Opinion
Beranda » Berita » Diam Adalah Kebijaksanaan: Adab Penuntut Ilmu di Era Media Sosial

Diam Adalah Kebijaksanaan: Adab Penuntut Ilmu di Era Media Sosial

Adab Penuntut Ilmu di Era Media Sosial
Ilustrasi seorang penuntuk ilmu sedang main media sosial. Sumber foto: Meta AI

SURAU.CO. Kehadiran media sosial telah mengubah lanskap komunikasi manusia secara drastis. Kini, siapa saja dapat menyampaikan pendapat, komentar, dan analisis tanpa batasan waktu dan tempat. Platform digital memberi panggung luas bagi jutaan suara, namun tidak semua suara membawa nilai atau kebenaran. Di tengah derasnya arus informasi, para penuntut ilmu agama justru memikul tanggung jawab moral dan ilmiah untuk menjaga adab berbicara. Dalam konteks ini, sikap diam bukanlah kelemahan, tetapi bentuk kematangan intelektual dan spiritual.

Penuntut ilmu semestinya menyadari bahwa tidak semua isu layak untuk dikomentari, apalagi jika permasalahan tersebut bersifat kompleks, menyangkut hajat hidup orang banyak, atau berkaitan dengan isu syar’i yang membutuhkan penguasaan ilmu mendalam. Ketika seseorang yang belum memahami dasar-dasar ilmu agama, dan belum menelaah ushul fiqh atau kaidah-kaidah istinbath (pengambilan hukum) berani berbicara, maka risiko penyimpangan dan munculnya pendapat yang ganjil sangat besar.

Nasehat Ulama Salaf

Ungkapan para ulama salaf sangat relevan dalam konteks ini. Imam Adz-Dzahabi menasihati, “Apabila terjadi fitnah, berpegang teguhlah pada Sunnah dan tetaplah diam. Janganlah engkau disibukkan dengan yang tidak bermanfaat dan yang masih meragukan (musykil).” (Siyar A’lam An-Nubala, 20/141). Nasihat ini menegaskan bahwa sikap diam di tengah fitnah bukan berarti pasif, tetapi bagian dari strategi adab dan kehati-hatian ilmiah. Dalam kondisi kekacauan opini, lebih baik kita menjaga diri daripada menyumbang kerancuan.

Sayangnya, banyak penuntut ilmu hari ini tergoda untuk terjun dalam perdebatan daring meskipun belum memiliki kapabilitas keilmuan yang memadai. Mereka terdorong untuk berkomentar tentang isu-isu viral, meskipun permasalahan itu menyentuh aspek fikih, politik syariah, atau aqidah yang memerlukan pengetahuan mendalam, bukan hanya logika awam atau narasi populer.

Barang siapa yang berbicara di luar ilmunya, akan muncul pendapat yang aneh-aneh. Salah satu adab bagi kita penuntut ilmu adalah banyak diam daripada berbicara.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim mengingatkan bahwa, “Seorang alim memiliki kewajiban untuk rendah hati di hadapan Allah, baik dalam keadaan sepi maupun ramai, dan hendaknya ia menahan diri dari hal-hal yang meragukannya.” Ini menunjukkan bahwa seorang penuntut ilmu membangun kewibawaannya dengan bersikap hati-hati dan takut kepada Allah dalam setiap ucapannya, bukan dengan banyaknya komentar yang ia lontarkan.

Ilmu komunikasi mengenal prinsip “silent wisdom”, di mana keheningan yang bermakna menunjukkan kebijaksanaan seseorang. Seorang yang benar-benar menguasai ilmu cenderung tidak gegabah dalam berbicara. Ia akan mempertimbangkan validitas data, metode istinbath, serta maslahat dan mafsadat dari ucapannya. Ia memahami bahwa kalimat bukan sekadar kata-kata, tetapi cerminan tanggung jawab di hadapan Allah dan umat.

Perintah Menjaga Lisan

Lebih jauh, Islam menempatkan lisan sebagai salah satu sumber utama keselamatan atau kehancuran. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadits ini tidak hanya mengatur etika sosial, tetapi juga menjadi fondasi bagi bangunan moral seorang muslim, terlebih lagi penuntut ilmu.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi tentang satu perkara penting untuk dijadikan pegangan hidup. Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Rabbku adalah Allah’, lalu istiqamahlah.” Ketika Sufyan bertanya, “Apa yang paling Anda khawatirkan atasku?”, Rasulullah ﷺ memegang lidah beliau sendiri dan berkata, “Ini.” Hadits ini menunjukkan betapa besar dampak yang ditimbulkan oleh lisan. Ia bisa menjadi alat dakwah, tetapi juga bisa berubah menjadi sumber fitnah dan kerusakan jika tidak dijaga.

Secara psikologis, keinginan untuk terus berkomentar seringkali muncul dari dorongan ego, kehausan eksistensi, atau ilusi bahwa opini kita selalu dibutuhkan. Namun, dalam tradisi keilmuan Islam, adab mendahului ilmu. Ulama terdahulu sangat berhati-hati dalam berbicara, bahkan Imam Malik bin Anas pernah berkata, “Setiap orang bisa diambil dan ditolak pendapatnya kecuali penghuni kubur ini (sambil menunjuk makam Rasulullah ﷺ).”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Penuntut ilmu sejati akan memupuk rasa takut kepada Allah dalam setiap ucapannya. Ia menyadari bahwa satu kalimat bisa menjadi sebab turunnya rahmat, namun juga bisa menjadi sebab tergelincir ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kalimat tanpa ia pikirkan dampaknya, maka ia akan terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dan barat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Menjadi Cahaya di Tengah Keramaian

Di era kebisingan informasi seperti sekarang, penuntut ilmu tidak boleh kehilangan jati dirinya. Ia harus tampil sebagai mercusuar ketenangan, bukan pemantik polemik. Diam bukan berarti tidak peduli, melainkan bentuk kematangan dan ketundukan kepada prinsip-prinsip ilmiah dan adab syar’i. Maka, sebelum menggerakkan jari untuk mengetik atau mengeluarkan opini, tanyakan pada diri: apakah ini bermanfaat, apakah ini mendekatkan pada kebenaran, atau hanya akan memperkeruh keadaan?

Menjaga lisan adalah kunci keselamatan. Dan keselamatan lisan adalah salah satu tanda kebijaksanaan dalam menuntut ilmu.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement