Jangan Ambil Ilmu Agama Darinya: Sebuah Renungan Tentang Ilmu, Ulama, dan Sikap terhadap Penguasa.
Dalam perjalanan mencari ilmu agama, seorang Muslim dituntut untuk berhati-hati dalam memilih guru atau sumber ilmu. Hal ini sangat penting, karena ilmu agama bukan sekadar pengetahuan akademis, melainkan cahaya yang akan menentukan arah hidup, ibadah, dan bahkan nasib akhirat seorang hamba. Dalam sebuah kaidah disebutkan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (Imam Muhammad bin Sirin, Tabi’in besar, rahimahullah)
Kita lihat di atas mengutip nasihat Fadhilatusy Syaikh Abdullah bin ‘Ayyasy al-Ahdal hafizhahullah dalam kitab Syarah al-Ushul as-Sittah: “Jika kamu melihat seorang khatib (ustadz) mendoakan kejelekan bagi penguasa, maka cucilah tanganmu darinya (menjauhlah darinya).”
Pesan ini sekilas terlihat tegas, bahkan mungkin terasa keras bagi sebagian orang. Namun, ia mengandung pelajaran mendalam yang perlu ditimbang dengan adil, agar kita tidak salah dalam memahami maknanya.
Ilmu Agama adalah Amanah
Ilmu agama adalah warisan para nabi. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, melainkan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Karena itu, memilih guru dalam menimba ilmu agama ibarat memilih jalan kehidupan. Jika salah memilih, bisa jadi bukan kebenaran yang kita dapatkan, melainkan kesesatan yang berbalut dalih agama. Inilah mengapa para ulama selalu menekankan pentingnya mengambil ilmu dari orang-orang yang terpercaya akidahnya, lurus manhajnya, serta selamat hatinya dari penyakit hawa nafsu dan kedengkian.
Sikap Ulama terhadap Penguasa
Sejarah Islam mencatat adanya dua kutub dalam sikap para ulama terhadap penguasa:
Ulama yang dekat dengan penguasa: Mereka menasihati dengan penuh hikmah, mendoakan kebaikan bagi pemimpin, serta menjaga stabilitas umat. Contoh klasik adalah Imam al-Nawawi rahimahullah yang selalu mendoakan kebaikan bagi sultan walaupun tidak setuju dengan beberapa kebijakan.
Ulama yang berani menegur penguasa secara terbuka: Mereka melakukannya dengan tujuan amar ma’ruf nahi munkar, meskipun risiko penjara atau kematian menanti. Contohnya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah saat menghadapi fitnah Khalq al-Qur’an pada masa Khalifah al-Ma’mun.
Kedua pendekatan ini sama-sama lahir dari rasa cinta kepada kebenaran. Hanya saja, para ulama berbeda dalam cara mengekspresikan sikap, sesuai dengan ijtihad dan kondisi zaman mereka.
Mengapa Sebagian Ulama Melarang Mendoakan Keburukan atas Penguasa?
Ada beberapa alasan syar’i dan manhaji mengapa sebagian ulama menekankan larangan mendoakan keburukan bagi pemimpin:
1. Penguasa adalah bayangan Allah di bumi.
Dalam hadis disebutkan: “Sultan itu adalah bayangan Allah di bumi. Barang siapa memuliakannya, Allah akan memuliakannya. Barang siapa merendahkannya, Allah akan merendahkannya.” (HR. al-Baihaqi)
Artinya, pemimpin memiliki kedudukan yang sensitif. Doa keburukan atasnya bisa menimbulkan kekacauan, karena rakyat akan terpengaruh.
2. Mendoakan keburukan bisa memicu fitnah.
Jika seorang ustadz atau khatib di mimbar mendoakan celaka bagi penguasa, umat bisa terprovokasi, lalu lahirlah kebencian massal yang berujung pada pemberontakan. Padahal Rasulullah ﷺ mengajarkan doa kebaikan, bukan kehancuran.
3. Doa terbaik adalah doa kebaikan bagi penguasa.
Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Seandainya aku memiliki satu doa yang mustajab, niscaya aku akan berdoa untuk kebaikan penguasa.” Alasannya sederhana: jika penguasa baik, rakyat akan ikut merasakan kebaikan itu.
Namun, Apakah Berarti Kita Harus Diam Melihat Kezaliman?
Inilah poin yang sering menimbulkan salah paham. Menjauhi ustadz yang suka mendoakan keburukan bagi penguasa bukan berarti kita harus mendiamkan kezaliman. Islam tetap memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada pemimpin.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik jihad adalah kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Bedanya adalah cara. Islam menganjurkan menasihati penguasa dengan penuh hikmah, bukan dengan doa keburukan di mimbar atau celaan yang membakar emosi umat. Menasihati bisa dilakukan dengan jalur pribadi, dengan adab yang lembut, dan tetap menjaga kehormatan.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Jika engkau ingin menasihati penguasa, janganlah engkau menampakkannya di depan umum. Peganglah tangannya, ajaklah ke tempat sepi, lalu sampaikan nasihatmu. Jika ia menerima, itu kebaikan. Jika tidak, engkau telah menunaikan kewajibanmu.”
Pelajaran dari Nasihat Syaikh Abdullah al-Ahdal
Pernyataan beliau bukan berarti menutup pintu kritik kepada penguasa, melainkan mengingatkan agar kita berhati-hati terhadap ustadz yang membangun narasi kebencian di atas mimbar. Ada beberapa bahaya dari ustadz semacam itu:
1. Ilmunya bisa tercemar politik – Nasihatnya tidak lagi murni karena Allah, tetapi bercampur dengan emosi dan kepentingan.
2. Menyulut kebencian massal – Doa keburukan di depan publik bisa memecah umat dan menimbulkan fitnah.
3. Mendidik umat dengan doa buruk, bukan doa kebaikan – Padahal Islam mengajarkan kelembutan dan kasih sayang.
Maka, menjaga jarak dari ustadz yang suka mendoakan keburukan bagi pemimpin adalah bentuk menjaga kemurnian agama dan menjaga ketentraman umat.
Konteks Umat Islam Hari Ini
Di zaman sekarang, banyak ustadz atau dai yang tampil di media sosial. Sebagian berbicara dengan hikmah, sebagian lain justru menebar kebencian dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar.
Masyarakat Muslim harus cerdas. Jangan hanya tertarik pada retorika yang lantang, tetapi timbanglah dengan timbangan syariat.
Apakah ustadz tersebut mengajak kepada persatuan, doa kebaikan, dan adab dalam menasihati? Ataukah justru menebar kebencian, mendoakan keburukan, dan memecah belah umat? Inilah esensi dari nasihat: “Jangan ambil ilmu agama darinya.”
Penutup: Jalan Tengah dalam Menyikapi Penguasa dan Ulama
Dari uraian di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan penting:
1. Ilmu agama harus diambil dari ulama yang terpercaya akidah dan adabnya. Jangan tergoda dengan ustadz yang pandai retorika tapi miskin akhlak.
2. Mendoakan kebaikan bagi penguasa lebih utama daripada mendoakan keburukan. Karena jika penguasa baik, rakyat akan merasakan manfaatnya.
3. Mengkritik penguasa tetap boleh, bahkan wajib dalam kondisi tertentu, tetapi harus dengan adab, cara yang benar, dan niat yang ikhlas.
4. Jauhi ustadz yang menebar kebencian dari mimbar. Karena ilmunya bisa merusak, bukan memperbaiki.
Akhirnya, kita kembali pada doa yang diajarkan ulama salaf: “Ya Allah, berilah kebaikan kepada para pemimpin kami. Perbaikilah mereka, dan jadikan mereka sebab kebaikan bagi negeri dan umat.”
Refleksi: Ilmu adalah cahaya. Kita hanya bisa memetik cahaya dari hati yang bersih. Jika guru yang kita ikuti hatinya penuh amarah dan kebencian, maka ilmu yang keluar darinya akan membawa keburukan. Karena itu, berhati-hatilah dalam memilih guru, karena dari merekalah kita mengambil agama yang akan kita bawa sampai akhirat. (Tengku)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
