Opinion
Beranda » Berita » Nikmat Allah Bisa Menjadi Petaka Jika Tidak Tawadhu’

Nikmat Allah Bisa Menjadi Petaka Jika Tidak Tawadhu’

Nikmat Allah SWT Bisa Menjadi Petaka.
Nikmat Allah pada hakikatnya adalah ujian. Nikmat Allah SWT Bisa Menjadi Petaka Jika Tidak Tawadhu’. Gambar Ilustrasi : AI

SURAU.CO – Setiap manusia di dunia ini hidup dalam limpahan nikmat Allah. Tidak ada satu pun dari kita yang lepas dari karunia-Nya, baik berupa kesehatan, akal, ilmu, harta, keluarga, maupun kedudukan. Namun, di balik nikmat yang besar itu, tersimpan pula ujian. Tidak sedikit manusia yang justru celaka karena nikmat yang Allah SWT berikan kepadanya. Hal ini terjadi bukan karena nikmat itu sendiri berbahaya, melainkan karena cara manusia menyikapinya yang keliru. Salah satu sifat yang paling berbahaya ketika menerima nikmat Allah adalah kesombongan dan tidak adanya tawadhu’ (rendah hati). Ingatlah, nikmat Allah SWT bisa menjadi petaka jika kita tidak tawadhu menerimanya.

Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34).

Tulisan ini akan membahas bagaimana nikmat Allah yang seharusnya membawa berkah justru bisa berubah menjadi petaka bila tidak menyertainya dengansikap tawadhu’ dan syukur.

Hakikat Nikmat dan Tawadhu’

1. Nikmat sebagai Amanah

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Nikmat adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah. Ia bukan hanya hadiah berupa kenikmatan, tetapi juga amanah dan tanggung jawab. Rasulullah mengingatkan:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nikmat apapun yang kita miliki – harta, ilmu, jabatan, atau kesehatan – kelak akan mempertanggujawabkan nikmat itu kepada Allah.

2. Tawadhu’ sebagai Penyelamat

Tawadhu’ adalah sikap rendah hati, tidak sombong, dan menyadari bahwa semua nikmat berasal dari Allah. Orang yang tawadhu’ tidak merasa lebih tinggi dari orang lain karena nikmat yang ia miliki, melainkan justru semakin mendekat kepada Allah dan bersyukur atas karunia-Nya.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Rasulullah bersabda:

“Tidaklah seseorang bersikap tawadhu’ karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).

Dengan demikian, tawadhu’ adalah kunci agar nikmat yang Allah berikan tetap menjadi berkah, bukan menjadi petaka.

Nikmat Allah SWT yang Bisa Menjadi Petaka

Ilmu Pengetahuan

Ilmu adalah cahaya dan jalan menuju surga. Namun, ilmu bisa berubah menjadi petaka jika membuat seseorang sombong, merasa paling benar, dan meremehkan orang lain.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, mereka akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60).

Ilmu seharusnya melahirkan kerendahan hati. Namun, bila sebaliknya, menjadi sebab kesombongan, maka ilmu tersebut justru menjadi fitnah.

Kekayaan (Harta)

Harta adalah salah satu nikmat terbesar. Akan tetapi, bila harta membuat manusia sombong dan merasa tidak butuh kepada Allah, maka harta itu menjadi sebab kebinasaan.

Contoh  jelas adalah kisah Qarun. Allah menceritakan:

“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dengan kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.’” (QS. Al-Qashash: 79).

Namun, karena kesombongan dan kufurnya, Allah menenggelamkan Qarun bersama hartanya ke dalam bumi.

Kedudukan dan Jabatan

Kedudukan adalah amanah besar. Dengan jabatan, seseorang bisa menegakkan keadilan, melindungi rakyat, dan menegakkan syariat. Tetapi banyak orang celaka karena jabatan, sebab kedudukan membuatnya sombong, zalim, dan merasa lebih tinggi dari yang lain.

Fir’aun adalah contoh nyata. Allah memberi Fir’aun kerajaan Mesir, tetapi ia malah mengaku sebagai tuhan. Akibat kesombongannya, Allah membinasakannya di laut Merah.

Kecantikan dan Ketampanan

Wajah rupawan adalah nikmat yang sangat besar. Ia bisa menjadi sarana untuk menebar kebaikan, menjaga kehormatan, dan menambah syukur. Namun, jika kecantikan atau ketampanan membuat seseorang sombong, merendahkan orang lain, atau menggunakannya untuk kemaksiatan, maka itu menjadi bencana.

Rasulullah mengingatkan bahwa Allah tidak melihat rupa dan harta manusia, tetapi hati dan amalnya (HR. Muslim).

Popularitas dan Kehormatan

Ada orang yang diberi nama baik dan popularitas. Jika ia menggunakannya untuk mengajak kepada kebaikan, maka ia menjadi berkah. Tetapi jika popularitas hanya membuatnya pamer, merasa besar, dan sombong, maka ia akan celaka.

Kisah-Kisah Nyata dari Al-Qur’an

Al-Qur’an memberikan banyak contoh manusia yang binasa karena limpahan nikmat namun tidak menyikapi dengan tawadhu’:

  1. Qarun. Binasa karena sombong dengan hartanya. Qarun, dengan hartanya merasa bahwa ia tidak lagi membutuhkan Allah SWT. Akibat kesombongan tersebut, Allah SWT menghukum Qarun. Allah SWT menyebabkan bumi menelan Qarun dan seluruh hartanya tanpa tersisa.
  2. Fir’aun. Celaka karena sombong dengan kekuasaan. Sangat terkenal dalam ayat-ayat kitab suci Al Quran bahwa Fir’aun  adalah seseorang yang memiliki kekuasaan sangat besar sehingga merasa bahwa ialah Tuhan. Karena kesombonganya, maka Allah SWT memutuskan menghukum Fir’aun dengan menenggelamkan Fir’aun dan tentaranya di Laut Merah tanpa ada yang selamat.
  3. Bal’am bin Ba’ura. Kisah Bal’am bin Ba’ura terdapat dalam Al Qur’an Surat Al-A’raf 175-176. Bal’am adalah seorang alim yang memiliki pengetahuan tentang kitab-kitab suci  dan memeiliki kemampuan untuk berdoa kepada Allah SWT, namun tersesat karena tidak membarengi ilmunya dengan kerendahan hati. Bal’am tergoda oleh tawaran kekuasaan dan harta oleh raja yang zalim. Karenanya, ia meminta kepada Allah SWT untuk mengutuk Nabi Musa a.s. dan kaumnya. Namun Allah SWT menolak permintaan Bal’am. Bal’am bin Ba’ura menjadi contoh orang yang tidak taat kepada Allah SWT.

Sebaliknya, Al-Qur’an juga menampilkan teladan orang-orang yang tawadhu’:

  1. Nabi Sulaiman a.s. Meski diberi kerajaan yang besar, ia tetap berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau kufur.” (QS. An-Naml: 40).
  2. Nabi Muhammad SAW. Manusia yang paling mulia, tetapi hidup sederhana dan tawadhu’, tidak pernah menyombongkan diri.

Pentingnya Syukur dan Tawadhu’

Nikmat Allah bisa menjadi berkah bila disertai syukur dan tawadhu’. Syukur menjaga hati agar selalu ingat bahwa semua berasal dari Allah, sementara tawadhu’ menjaga perilaku agar tidak meremehkan orang lain.

Allah SWT berjanji:

“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu kufur (ingkar), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7).

Nikmat Allah pada hakikatnya adalah ujian. Ia bisa menjadi jalan menuju surga, tetapi juga bisa menjadi sebab kebinasaan. Semua bergantung pada sikap kita dalam menyikapinya. Tanpa tawadhu’, nikmat berubah menjadi petaka; dengan tawadhu’ dan syukur, nikmat menjadi berkah yang mengantarkan kita kepada ridha Allah.

Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang selalu bersyukur, rendah hati, dan menggunakan nikmat yang Allah berikan untuk jalan kebaikan. Aamiin.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement