Ibadah
Beranda » Berita » Mengkaji Ulang: Sudahkah Kajian Keislaman Ramah Disabilitas?

Mengkaji Ulang: Sudahkah Kajian Keislaman Ramah Disabilitas?

Mewujudkan Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas
Gambar AI, Sumber: gemini.google.com

Diskusi tentang inklusivitas kini meluas ke berbagai sektor. Ruang publik, pendidikan, hingga dunia kerja terus berbenah. Namun, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana dengan ruang spiritual? Sudahkah kajian keislaman ramah disabilitas dan benar-benar merangkul semua umat tanpa terkecuali?

Topik ini bukan sekadar tentang membangun jalur landai di masjid. Ini menyangkut akses yang lebih dalam. Akses terhadap ilmu, pemahaman, dan partisipasi penuh dalam kehidupan beragama. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam semestinya tidak meninggalkan siapa pun di belakang. Namun, kenyataan di lapangan seringkali menunjukkan cerita yang berbeda.

Banyak penyandang disabilitas masih menghadapi tembok penghalang. Tembok ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga struktural dan bahkan teologis. Perjalanan menuju ruang keagamaan yang inklusif ternyata masih panjang dan memerlukan kerja bersama.

Kesenjangan Antara Ideal dan Realita di Lapangan

Secara teologis, Islam memiliki landasan kuat untuk inklusivitas. Al-Qur’an dan hadis memberikan banyak contoh mulia. Kita mengenal kisah Abdullah ibn Umm Maktum, seorang sahabat tunanetra. Nabi Muhammad SAW pernah mendapat teguran langsung dari Allah SWT dalam Surat ‘Abasa karena mengabaikannya. Kisah ini menjadi bukti bahwa setiap individu, terlepas dari kondisinya, memiliki hak yang sama di hadapan Allah.

Namun, idealitas teks suci seringkali berbenturan dengan realitas. Banyak penyandang disabilitas merasa terasingkan dari komunitas agamanya sendiri. Akses terhadap ilmu menjadi tantangan utama yang harus mereka hadapi setiap hari.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Mengidentifikasi Tembok Penghalang Utama

Untuk menciptakan kajian keislaman ramah disabilitas, kita perlu mengenali akar masalahnya. Setidaknya, ada tiga tantangan utama yang menjadi penghalang besar.

  1. Hambatan Akses Fisik dan Komunikasi
    Aksesibilitas fisik masih menjadi masalah klasik. Banyak masjid dan lembaga pendidikan Islam belum memiliki fasilitas memadai. Mulai dari jalur landai, toilet aksesibel, hingga penandaan untuk tunanetra. Lebih dari itu, akses komunikasi juga sering terabaikan. Jarang sekali kita menemukan juru bahasa isyarat saat khotbah Jumat. Materi kajian dalam format Braille atau audio juga masih sangat langka.

  2. Stigma dan Paradigma yang Keliru
    Tantangan terbesar seringkali datang dari pola pikir. Di sebagian masyarakat, disabilitas masih dianggap sebagai kutukan, ujian berat, atau bahkan dosa turunan. Paradigma keliru ini melahirkan stigma yang membuat penyandang disabilitas merasa rendah diri dan enggan berpartisipasi. Akibatnya, mereka tidak hanya kehilangan akses, tetapi juga kehilangan kepercayaan diri untuk menuntut haknya.

  3. Kurikulum Keislaman yang Belum Inklusif
    Materi ajar di lembaga pendidikan Islam jarang sekali membahas isu disabilitas secara mendalam. Fiqh (hukum Islam) yang diajarkan seringkali belum menyentuh kebutuhan spesifik mereka. Misalnya, bagaimana tata cara salat bagi pengguna kursi roda atau bagaimana tunarungu dapat mengikuti bacaan imam.

Dr. Faiz Abdullah, seorang pemerhati studi Islam inklusif, menekankan pentingnya reformasi pemikiran.

Kitab Minhajul Abidin

“Kita tidak bisa lagi hanya berbicara tentang akses fisik. Kita harus masuk ke ranah tafsir dan fiqh. Bagaimana kita menafsirkan ulang teks-teks keagamaan agar lebih berpihak pada martabat dan hak penyandang disabilitas? Ini adalah pekerjaan rumah besar bagi para ulama dan akademisi hari ini.”

Mendorong Gerakan Menuju Inklusi Sejati

Syukurlah, kesadaran mulai tumbuh. Berbagai inisiatif lahir untuk meruntuhkan tembok penghalang tersebut. Lahirnya konsep “Fiqh Disabilitas” menjadi angin segar. Konsep ini berusaha merumuskan panduan ibadah dan muamalah yang kontekstual bagi penyandang disabilitas.

Seorang aktivis hak disabilitas, Rina Setiawati, berbagi pengalamannya.

“Akses bukan hanya soal fasilitas. Ini soal martabat. Bagaimana teman tuli bisa merasakan kekhusyukan jika isi ceramah tidak pernah sampai kepada mereka? Inovasi digital seperti kajian online dengan teks terjemahan dan juru bahasa isyarat menjadi harapan baru bagi kami.”

Gerakan ini didukung oleh pemanfaatan teknologi. Kanal YouTube menyediakan kajian dengan takarir (subtitle). Aplikasi Al-Qur’an digital kini dilengkapi fitur audio. Komunitas-komunitas online menjadi ruang aman bagi penyandang disabilitas untuk belajar agama tanpa merasa dihakimi.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kesimpulan: Sebuah Perjalanan yang Harus Ditempuh Bersama

Menjadikan kajian keislaman ramah disabilitas adalah sebuah keharusan, bukan pilihan. Ini adalah amanah untuk mewujudkan Islam yang inklusif dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Perjalanan ini memang tidak mudah dan masih sangat panjang.

Dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak. Para ulama perlu membuka pintu ijtihad untuk merumuskan fiqh yang lebih relevan. Pengelola masjid harus memprioritaskan aksesibilitas. Pemerintah perlu mendukung dengan regulasi yang kuat. Dan yang terpenting, masyarakat harus mengubah cara pandang dan merangkul penyandang disabilitas sebagai bagian utuh dari jemaah.

Dengan langkah bersama, harapan untuk melihat ruang-ruang ibadah dan majelis ilmu yang ramah bagi semua kalangan pasti bisa terwujud.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement