SURAU.CO – Umar bin Khattab, salah satu dari empat sahabat utama Rasulullah dalam sejarah Islam sebagai khalifah yang memimpin pembebasan (futuhat) Yerusalem pada tahun 637 M. Peristiwa ini sangat monumental karena menunjukkan dunia bagaimana Islam menaklukkan sebuah kota suci dengan cara yang damai dan penuh toleransi.
Umar bin Khattab yang Adil
Menurut Simon Sebag Montefiore, ketika Umar bin Khattab melihat Yerusalem dari Bukit Scopus, sang Amirul Mukminin memerintahkan muazinnya untuk mengumandangkan azan. Setelah shalat, ia mengenakan jubah putih, menunggang seekor onta putih dan turun untuk menjumpai Sophronius–Uskup Agung Yerusalem.
Jajaran petinggi Byzantium menunggu sang penakluk, jubah-jubah Romawi Timur yang penuh perhiasan kontras dengan kesederhanaan Umar. Umar bin Khattab–sang Amirul Mukminin–yang semasa muda jawara berkelahi, adalah seorang asketis yang bersikap keras dan selalu membawa cambuk.
Konon, ketika Nabi Muhammad memasuki satu ruangan, kaum perempuan dan anak-anak masih akan terus tertawa dan bercakap-cakap, tapi ketika mereka melihat Umar masuk, mereka langsung diam. Dialah yang memulai pengodifikasian al-Quran, menciptakan kalender Muslim dan banyak hukum Islam. Dia memberlakukan aturan-aturan yang jauh lebih tegas. Ketika putranya sendiri–Abdullah bin Umar–mabuk, Umar memerintahkan hukuman cambuk dengan delapan kali pukulan, yang kemudian menyebabkan kematiannya.
Tunduknya Yerusalem
Sophronius menyerahkan kepada Umar bin Khattab kunci-kunci Kota Suci. Menurut Patriark Yerusalem itu, pasukan Muslim sebagian besar adalah orang-orang suku dari Hijaz atau Yaman. Mereka bepergian dengan ringan dan cepat, memakai sorban dan jubah yang sederhana. Jauh dari kemegahan kavaleri Persia dan Byzantium yang berlapis baja, hanya para panglima yang mengenakan rompi besi atau helm. Yang lain “menunggang kuda pendek berbulu kasar, pedang-pedang mereka sangat mengkilap, tapi berbalut sarung yang kusam”. Mereka membawa panah dan tombak yang diikat dengan kulit onta, dan tameng-tameng kulit sapi warna merah. Mereka merawat pedang-pedang lebar mereka, syaif, memberi nama dan melagukan syair untuk pedang-pedang itu.
Sophronius, menurut sumber-sumber Islam tradisional dari masa jauh sesudahnya, mendampingi Umar bin Khattab ke Kuburan Suci–tempat pemakaman Isa Al-Masih dan tempat kebangkitannya. Patriark Yerusalem ini berharap Umar akan mengagumi atau bahkan menerima kesucian sempurna Kristen. Ketika muazin Umar memanggil shalat para tentara itu, Sophronius mengundang sang Panglima shalat di Kuburan Suci, tapi Umar menolak.
Umar dan para tentaranya lalu memasuki Kuil bersama Kaab al-Ahbar. Umar minta ia menunjukkan Holy of Holies–bagian paling suci dari kuil bangsa Israel kuno Yerusalem. Sebagai pemeluk Kristen dari Yahudi, Kaab al-Ahbar menawarkan bahwa jika Umar menjaga “dinding itu”–merujuk ke sisa-sisa terakhir warisan Herod( keluarga dinasti penguasa Yahudi dalam kekuasaan Romawi). Kaab akan akan menunjukkan kepada Umar di mana sisa-sisa Kuil. Ia menunjukkan kepada Umar batu pondasi Kuil, batu yang orang-orang Arab menyebutnya ash-shakhrah al-musharraf (batu mulia/suci).
Mesjid Umar
Bersama tentara-tentaranya, Umar mulai membersihkan debu-debu untuk membuat tempat shalat. Kaab menyarankan Amirul Mukminin memilih tempat sebelah utara batu pondasi, sehingga Umar akan memiliki dua kiblat, yakni kiblat Nabi Musa dan Nabi Muhammad.”
“Kau masih condong pada Yahudi,” kata Umar kepada Kaab, sambil menempatkan mesjid pertamanya di sebelah selatan batu, kira-kira tepat di tempat Masjid al-Aqsa kini berada. Yang membuat tempat itu menghadap ke Mekkah.
Berbagi Tempat Suci
Pada awalnya, kaum Muslim ini senang berbagi tempat suci dengan orang Kristen. Di Damaskus, mereka berbagi Gereja St. John selama bertahun-tahun dan Masjid Ummayyah di sana masih berisi makam St Yohanes Sang Pembaptis. Di Yerusalem, ada juga catatan tentang mereka berbagi gereja. Gereja Cathisma di luar kota itu sesungguhnya terdapat pula mihrab shalat Muslim.
Berlawanan dengan legenda Umar, tampaknya kaum Muslim awal pernah beribadah pada area Gereja Kuburan Suci. Orang-orang Yahudi juga menyambut orang-orang Arab setelah berabad-abad represi Byzantium. Terdapat kisah bahwa terdapat orang-orang Yahudi yang ikut berpartisipasi menunggang kuda dalam angkatan perang Islam. Bisa kita pahami, kepentingan Umar bin Khattab pada Bukit Kuil memberi harapan orang Yahudi, karena sang Amir al-Mukminin tidak hanya mengundang orang Yahudi untuk memelihara Kuil, tapi juga membolehkan mereka beribadah bersama orang Islam.
Selanjutnya Umar mengundang pemimpin komunitas Yahudi Tiberia, kaum Gaoun, dan tujuh puluh keluarga Yahudi kembali ke Yerusalem, yang kemudian mereka tinggal pada area sebelah selatan Kuil. Ia juga menempatkan orang-orang Muslim Arab, terutama orang-orang dari suku Quraish. Sebagian dari para sahabat Rasulullah kemudian datang ke Yerusalem, lalu saat meninggal mereka dikuburkan di luar Gerbang Emas.
Kisah Umar bin Khattab di Yerusalem mengingatkan kita bahwa sebuah kemenangan sejati tidak hanya berdasar dari luas wilayah yang tunduk pada kekhalifahan, akan tetapi dari seberapa besar ruang damai dan toleransi yang terasa bagi semua umat.(St.Diyar)
Referensi: Simon Sebag Montefiore, Jerusalem the Biography, 2011.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
