SURAU.CO – Ketika mendengar istilah “Jahiliyah,” banyak orang langsung membayangkan sebuah masa yang kacau dan tanpa aturan. Akan tetapi, pandangan ini tidak sepenuhnya akurat. Masyarakat Arab pra-Islam, khususnya di pusat peradaban seperti Mekkah, nyatanya memiliki tatanan pemerintahan yang terstruktur dan fungsional. Sistem mereka memang sangat berbeda dari kekaisaran Romawi atau Persia yang terpusat. Sebagai gantinya, mereka membangun sebuah mekanisme kekuasaan yang unik, yang bertumpu pada kekuatan kabilah dan tradisi leluhur.
Fondasi Utama: Kekuatan Kabilah dan Peran Syaikh
Fondasi utama dari tatanan sosial dan politik Arab pra-Islam adalah kabilah atau suku. Setiap individu mengikatkan loyalitas tertingginya kepada kabilah. Ikatan darah dan kesukuan ini, yang dikenal sebagai ashabiyah, berfungsi sebagai hukum tidak tertulis yang paling kuat. Oleh karena itu, kehormatan dan keselamatan seseorang bergantung sepenuhnya pada perlindungan kabilahnya. Setiap kabilah memiliki seorang pemimpin yang mereka sebut syaikh.
Namun, seorang syaikh tidak memerintah secara absolut layaknya seorang raja. Sebaliknya, ia dipilih melalui musyawarah para tetua dalam kabilahnya. Kriteria pemilihannya meliputi senioritas, kebijaksanaan, kekayaan, dan tentu saja, keberanian. Tugas utama seorang syaikh adalah memimpin pasukan saat perang, menengahi sengketa antar anggota, dan menjamu tamu sebagai representasi kehormatan kabilahnya.
Mekkah: Pusat Gravitasi Jazirah Arab
Meskipun tidak ada pemerintahan terpusat yang menyatukan seluruh suku, Kota Mekkah tampil sebagai sebuah pengecualian. Mekkah secara efektif menjadi pusat spiritual, ekonomi, dan politik bagi Jazirah Arab. Faktor utamanya tidak lain adalah keberadaan Ka’bah. Setiap tahun, bangunan suci ini menarik ribuan peziarah dari berbagai penjuru untuk melaksanakan ritual haji menurut kepercayaan mereka.
Akibatnya, arus kedatangan peziarah ini menciptakan pasar tahunan yang sangat besar dan ramai. Hal ini menjadikan Mekkah sebagai kota dagang paling makmur di wilayah tersebut. Karena peran vital inilah, Suku Quraisy yang menguasai Mekkah mendapatkan kehormatan dan pengaruh yang luar biasa di mata suku-suku Arab lainnya. Mereka secara de facto menjadi penguasa paling disegani di kawasan Hijaz.
Struktur Pemerintahan Suku Quraisy di Mekkah
Untuk mengelola kompleksitas kota dan melayani para peziarah, Suku Quraisy membentuk sebuah dewan pemerintahan. Dewan ini membagi tugas-tugas kehormatan kepada klan-klan terpandang. Mekanisme ini memastikan semua klan besar merasa memiliki peran dan tanggung jawab. Berikut adalah beberapa jabatan penting dalam struktur tersebut:
-
Darun Nadwah (Majelis Permusyawaratan)
Lembaga ini berfungsi sebagai parlemen atau dewan legislatif bagi para bangsawan Quraisy. Didirikan oleh Qushay bin Kilab, di sinilah para pemimpin klan merumuskan semua keputusan penting. Mereka bermusyawarah tentang deklarasi perang, perjanjian damai, pernikahan tokoh penting, hingga urusan perdagangan. Syarat keanggotaannya pun ketat, yaitu para pemimpin klan yang usianya minimal empat puluh tahun sebagai simbol kematangan berpikir. -
Hijabah (Penjaga Kunci Ka’bah)
Jabatan ini merupakan posisi yang sangat sakral dan terhormat. Pemegang Hijabah bertanggung jawab atas kunci Ka’bah. Oleh sebab itu, ia memiliki wewenang penuh untuk membuka dan menutup pintu bangunan suci tersebut. Kehormatan ini memberikan status spiritual yang sangat tinggi bagi klan yang memegangnya. -
Siqayah dan Rifadah (Pelayanan Logistik Peziarah)
Dua tugas ini menunjukkan sisi kedermawanan Suku Quraisy. Siqayah adalah tanggung jawab menyediakan air minum bagi ribuan peziarah. Mengingat kondisi gurun yang tandus, tugas ini sangat vital dan mulia. Sementara itu, Rifadah adalah tugas menyediakan makanan dan jamuan bagi para peziarah, terutama bagi mereka yang datang dari jauh atau kurang mampu. -
Liwa’ dan Qiyadah (Otoritas Militer)
Dalam urusan militer, terdapat dua jabatan kunci. Liwa’ adalah kehormatan untuk memegang bendera perang suci milik Suku Quraisy. Bendera ini hanya akan dikibarkan saat perang besar. Adapun Qiyadah adalah jabatan panglima perang. Pemegang jabatan ini bertugas memimpin pasukan Quraisy dalam pertempuran dan mengatur strategi pertahanan kota.
Tatanan Berbasis Kehormatan
Pada dasarnya, sistem pemerintahan Arab Jahiliyah di Mekkah adalah sebuah aristokrasi kesukuan. Kekuasaan tidak terpusat, melainkan terdistribusi di antara para pemimpin klan melalui musyawarah. Sistem ini berjalan efektif karena ditopang oleh fondasi kehormatan suku, tradisi leluhur, dan kepentingan bersama untuk menjaga stabilitas Mekkah sebagai pusat Jazirah Arab. Barulah kemudian, Islam datang membawa sebuah konsep revolusioner, yaitu ummah, sebuah komunitas yang diikat oleh iman, yang melampaui batas-batas darah dan kabilah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
