Gerakan filantropi kini memegang peran penting. Ia menjadi sektor ketiga setelah negara dan pasar. Lembaga filantropi mengisi banyak kekosongan sosial. Mereka membantu komunitas yang tidak terjangkau oleh pemerintah. Mereka juga mengatasi dampak negatif dari mekanisme pasar bebas.
Namun, seiring perkembangannya, filantropi tidak lagi sekadar memberi bantuan. Arah gerakannya telah bergeser secara signifikan. Dunia filantropi modern mulai bergerak menuju pemberdayaan dan perubahan sistemik.
Pergeseran dari Karitas Menuju Perubahan Struktural
Awalnya, banyak orang memahami filantropi sebagai karitas. Bentuknya berupa santunan atau bantuan darurat. Pendekatan ini bersifat jangka pendek. Tujuannya hanya meringankan beban penderitaan sesaat. Model ini memang mulia, tetapi seringkali tidak menyentuh akar masalah.
Para pemikir filantropi modern melihat kelemahan ini. Mereka mendorong perubahan paradigma. Filantropi harus berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. Programnya harus memberdayakan masyarakat agar mandiri. Dengan begitu, filantropi bisa memutus siklus kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Gerakan ini melahirkan berbagai lembaga filantropi profesional. Mereka mengelola dana publik secara akuntabel. Program mereka terukur dan memiliki target jelas. Fokusnya adalah kemandirian ekonomi, pendidikan, dan kesehatan jangka panjang.
Kritik Tajam Terhadap Filantropi Konvensional
Meskipun telah berevolusi, filantropi tetap menuai kritik. Beberapa kritikus menganggap filantropi hanya “pereda nyeri”. Ia mampu mengurangi gejala, tetapi gagal menyembuhkan penyakit utamanya. Penyakit itu adalah ketidakadilan sistemik.
Kritik ini menunjukkan bahwa filantropi bisa melanggengkan masalah. Bantuan terus-menerus dapat menciptakan ketergantungan baru. Masyarakat penerima bantuan menjadi pasif. Mereka tidak terdorong untuk memperjuangkan hak-haknya.
Anand Giridharadas, dalam bukunya Winners Take All, memberikan kritik lebih tajam. Ia berpendapat bahwa filantropi kaum elite global seringkali hanya kedok. Para miliarder memberi sumbangan besar untuk memperbaiki citra mereka. Di saat yang sama, mereka terus mendapat keuntungan dari sistem ekonomi yang tidak adil. Filantropi menjadi cara mereka mempertahankan status quo tanpa benar-benar mengubah struktur yang timpang.
Ahmad Fuad Fanani, penulis artikel asli, menyoroti dilema ini dengan sangat baik. Ia menulis:
“Kritik atas gerakan filantropi memang berada dalam tegangan antara kutub optimistik dan pesimistik. Di satu sisi, ada optimisme besar bahwa filantropi bisa menjadi agen perubahan sosial. Namun, di sisi lain, ada pesimisme bahwa gerakan filantropi hanya akan menjadi ‘pemadam kebakaran’ atau bahkan ‘pelumas’ bagi mesin ketidakadilan.”
Kutipan ini menegaskan adanya dua pandangan ekstrem. Ada harapan besar pada filantropi. Namun, ada juga kekhawatiran besar akan dampak negatifnya.
Solusi Cerdas: Gerakan Filantropi Keadilan Sosial
Menjawab berbagai kritik tersebut, muncullah sebuah konsep baru. Konsep itu bernama filantropi keadilan sosial (social justice philanthropy). Gerakan ini memiliki pendekatan yang sama sekali berbeda. Tujuannya bukan sekadar memberi bantuan atau memberdayakan secara ekonomi.
Filantropi keadilan sosial fokus pada akar masalah. Ia berusaha membongkar struktur yang menindas. Kegiatannya meliputi advokasi kebijakan publik. Ia juga mendukung gerakan sosial yang memperjuangkan hak-hak kelompok marjinal. Pemberdayaan di sini berarti memberi kekuatan politik kepada yang lemah.
Tujuannya adalah perubahan sistem. Filantropi ini mendanai riset, kampanye publik, dan bantuan hukum. Semua itu dilakukan untuk menciptakan regulasi yang lebih adil. Ia tidak ingin sekadar menolong korban, tetapi mencegah munculnya korban baru.
Potensi Besar Filantropi Islam dalam Menegakkan Keadilan
Dalam konteks Islam, semangat filantropi keadilan sosial sangat relevan. Instrumen seperti Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (ZISWAF) memiliki potensi luar biasa. Jika dikelola dengan visi keadilan, ZISWAF bisa menjadi motor perubahan sosial yang kuat.
Etika Islam mengajarkan bahwa kekayaan memiliki fungsi sosial. Zakat, misalnya, bukan sekadar sedekah. Ia adalah hak kaum fakir miskin yang wajib ditunaikan oleh orang kaya. Konsep ini secara mendasar menentang penumpukan harta dan ketimpangan ekonomi.
Oleh karena itu, lembaga filantropi Islam harus bergerak lebih jauh. Pengelolaan ZISWAF tidak boleh berhenti pada program karitatif. Dana umat harus dialokasikan untuk program advokasi. Misalnya, mendukung petani kecil mendapatkan akses lahan. Atau membantu buruh memperjuangkan upah yang layak.
Dengan demikian, filantropi Islam dapat memenuhi tujuan sejatinya. Ia tidak hanya menjadi penolong sesaat. Ia menjadi kekuatan transformatif yang mewujudkan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dalam masyarakat. Masa depan filantropi terletak pada keberaniannya untuk mengubah sistem.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
