Perbudakan modern bukanlah cerita masa lalu. Praktik ini adalah krisis kemanusiaan yang nyata. Jutaan orang di seluruh dunia masih hidup dalam kungkungan eksploitasi. Mereka kehilangan kebebasan dan hak-hak dasarnya. Ironisnya, fenomena ini marak terjadi di negara-negara dengan tingkat religiusitas tinggi, termasuk Indonesia. Hal ini memunculkan pertanyaan penting tentang peran agama melawan perbudakan modern.
Walk Free Foundation merilis data yang mengejutkan. Laporan Global Slavery Index 2023 menunjukkan angka yang suram. Sekitar 50 juta orang hidup dalam perbudakan modern secara global. Dari jumlah itu, 28 juta orang mengalami kerja paksa. Sementara itu, 22 juta lainnya terperangkap dalam perkawinan paksa. Angka ini meningkat signifikan dari data lima tahun sebelumnya.
Indonesia sendiri menempati posisi yang mengkhawatirkan. Negara kita berada di peringkat ke-10 dengan prevalensi perbudakan modern tertinggi di dunia. Diperkirakan ada 1,9 juta jiwa terjerat dalam praktik tidak manusiawi ini. Bentuknya beragam, mulai dari kerja paksa, jeratan utang, perdagangan manusia, hingga perkawinan anak dan paksa. Ini adalah cermin gelap di tengah masyarakat yang kita kenal agamis.
Paradoks di Negeri Religius
Mengapa praktik eksploitatif ini terus tumbuh subur? Padahal, setiap ajaran agama secara universal menentang segala bentuk penindasan dan eksploitasi. Agama selalu mengajarkan nilai-nilai keadilan, welas asih, dan pembebasan manusia. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan hal sebaliknya. Ajaran luhur tersebut seolah tidak berdaya menghadapi sistem yang tidak adil. peran agama melawan perbudakan modern.
Ada jurang pemisah antara ritual keagamaan dan aksi sosial. Banyak umat beragama hanya fokus pada ibadah personal. Mereka melupakan tanggung jawab sosial untuk membela kaum yang tertindas. Agama menjadi sebatas simbol tanpa kekuatan transformatif. Akibatnya, ajaran suci hanya bergema di dalam rumah ibadah. Ajaran itu tidak menjadi kekuatan penggerak untuk perubahan sosial yang lebih adil.
Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM, Zainal Abidin Bagir, menyoroti peran ganda agama dalam isu ini. Menurutnya, agama bisa menjadi alat legitimasi sekaligus sumber perlawanan.
“Agama di satu sisi menjadi salah satu yang melegitimasi, tapi di sisi lain punya sumber-sumber yang bisa digunakan untuk melawannya,” ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa tafsir dan praktik keagamaan sangat menentukan. Umat beragama harus memilih untuk menjadikan keyakinannya sebagai alat pembebasan.
Akar Masalah yang Kompleks
Perbudakan modern tidak muncul dari ruang hampa. Ada berbagai faktor struktural yang menyebabkannya. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengidentifikasi beberapa pemicu utama. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang rentan bagi masyarakat.
“Banyak faktor yang melatarbelakangi mulai dari kemiskinan, ketidaksetaraan gender, hingga minimnya akses pendidikan dan pekerjaan yang layak,” jelas Isnur.
Kemiskinan memaksa orang mengambil pekerjaan berisiko tinggi. Ketidaksetaraan gender membuat perempuan dan anak perempuan sangat rentan. Mereka sering menjadi target perdagangan manusia dan perkawinan paksa. Sementara itu, pendidikan yang rendah membatasi pilihan hidup seseorang. Mereka mudah tertipu oleh tawaran kerja palsu yang berujung eksploitasi.
Sistem ekonomi kapitalistik juga turut memperburuk situasi. Orientasi pada keuntungan maksimal seringkali mengabaikan hak-hak pekerja. Para korban dieksploitasi tenaganya demi keuntungan segelintir pihak. Pemerintah dan aparat penegak hukum terkadang juga gagal memberikan perlindungan yang memadai.
Saatnya Agama Turun Tangan
Menghadapi realitas yang kompleks ini, sikap pasif bukanlah lagi pilihan. Oleh karena itu, para tokoh agama, lembaga keagamaan, dan seluruh umat harus mengambil peran yang lebih proaktif. Ini adalah panggilan untuk mengubah keyakinan menjadi tindakan nyata yang berpihak pada kelompok rentan, serta mengarahkan energi spiritual untuk memperjuangkan keadilan sosial.
Langkah pertama yang paling strategis adalah melalui edukasi. Lembaga keagamaan, misalnya, dapat berfungsi sebagai pusat penyadaran masyarakat tentang bahaya laten perbudakan modern. Melalui mimbar seperti khotbah dan ceramah, pesan-pesan mengenai hak asasi manusia dapat disebarluaskan secara efektif. Dengan demikian, umat akan memahami bahwa melawan segala bentuk penindasan bukan sekadar tindakan sosial, melainkan bagian esensial dari iman itu sendiri.
Selain itu, lembaga agama bisa membangun jaringan advokasi. Mereka dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil. Kolaborasi ini penting untuk mendampingi korban dan menekan pemerintah. Tujuannya adalah menciptakan kebijakan yang lebih kuat untuk melindungi warga negara.
Pada akhirnya, perang melawan perbudakan modern adalah panggilan moral. Ini adalah ujian nyata bagi setiap umat beragama. Iman sejati tidak hanya diukur dari ritual ibadah. Iman sejati terbukti dari keberanian membela mereka yang lemah dan memperjuangkan kemanusiaan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
