Nama Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah sering diasosiasikan dengan sikap anti-filsafat. Publik kerap memberinya label sebagai ulama yang menolak penggunaan akal dan logika. Namun, pandangan ini sebenarnya merupakan sebuah penyederhanaan yang keliru. Anggapan tersebut mengabaikan kompleksitas dan kedalaman pemikirannya. Membaca ulang karya-karyanya justru menunjukkan gambaran yang berbeda.
Ibn Taimiyyah bukanlah musuh filsafat secara keseluruhan. Ia adalah seorang kritikus yang sangat tajam dan mendalam. Kritik utamanya tidak ditujukan pada aktivitas berpikir rasional. Sasarannya adalah aliran filsafat tertentu, terutama kaum Peripatetik (pengikut Aristoteles). Ia menentang keras cara mereka memutlakkan logika sebagai satu-satunya standar kebenaran.
Kritik terhadap Absolutisme Logika Aristoteles
Kritik Ibn Taimiyyah berakar pada satu masalah teologis yang fundamental. Para filsuf muslim saat itu sering menempatkan akal (logika Aristotelian) di atas wahyu. Mereka menganggap produk akal sebagai kebenaran pasti (qath’i), sementara dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah dianggap bersifat dugaan (zhanni). Tentu saja, Ibn Taimiyyah menolak keras pandangan ini.
Menurutnya, logika hanyalah sebuah alat berpikir. Alat ini tidak netral dan bisa menghasilkan kesimpulan yang salah. Ia menuangkan kritik pedasnya dalam kitab monumental, Ar-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin (Bantahan terhadap Ahli Logika). Dalam kitab ini, ia membongkar kelemahan-kelemahan logika Aristoteles. Kalimat ini menunjukkan bahwa para filsuf membangun fondasi yang tidak sekokoh yang mereka kira.
“Namun, Ibn Taimiyyah tidak menolak logika secara keseluruhan. Ia secara tegas menentang klaim bahwa logika Aristoteles adalah satu-satunya jalan kebenaran. Ia percaya akal sehat dan fitrah manusia secara alamiah mampu bernalar dengan lurus. Kemampuan ini tidak perlu terikat pada diktum-diktum Aristoteles.
Menguasai Senjata Lawan
Ironisnya, untuk membantah para filsuf, Ibn Taimiyyah justru menunjukkan penguasaan yang luar biasa terhadap ilmu logika (mantiq) dan ilmu kalam. Ia mempelajari pemikiran lawan-lawannya hingga ke akar-akarnya. Ia tidak menolak sesuatu tanpa pemahaman yang komprehensif. Kapasitas intelektualnya ini diakui oleh banyak sejarawan dan ulama.
Seorang cendekiawan Islam terkemuka, Abul Hasan an-Nadwi, memberikan kesaksian penting. Dalam kitabnya Rijal al-Fikr wa ad-Da’wah fi al-Islam, ia menulis:
“Sesungguhnya Ibnu Taimiyyah telah mendalami mazhab-mazhab ilmu kalam dan filsafat. Ia melahap buku-buku mereka, mengetahui sumber-sumbernya, istilah-istilah, dan metodologi mereka. Ia menguasai itu semua dengan penguasaan seorang pakar yang cerdas. Yang jarang terjadi pada ulama-ulama seangkatannya, dan bahkan para pengikut mazhab itu sendiri.”
Kutipan ini menegaskan bahwa Ibn Taimiyyah bukanlah seorang penolak buta. Ia adalah seorang intelektual yang berdialog langsung dengan sumber-sumber primer pemikiran filsafat. Ia memahami argumen mereka lebih baik daripada sebagian pengikutnya sendiri.
Metode Debat yang Cerdas
Metode Ibn Taimiyyah dalam berdebat sangat efektif. Ia tidak hanya mengandalkan dalil-dalil agama. Ia justru masuk ke dalam kerangka berpikir lawannya. Ia menggunakan logika dan argumen rasional untuk menunjukkan inkonsistensi dan kelemahan dalam sistem filsafat mereka. Dengan kata lain, ia membalikkan senjata para filsuf untuk menyerang mereka sendiri.
Pendekatan ini membuat kritiknya menjadi sangat kuat dan sulit dibantah. Ia tidak berdebat dari luar, tetapi dari dalam sistem pemikiran yang ia kritik. An-Nadwi kembali menjelaskan metode brilian ini:
“Ia menyerang mereka dengan senjata mereka sendiri. Ia menggunakan dalil-dalil rasional dan argumen-argumen filosofis. Ia menyingkap kelemahan-kelemahan pendapat mereka, dan menjelaskan pertentangan yang ada dalam mazhab mereka. Hingga akhirnya ia berhasil merobohkan bangunan mazhab tersebut dari pondasinya.”
Dari sini terlihat jelas, Ibn Taimiyyah adalah seorang pemikir rasional yang tangguh. Ia membela posisi teologi Ahlus Sunnah dengan argumen yang kokoh, baik dari sisi dalil wahyu maupun logika akal.
Kesimpulan
Menyematkan label anti-filsafat pada Ibn Taimiyyah adalah sebuah ketidakadilan. Ia bukanlah sosok yang menolak akal. Sebaliknya, ia adalah seorang kritikus ulung yang menggunakan akal secara maksimal untuk menguji validitas pemikiran filsafat yang berkembang pada masanya. Posisinya adalah dialog kritis, bukan penolakan total.
Bagi Ibn Taimiyyah, akal adalah anugerah besar, tetapi wahyu tetap menjadi sumber kebenaran tertinggi. Memahami pemikirannya secara utuh membuka wawasan kita terhadap sosok intelektual brilian yang berani menantang arus utama pemikiran pada zamannya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
