Selama ini, publik mengenal R.A. Kartini sebagai ikon feminisme. Sosoknya sering digambarkan sebagai pemberontak tradisi dan pejuang emansipasi. Narasi ini membentuk citra Kartini sebagai tokoh yang berjarak dari nilai-nilai agama. Namun, pembacaan ulang surat-suratnya menunjukkan sebuah realitas yang berbeda. Ada sisi spiritual mendalam yang membentuk identitas Muslimah Kartini.
Narasi populer tentang Kartini sering kali mengabaikan perjalanan rohaninya. Padahal, titik balik kehidupannya justru berasal dari pemahamannya terhadap Al-Quran. Sudah saatnya kita melihat Kartini lebih utuh, bukan hanya sebagai feminis, tetapi sebagai seorang intelektual Muslimah yang menemukan cahaya dalam agamanya.
Judul Ikonik yang Bukan Buatan Kartini
Buku kumpulan surat Kartini yang terkenal, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, menjadi simbol perjuangannya. Banyak orang mengira judul itu adalah ungkapan asli dari Kartini sendiri. Faktanya, judul tersebut merupakan hasil kreasi J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda saat itu.
Abendanon mengumpulkan, menyunting, dan menerbitkan surat-surat Kartini setelah ia wafat. Ia memilih surat-surat tertentu yang dianggapnya sejalan dengan politik etis Belanda. Proses penyuntingan ini berpotensi menghilangkan konteks spiritual dan keislaman yang kuat dalam tulisan Kartini. Judul yang ia berikan pun membentuk persepsi publik secara masif.
Kegelisahan Spiritual dan Dahaga Akan Ilmu
Sebelum menemukan pencerahan, Kartini mengalami kegelisahan mendalam. Ia merasa jauh dari agamanya. Ia bisa membaca Al-Quran, tetapi tidak mengerti artinya. Tradisi saat itu hanya menekankan pada pembacaan teks Arab tanpa pemahaman makna.
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar pada 6 November 1899, ia mengungkapkan rasa frustrasinya.
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.”
Kritik Kartini bukanlah penolakan terhadap Islam. Sebaliknya, itu adalah protes terhadap praktik beragama yang dangkal. Ia merindukan pemahaman hakiki dari kitab sucinya. Ia ingin agamanya menjadi panduan hidup yang nyata, bukan sekadar ritual tanpa makna.
Titik Balik: Perjumpaan dengan Kiai Sholeh Darat
Perubahan besar dalam hidup Kartini terjadi saat ia bertemu Kiai Sholeh Darat dari Semarang. Momen ini menjadi jawaban atas segala kegelisahannya. Dalam sebuah acara pengajian, Kartini menyimak sang kiai menyampaikan tafsir Surat Al-Fatihah.
Ia begitu tersentuh oleh penjelasan makna ayat-ayat tersebut. Selama ini, ia hanya bisa melafalkannya. Kini, ia memahami pesan agung di baliknya. Hatinya bergetar. Usai pengajian, Kartini memberanikan diri meminta Kiai Sholeh Darat menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa.
Permintaan ini adalah sebuah terobosan. Saat itu, penerjemahan Al-Quran dianggap tabu. Namun, Kiai Sholeh Darat menyanggupi permintaan tulus dari Kartini. Ia pun menghadiahkan kitab tafsir Faidhur-Rahman, tafsir Al-Quran pertama dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Kitab inilah yang menjadi cahaya bagi Kartini.
Cahaya Al-Quran dalam Surat-suratnya
Setelah memahami Al-Quran, pandangan hidup Kartini berubah total. Surat-suratnya yang ditulis setelah peristiwa itu menunjukkan semangat keislaman yang menyala. Ia menemukan bahwa “gelap” yang selama ini ia rasakan adalah kondisi sebelum memahami ajaran Islam.
Kepada Ny. Abendanon pada 15 Agustus 1902, Kartini menulis dengan penuh semangat.
“Sudah sejak lama kami mendambakan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Alangkah baiknya bila kitab suci itu dapat dibaca dan dimengerti oleh kaum pribumi! Kami yakin, isinya akan besar pengaruhnya.”
Ia tidak lagi melihat agamanya sebagai kungkungan. Sebaliknya, ia melihat Islam sebagai sumber pembebasan dan kemajuan. Dalam surat lain kepada Stella Zeehandelaar, Kartini menegaskan kembali pandangannya.
Moga-moga kami mendapat rahmat, agar dapat bekerja membuat umat agama lain menghargai agama Islam.”
Tulisan-tulisannya kini dipenuhi oleh rasa syukur dan optimisme. Ia melihat bahwa ajaran Islam yang benar justru mendorong perempuan untuk berilmu dan maju. Perjuangannya untuk pendidikan perempuan kini memiliki landasan spiritual yang kokoh.
Kesimpulan: Membaca Ulang Warisan Kartini
Dari sini, terlihat jelas bahwa membaca kembali surat-surat Kartini secara utuh membuka sebuah cakrawala baru. Perjuangannya ternyata bukanlah pemberontakan terhadap agama, tetapi sebuah upaya kembali pada ajaran Islam murni sebagai sumber inspirasi emansipasi yang ia cita-citakan.
Menempatkan Kartini hanya dalam bingkai feminisme sekuler adalah sebuah penyederhanaan yang tidak adil. Ia adalah seorang Muslimah yang taat, seorang pemikir yang gelisah, dan seorang pejuang yang menemukan cahayanya dalam Al-Quran. Warisannya jauh lebih kaya dan kompleks dari narasi yang selama ini kita kenal.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
