SURAU.CO – Pada abad ke -7 H, tepatnya sejak masa-masa awal keruntuhan Dinasti Abbasiyah, Islam sudah masuk ke Indonesia. Lalu sekitar 7 (tujuh) abad kemudian, tepatnya pada 1344 H, Nahdlatul Ulama (NU) lahir. Menurut KH. Said Aqil Siroj, metodologi Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) telah mendorong umat Islam Indonesia untuk menjadi bagian dari peradaban Islam dunia.
Fakta-Fakta Historis
Klaim NU sebagai pengusung tradisi Aswaja dan secara otomatis menjadi bagian dari peradaban Islam dunia mendapat dukungan fakta-fakta historis. Syaikh Ahmad Khatib Sambas, seorang ulama terkemuka yang terlahir di Sambas, Kalimantan Barat. Sejak masa muda telah menunjukkan semangat tinggi untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman, sehingga beliau berketetapan hati untuk bermukim lebih lama di Makkah al-Mukarramah. Pasalnya, iklim politik Nusantara waktu itu tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Syaikh Ahmad Khatib Sambas muncul sebagai tokoh sufi dan perintis kombinasi autentik dua tarekat besar, “Qadiriyah wa Naqsabandiyah”, Tarekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Tarekat Qadiriyah digagas oleh Syaikh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shaleh Zangi Dost al-Jailani yang mengacu pada tradisi mazhab Iraqi yang dibangun Imam al-Junaid. Sementara Tarekat Naqsyabandiyah dibangun oleh Syaikh Muhammad ibn Muhammad Baha’uddin al-Uwaisyi al-Bukhari al-Naqsyabandi yang didasarkan pada tradisi al-Khurasani yang dipelopori oleh al-Bustami. Kedua jenis tarekat inilah yang dengan brilian diramu dan diracik oleh Syaikh Sambas dalam satu kesatuan yang bulat seperti dikenal kalangan umat Islam saat ini. Kitabnya, Fath al-‘Arifin, menunjukkan integritas keilmuan Syaikh Ahmad Khatib Sambas dalam lingkungan masyarakat Islam.
Para Penerus Tradisi Aswaja
Pelanjut tradisi Aswaja kemudian adalah ulama besar Syaikh Nawawi Banten. Beliau adalah seorang ulama yang telah mencapai derajat “mujtahid mazhab”. Beliau telah menulis sejumlah kitab keagamaan yang hingga kini masih menjadi pegangan pada lingkungan pesantren Nusantara dan negeri Islam lainnya. Syaikh Nawawi merupakan wujud dari geliat dan pergumulan Islam lokal yang lahir di tengah keterbatasan Nusantara. Beliau akhirnya menetap di Makkah sebagai bentuk protesnya atas kondisi kolonialisme Belanda. Imam Nawawi mencapai puncak kariernya sebagai mujtahid mazhab fikih. Dia telah meninggalkan lebih dari seratus karya tulis, dan muridnya telah menyebar luas ke seluruh dunia, terutama di negara-negara penganut mazhab Syafi’i.
Penerus Aswaja berikutnya adalah Syaikh Mahfuz Termas. Ahli hadis ini merupakan penerus tradisi pemikiran Syaikh Ahmad Khatib Sambas dan Syaikh Nawawi Banten. Kitab Manhaj Dzawi al-Nadzar, sebuah kitab metodologi autentitas hadis yang hingga kini menjadi bahan ajar pada Universitas al-Azhar, Mesir. Buku tersebut merupakan komentar atas karya Imam Abdur Rahman al-Suyuthi, Manzhumat Ilm al-Atsar. Selain Mahfuz Termas, ulama tersohor lainnya yang meneruskan tradisi Aswaja adalah Kiai Khalil Bangkalan. Beliau adalah ahli gramatika Arab dan guru dari K.H. Hasyim Asy’ari. Kiai Khalil Bangkalan berhasil mencapai puncak popularitas dan kharisma sehingga menjadi rujukan ulama Jawa pada masanya. Ulama periode berikutnya adalah Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan, ulama asal Kediri yang intensif mendalami tasawuf. Dia mengarang kitab Sirajut al-Thalibin, sebuah komentar yang cukup luas atas kitab Minhajul al-‘Abidin karya Al-Ghazali. Kitab ini menjadi kajian penting di beberapa negara berpenduduk Muslim, tidak terkecuali komunitas al-Azhar Mesir dan beberapa negara Afrika Barat.
Kesinambungan Garis Tradisi Aswaja
Dengan demikian, dalam kesinambungan garis tradisi Aswaja, dari belahan barat dan timur dunia Islam, terletak posisi krusial NU. Kekokohan NU berpegang pada tradisinya ini bertolak dari kesinambungan mata rantai khzanah keislaman yang menghubungkan Timur Tengah , Asia, Afrika hingga Nusantara. Deretan ulama-ulama besar tadi merupakan generasi awal yang berjasa dalam meletakkan landasan corak keagamaan NU. Khazanah tersebut yang dikenal dengan Ahlussunnah Waljamaah atau Aswaja. Imam Hasan al-Bashri awalnya menata paham Aswaja ini, sebagai sebagai generasi tabi’in pasca Rasulullah yang bersifat moderat saat terjadi krisis berkepanjangan yang menimpa umat Islam akibat al-fitnah alkubra. Satu abad kemudian, muncul al-Muhasibi, al-Qalausi, dan Ibn Kullab yang membangun dasar-dasar wacana berpikir umat Islam dalam memasuki abad ke-3 H.
Langkah tersebut terus berkesinambungan dengan hadirnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al -Maturidi kemudian Imam Abu Hamid al-Ghazali. Paham ini berkembang di Indonesia pada awal abad ke-20 melalui wadah jam’iyyah NU. Silsilah generasi pasca-Imam al-Ghazali berkesinambungan—dalam bentuk silsilah atau sanad—hingga ke pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari, melalui Imam Abdul Karim al-Syahrastani, Imam al-Razi, al-Iji, al-Sanusi, al-Bajuri, al-Dasuki, Syaikh Zaini Dahlan, Syaikh Mahfuz Termas, dan terakhir ke K.H. Hasyim Asy’ari.(St.Diyar)
Referensi:
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, Islam Nusantara, (Rekonstruksi Aswaja Sebagai Etika Sosial: Akar-Akar Teologi Moderasi Nahdlatul Ulama), 2015.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.