Khazanah
Beranda » Berita » Menyingkap Dilema Akademisi dan Kekuasaan: Antara Pengaruh dan Insularitas

Menyingkap Dilema Akademisi dan Kekuasaan: Antara Pengaruh dan Insularitas

Meneladani Sifat Jujur dan Amanah dari Rasulullah
Meneladani Sifat Jujur dan Amanah dari Rasulullah. Meneladani Rasulullah bukan sekadar mengenang kisahnya, tetapi menerapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Gambar : AI

Akademisi memegang peran penting dalam masyarakat. Mereka adalah penjaga nalar dan produsen ilmu pengetahuan. Idealnya, mereka berdiri sebagai pilar kebenaran objektif. Namun, realitas seringkali jauh lebih kompleks. Dunia akademik kini menghadapi persimpangan jalan yang krusial. Mereka terbelah antara tarikan lingkaran kekuasaan dan jebakan insularitas akademik. Kondisi ini memunculkan dilema akademisi dan kekuasaan yang fundamental.

Godaan Panggung Kekuasaan

Kekuasaan selalu menawarkan panggung yang menggiurkan. Para penguasa membutuhkan legitimasi intelektual. Akademisi memiliki kapasitas untuk memberikannya. Mereka diundang masuk ke dalam pemerintahan. Posisi sebagai menteri, staf ahli, atau penasihat menjadi tawaran menarik. Dengan posisi itu, seorang akademisi bisa memengaruhi kebijakan publik secara langsung. Ide dan riset mereka tidak lagi hanya berakhir di jurnal ilmiah.

Namun, kedekatan ini memiliki harga yang mahal. Objektivitas ilmiah seringkali menjadi korban pertama. Akademisi yang masuk lingkaran kekuasaan berisiko menjadi “tukang stempel”. Riset mereka bisa jadi diarahkan untuk mendukung agenda politik tertentu. Suara kritis mereka perlahan meredup. Mereka mulai berpikir tentang implikasi politis dari setiap pernyataan. Pada titik ini, independensi intelektual mereka mulai terkikis.

Seorang pengamat sosial, Budi Santoso, mengkritik fenomena ini. Ia menyatakan, “Ketika seorang intelektual menjadi stempel kekuasaan, ia kehilangan esensinya. Ilmunya tidak lagi mengabdi pada kebenaran, tetapi pada kepentingan sesaat. Kutipan ini menyoroti bahaya besar ketika dunia akademik terlalu mesra dengan politik praktis. Kepercayaan publik terhadap institusi ilmu pengetahuan pun bisa runtuh.

Benteng Sunyi Insularitas Akademik

Di sisi lain, ada kelompok akademisi yang memilih jalan berbeda. Mereka menarik diri sepenuhnya dari hiruk pikuk politik. Mereka membangun “menara gading” yang kokoh. Di dalamnya, mereka fokus pada penelitian dan publikasi jurnal internasional. Mereka berbicara dengan bahasa yang sangat teknis. Diskusi mereka hanya dapat dipahami oleh sesama kolega di bidangnya. Sikap ini dikenal sebagai insularitas akademik.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Sikap ini menjaga kemurnian dan objektivitas ilmu pengetahuan. Mereka tidak terkontaminasi oleh kepentingan politik. Namun, sikap ini juga menciptakan jarak yang lebar dengan masyarakat. Ilmu pengetahuan yang mereka hasilkan menjadi tidak relevan. Riset mereka hanya menjadi tumpukan kertas di perpustakaan. Mereka gagal memenuhi salah satu pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.

Seorang peneliti muda, Anisa Lestari, menyuarakan keprihatinannya. “Ilmu yang tidak menyentuh masyarakat hanyalah tumpukan kertas tak berguna. Kita meneliti masalah sosial, tetapi hasilnya tidak pernah kembali untuk menyelesaikannya.” Pernyataan ini menjadi tamparan keras bagi kaum intelektual yang terasing. Mereka mungkin berhasil menjaga integritas, tetapi gagal memberikan dampak nyata.

Mencari Keseimbangan Ideal: Intelektual Publik

Dilema akademisi dan kekuasaan ini bukanlah pilihan hitam-putih. Solusinya tidak terletak pada salah satu ekstrem. Jalan tengah yang ideal adalah menjadi seorang intelektual publik. Sosok ini mampu menjembatani kedua dunia tersebut.

Seorang intelektual publik tetap aktif dalam penelitian. Ia menjaga standar objektivitas ilmiah yang tinggi. Namun, ia tidak menutup diri dari isu-isu kemasyarakatan. Ia berani menyuarakan hasil risetnya kepada publik. Ia menerjemahkan temuan kompleks menjadi bahasa yang mudah dipahami. Tujuannya agar masyarakat teredukasi dan bisa mengambil keputusan yang lebih baik.

Intelektual publik juga bisa berinteraksi dengan kekuasaan. Namun, interaksinya bersifat kritis dan konstruktif. Ia memberikan masukan berbasis data, bukan pesanan politik. Ia berani mengkritik kebijakan yang salah, meski itu berarti berseberangan dengan penguasa. Posisinya jelas: sebagai mitra kritis, bukan sebagai alat legitimasi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Untuk mewujudkan ini, dibutuhkan ekosistem yang mendukung. Universitas harus memberikan perlindungan bagi kebebasan akademik. Institusi juga perlu mengapresiasi karya pengabdian masyarakat. Institusi akademik harus menilai publikasi di media massa atau advokasi kebijakan setara dengan jurnal ilmiah. Dengan begitu, para akademisi tidak ragu untuk turun gunung dan menyuarakan kebenaran demi kemajuan bangsa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement