Khazanah
Beranda » Berita » Pemberlakuan Hukum Pancung Dalam Agama Islam

Pemberlakuan Hukum Pancung Dalam Agama Islam

Hukum Pancung di Arab Saudi
Hukum Pancung di Arab Saudi

SURAU.CO-Pemberlakuan hukum pancung dalam agama Islam, pemberlakuan hukum pancung dalam agama Islam, sering menimbulkan perdebatan karena masyarakat kerap menilainya sebagai bentuk kekerasan. Padahal, syariat Islam menempatkan aturan ini dalam kerangka qisas untuk kasus pembunuhan sengaja, bukan untuk semua tindak pidana. Ulama menegaskan bahwa qisas bertujuan menjaga jiwa dan mencegah balas dendam. Dari kajian kitab klasik dan diskusi dengan praktisi hukum Islam, saya menemukan bahwa hukum pancung justru membuka jalan damai melalui mekanisme maaf dan diyat, bukan sekadar eksekusi.

Syarat Tegas Hukum Pancung dan Penerapan Qisas

Para fuqaha menjelaskan bahwa hukum pancung berlaku khusus pada qisas pembunuhan dengan niat sengaja. Al-Qur’an menegaskan dasar jelas dalam QS 2:178 dan QS 17:33. Islam tidak memerintahkan eksekusi secara mutlak, tetapi memberikan keluarga korban tiga pilihan: menuntut qisas, menerima diyat, atau memaafkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa hukum Islam mengutamakan keadilan restoratif.

Dalam forum baḥtsul masā’il pesantren, ulama menekankan asas “dar’u al-ḥudūd bi al-syubuhāt”, artinya hakim wajib menunda hukuman berat jika muncul keraguan. Proses pembuktian menuntut kejelasan niat, kesaksian yang sahih, dan pengakuan yang murni tanpa paksaan. Negara memastikan proses hukum berjalan adil, transparan, dan bebas tekanan.

Laporan hukum di Arab Saudi menunjukkan bahwa praktik pancung terjadi sangat jarang. Banyak kasus berakhir dengan pemaafan setelah mediasi. Fakta ini memperlihatkan bahwa hukum Islam menempatkan rekonsiliasi sebagai pilihan utama. Dengan begitu, qisas berfungsi mengingatkan masyarakat bahwa nyawa manusia sangat berharga dan tidak boleh diambil tanpa alasan sah.

Negara Modern, Maqasid, dan Alternatif Hukum Qisas

Negara modern berperan besar dalam menafsirkan hukum qisas dan hukum pancung. Dalam sistem kontemporer, pemerintah tidak hanya mengurus eksekusi, tetapi juga memastikan prinsip maqasid al-syari‘ah terlaksana: menjaga jiwa, akal, harta, agama, dan keturunan. Negara menghadirkan keadilan substantif melalui forensik, pendampingan hukum, hingga hak banding.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Cendekiawan Muslim menyoroti aspek etika. Mereka menegaskan bahwa “pancung” hanyalah metode historis, bukan satu-satunya cara pelaksanaan qisas. Yang terpenting, metode eksekusi harus cepat, minim rasa sakit, dan tidak menyiksa. Perkembangan ilmu kedokteran menawarkan opsi lain yang lebih manusiawi. Karena itu, umat Islam perlu membedakan jenis hukuman (qisas) dari alat eksekusi.

Konsep keadilan restoratif kini sejalan dengan semangat syariat. Banyak negara Muslim mendorong mediasi dan diyat agar keluarga korban tetap mendapat hak, sementara pelaku bisa bertobat. Pemahaman ini menegaskan bahwa Islam sejak awal mendukung penyelesaian damai, bukan sekadar mengejar hukuman fisik.

Jika kita meninjau lebih jauh, pemberlakuan hukum pancung berfungsi sebagai simbol keseriusan Islam menjaga nyawa. Namun, ruh syariat mendorong umat mencari solusi terbaik: keadilan yang menenangkan hati korban sekaligus membuka pintu taubat bagi pelaku. Dengan cara ini, umat Islam tidak terjebak pada romantisme hukuman fisik, melainkan memahami pesan abadi Islam: menjaga kemanusiaan dan mencegah kezaliman.

Pemberlakuan hukum pancung dalam Islam seharusnya tidak kita pahami semata-mata sebagai hukuman fisik. Syariat menekankan perlindungan jiwa, membuka ruang maaf, dan menghadirkan keadilan yang menenangkan. Prinsip qisas memberi keluarga korban pilihan, sementara maqasid menuntun umat agar mengutamakan maslahat bersama. Dengan memahami hal ini, kita bisa melihat sisi kemanusiaan dalam syariat.

Umat Islam perlu terus menggali makna mendalam dari hukum qisas. Negara modern bisa mengembangkan model keadilan restoratif yang selaras dengan maqasid syariah. Dengan cara ini, hukum Islam tidak kehilangan ruh keadilan, bahkan justru memberi kontribusi nyata dalam menjaga martabat manusia dan mencegah kezaliman. (Hen)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement