Khazanah
Beranda » Berita » Islamisasi Ilmuwan: Pendekatan yang Lebih Tepat Dibanding Islamisasi Ilmu

Islamisasi Ilmuwan: Pendekatan yang Lebih Tepat Dibanding Islamisasi Ilmu

Ilmu

Perdebatan mengenai hubungan antara sains dan Islam telah lama bergulir. Dua gagasan besar sering muncul ke permukaan: islamisasi ilmu dan islamisasi ilmuwan. Keduanya menawarkan cara untuk menyelaraskan nilai-nilai Islam dengan kemajuan pengetahuan. Namun, mana pendekatan yang lebih mendasar dan relevan?

Banyak pihak berpendapat bahwa fokus seharusnya bukan pada “ilmu” itu sendiri. Sebaliknya, perhatian utama harus ditujukan pada “ilmuwan” sebagai subjek atau pelaku. Gagasan ini menekankan pentingnya membentuk karakter dan etika para ilmuwan Muslim.

Prof. Dr. Zainal Abidin Bagir, Direktur Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM, memberikan pandangan tajam mengenai hal ini. Menurutnya, upaya mengislamkan ilmu pengetahuan adalah sebuah kekeliruan konseptual.

Mengapa Gagasan Islamisasi Ilmu Dianggap Kurang Tepat?

Konsep “islamisasi ilmu” seringkali menimbulkan kebingungan. Hal ini seolah-olah menempatkan agama pada ilmu pengetahuan. Padahal, ilmu pengetahuan atau sains pada dasarnya adalah sebuah metode. Metode ini bersifat universal dan tidak terikat pada agama, budaya, atau ideologi tertentu.

Zainal Abidin Bagir menjelaskan bahwa sains tidak memiliki identitas keagamaan. Upaya memberinya label “Islam” atau “Kristen” adalah sebuah kesalahan kategori.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

“Upaya-upaya seperti itu, yang ingin mengislamkan ilmu, mengkristenkan ilmu, itu adalah sebuah category mistake, kesalahan kategori. Karena ilmu itu tidak punya agama,” ujarnya dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu.

Sains bekerja berdasarkan observasi, eksperimen, dan verifikasi. Proses ini bertujuan untuk memahami alam semesta secara objektif. Memberi label agama pada metode ini justru dapat membatasi cakupan dan universalitasnya.

Fokus pada Manusia: Gagasan Kunci Islamisasi Ilmuwan

Sebagai alternatif, Zainal mengusulkan pendekatan yang lebih berfokus pada manusianya. Gagasan “islamisasi ilmuwan” menempatkan sang peneliti sebagai pusatnya. Pendekatan ini tidak mengubah metode ilmiah. Namun, ia bertujuan membentuk ilmuwan yang memiliki landasan nilai dan etika Islam yang kuat.

Seorang ilmuwan adalah manusia yang memiliki keyakinan, nilai, dan pandangan dunia. Semua hal ini secara tidak langsung memengaruhi kerjanya. Mereka memilih topik penelitian, merancang metode, hingga menafsirkan data. Di sinilah peran nilai-nilai keagamaan menjadi sangat relevan.

“Yang bisa kita islamkan adalah ilmuwannya. Tentu ilmuwan itu manusia. Dia punya keyakinan, punya etika. Keyakinan dan etikanya itu akan mewarnai ilmu yang dia hasilkan,” jelas Zainal.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Seorang ilmuwan Muslim yang beretika, misalnya, akan lebih terdorong untuk meneliti isu-isu yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Ia akan menghindari penelitian yang berpotensi merusak lingkungan atau merugikan masyarakat. Di sini, integrasi antara keahlian ilmiah dan kesadaran spiritual terjadi.

Peran Etika dan Nilai dalam Praktik Sains

Islamisasi ilmuwan berarti menanamkan worldview Islam dalam diri para peneliti. Dengan begitu, setiap langkah dalam proses ilmiah mereka akan dipandu oleh prinsip-prinsip etis. Misalnya, prinsip khalifah fil ardh (pemimpin di muka bumi) dapat mendorong seorang ilmuwan biologi untuk fokus pada konservasi alam.

Contoh lain, seorang ilmuwan fisika nuklir yang saleh akan sangat berhati-hati dalam penerapan teknologinya. Ia akan memastikan penemuannya digunakan untuk tujuan damai, seperti energi atau medis, bukan untuk kehancuran. Kesadaran ini lahir dari pemahaman mendalam atas agamanya.

Dengan demikian, produk sains yang dihasilkan akan tetap objektif. Namun, arah dan pemanfaatannya akan selaras dengan nilai-nilai luhur. Ini adalah wujud nyata dari kontribusi Islam dalam peradaban modern melalui sains.

Kesimpulan: Membangun Generasi Ilmuwan Berkarakter

Perdebatan antara islamisasi ilmu dan islamisasi ilmuwan membawa kita pada satu kesimpulan penting. Fokus utama seharusnya adalah membangun sumber daya manusia. Mencetak generasi ilmuwan yang tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga matang secara spiritual dan etis.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Pendekatan ini jauh lebih realistis dan berdampak. Dengan ilmuwan yang berkarakter, sains tidak hanya akan maju, tetapi juga akan berjalan di atas koridor kemanusiaan. Ilmu pengetahuan akan menjadi alat untuk mencapai kebaikan, bukan sebaliknya. Inilah jalan tengah yang paling menjanjikan bagi masa depan sains dalam dunia Islam.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement