SURAU.CO – Masyarakat Arab Jahiliyah mengamalkan sebuah aturan sosial yang sangat kuat. Aturan itu adalah ashabiyah atau fanatisme kesukuan. Setiap individu memberikan loyalitas tertingginya hanya untuk kabilahnya sendiri. Prinsip ini sering kali membuat mereka mengesampingkan nilai kebenaran dan keadilan yang lebih luas. Namun, di tengah kultur yang mengakar tersebut, para tokoh Quraisy melahirkan sebuah terobosan moral yang luar biasa. Mereka mengikrarkan Hilf al-Fudul, sebuah aliansi kehormatan yang menjadi oase keadilan.
Sebuah Insiden Ketidakadilan Memicu Perubahan
Sebuah tindakan kesewenang-wenangan memicu lahirnya pakta mulia ini. Kisah bermula ketika seorang saudagar dari Zabid, Yaman, tiba di Mekkah untuk berniaga. Ia menjual seluruh barang dagangannya kepada Ash bin Wa’il, seorang tokoh Quraisy yang berpengaruh. Akan tetapi, Ash bin Wa’il menolak melunasi pembayaran setelah menerima barang. Saudagar malang itu mencoba menagih haknya, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Sebagai orang asing, ia tidak memiliki klan pelindung yang dapat membelanya.
Karena putus asa, saudagar itu pun mengambil langkah yang berani. Ia menaiki bukit Abu Qubais saat fajar menyingsing. Dari puncak bukit, ia melantunkan syair yang menyuarakan penderitaannya. Seruannya yang pilu menggema ke seluruh penjuru kota. Ia mengadukan nasibnya kepada siapa pun yang masih memiliki nurani dan berharap seseorang akan membela haknya sebagai tamu.
Panggilan Nurani dari Zubair bin Abdul Muthalib
Seruan pedagang itu sampai ke telinga Zubair bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW. Kezaliman yang terjadi di depan mata itu langsung mengusik hati Zubair. Ia merasa tindakan Ash bin Wa’il telah menodai kehormatan kota Mekkah. Tokoh yang disegani ini tidak bisa membiarkan insiden tersebut merusak citra kotanya. Oleh karena itu, ia segera menggagas sebuah pertemuan darurat. Zubair bertekad membentuk sebuah aliansi untuk mencegah kejadian serupa terulang.
Inisiatif Zubair mendapat sambutan positif dari para pemimpin klan lainnya. Beberapa klan terkemuka seperti Bani Hasyim, Bani Asad, Bani Zuhrah, dan Bani Taim sepakat untuk bergabung. Mereka kemudian mengadakan pertemuan di kediaman Abdullah bin Jud’an. Mereka memilih rumah tokoh ini karena ia terkenal sangat dermawan dan dihormati oleh seluruh penduduk Mekkah.
Lahirnya Sebuah Ikrar Agung
Di kediaman Abdullah bin Jud’an, para tokoh Quraisy itu mendeklarasikan sebuah janji suci. Mereka bersumpah atas nama Tuhan untuk membela siapa pun yang terzalimi di Mekkah. Mereka berjanji akan menentang penindas dan berjuang bersama untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya, baik ia penduduk asli maupun pendatang. Ikrar ini sangat revolusioner karena menempatkan keadilan di atas kepentingan suku.
Selesai berikrar, mereka tidak menunggu lama untuk bertindak. Aliansi kehormatan ini langsung mendatangi kediaman Ash bin Wa’il. Mereka dengan tegas menuntutnya untuk membayar hak sang saudagar dari Yaman. Menghadapi gabungan klan-klan kuat, Ash bin Wa’il tidak dapat berkelit. Ia terpaksa menyerahkan uang pembayaran, dan mereka pun berhasil menegakkan keadilan.
Kesaksian dan Pujian Sang Nabi
Nabi Muhammad SAW, yang kala itu masih remaja, turut menyaksikan langsung peristiwa bersejarah tersebut. Ikrar Fudhul meninggalkan jejak yang sangat mendalam dalam jiwanya. Bertahun-tahun setelah menjadi Rasul, beliau mengenang kembali komitmen mulia itu dengan pujian tertinggi. Beliau bersabda:
“Aku pernah menyaksikan sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Aku tidak akan menukarnya bahkan dengan seekor unta merah. Jika aku diundang (untuk perjanjian serupa) pada masa Islam, aku pasti akan memenuhinya.”
Pujian Nabi ini menegaskan betapa luhurnya nilai-nilai di dalam Hilf al-Fudul. Prinsipnya sangat sejalan dengan ajaran fundamental Islam. Pakta ini membuktikan bahwa nurani dan kebenaran universal dapat bersinar di setiap zaman. Sejarah selamanya akan mengenang pakta ini sebagai cikal bakal piagam hak asasi manusia di Jazirah Arab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
