazanah
Beranda » Berita » Setelah Hujan Reda, Payung Jadi Beban ( Renungan Tasawuf tentang Melepaskan Dunia)

Setelah Hujan Reda, Payung Jadi Beban ( Renungan Tasawuf tentang Melepaskan Dunia)

Hujan
Seorang pejalan spiritual meneduh di bawah payung

SURAU.CO – Hujan selalu membawa cerita. Ketika langit menumpahkan airnya, manusia sigap mencari perlindungan berlari ke teras, memakai jas hujan, atau membuka payung. Saat itu, payung terasa berharga, bahkan menjadi penyelamat dari dingin yang menusuk tulang. Namun begitu hujan reda dan matahari muncul, payung yang tadi kita genggam erat justru berubah menjadi beban.

Fenomena sederhana ini sering terjadi, tetapi jarang direnungkan. Padahal, kehidupan manusia penuh dengan “payung-payung” serupa sesuatu yang kita anggap penting, kita genggam mati-matian, bahkan kita perjuangkan habis-habisan, namun pada akhirnya hanya menjadi beban yang perlu dilepas.

Payung sebagai Simbol Perantara

Al-Qur’an menggambarkan hujan sebagai rahmat Allah:

وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءًۭ بِقَدَرٍۢ فَأَسْكَنَّـٰهُ فِى ٱلۡأَرۡضِ ۖ وَإِنَّا عَلَىٰ ذَهَابٍۢ بِهِۦ لَقَـٰدِرُونَ
“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS. Al-Mu’minun: 18)

Ayat ini menegaskan bahwa hujan hanyalah perantara kasih sayang Allah. Sama halnya dengan payung, ia bukan sumber perlindungan, melainkan alat sementara untuk menahan derasnya air. Begitu fungsinya selesai, ia kehilangan makna.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam tradisi tasawuf, perantara ini disebut wasîlah, sesuatu yang membantu perjalanan ruhani. Namun seorang salik (penempuh jalan spiritual) tidak boleh terjebak pada perantara. Seperti payung, ketika tugasnya selesai, ia harus ditutup. Bila masih digenggam erat, justru ia menambah berat langkah menuju Allah.

Nafsu Duniawi (Payung yang Menutup Cahaya)

Nafsu seringkali menyerupai payung. Pada tahap tertentu, ia berguna untuk menjaga kelangsungan hidup, mencari rezeki, atau melindungi diri dari kesusahan. Namun jika manusia terus menggenggamnya tanpa mampu meletakkan, nafsu itu justru berubah menjadi hijab antara hati dengan Allah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji sawi.” (HR. Muslim)

Kesombongan, kelekatan pada harta, atau obsesi popularitas bisa menjadi “payung” yang awalnya kita gunakan untuk menutupi rasa rendah, namun akhirnya malah menutup cahaya hati. Dalam filsafat tasawuf, nafs memang disebut sebagai hijab  penghalang antara manusia dan Tuhannya.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Melepaskan untuk Menjadi Ringan

Bayangkan seseorang berjalan jauh sambil terus membawa payung besar, padahal langit sudah cerah. Ia akan cepat lelah, bahkan langkahnya terhambat. Demikian pula manusia yang terlalu lama menggenggam “alat bantu” duniawi ambisi, jabatan, bahkan ritual yang hanya berhenti di kulit luar.

Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam menulis:

“Al-ghabiyyu man taraqqaba an yantahî as-sayru ilâLlah ‘inda al-a‘mâl al-jâriyah, wa lam ya‘rif anna al-maqshûd huwa al-fanâ’ fîLlah.”
“Manusia bodoh adalah yang mengira perjalanan menuju Allah terhenti pada amal lahir, tanpa menyadari bahwa tujuan sejati adalah fana’ (lenyapnya diri) dalam-Nya.”

Amal lahiriah memang penting seperti payung yang melindungi saat hujan. Namun, ketika kesadaran akan kehadiran Allah sudah diraih, seseorang harus berani meletakkan egonya terhadap amal itu. Amal tidak ditinggalkan, tetapi tidak lagi dianggap sebagai penyelamat. Sebab yang menyelamatkan hanyalah Allah semata.

Hidup Dari Hujan ke Cahaya

Hidup manusia ibarat cuaca. Ada masa hujan deras, ketika kita membutuhkan perlindungan. Ada masa terang, ketika kita harus berani melangkah ringan. Sayangnya, banyak orang terjebak dalam mentalitas “payung abadi”—enggan melepaskan sesuatu yang pernah menolongnya.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Padahal, Allah sendiri mengingatkan:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍۢ، وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَـٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ
“Segala sesuatu yang ada di bumi akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 26–27)

Harta, kedudukan, bahkan tubuh kita sendiri pada akhirnya akan sirna. Yang kekal hanyalah Allah. Maka, sebagaimana payung yang harus ditutup ketika hujan berhenti, segala keterikatan duniawi pun harus dilepas agar jiwa ringan menuju-Nya.

Hikmah: Belajar Meletakkan Payung

Dari renungan ini, ada beberapa hikmah yang bisa kita petik:

  1. Jangan melekat pada perantara. Payung, amal, bahkan guru spiritual hanyalah jalan. Tujuan akhir tetap Allah.
  2. Kenali waktu untuk melepaskan. Saat hujan reda, letakkan payung. Saat jiwa matang, jangan lagi terikat pada formalitas yang membuat berat.
  3. Keringanan adalah tanda kedekatan. Semakin ringan langkah hidup kita dari beban duniawi, semakin dekat jiwa dengan Allah.
  4. Segala yang fana hanyalah titipan. Dunia bukan untuk digenggam mati-matian, melainkan untuk dimanfaatkan seperlunya.

Setelah Hujan, Biarkan Tangan Kosong

Payung memberi kita pelajaran sederhana: sesuatu yang berguna pada waktunya bisa berubah menjadi beban bila tak mampu kita lepaskan. Demikian pula hidup. Nafsu, ambisi, bahkan amal lahiriah bisa menjadi penghalang bila kita lupa pada tujuan akhir: Allah.

Hidup yang bijak adalah hidup yang tahu kapan harus memakai, dan kapan harus meletakkan. Di zaman modern, payung itu bisa berupa gawai yang tak pernah lepas dari genggaman, status sosial yang kita banggakan, atau rutinitas ibadah yang kita jalani tanpa ruh. Semuanya baik pada waktunya, tetapi bisa menjadi beban bila tidak dilepaskan.

Setelah hujan reda, payung sebaiknya ditutup. Setelah jiwa menemukan cahaya, tangan sebaiknya dibiarkan kosong. Dengan begitu, kita bisa meraih pelukan Allah dengan langkah yang lebih ringan.

Penulis : Reza Andik Setiawan (Serambi Bedoyo)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement