Kesehatan
Beranda » Berita » Kesabaran Saat Sakit: Refleksi Kehidupan dari IGD

Kesabaran Saat Sakit: Refleksi Kehidupan dari IGD

Kesabaran Saat Sakit: Refleksi Kehidupan dari IGD

Refleksi Kehidupan dari Ruang IGD.

 

Foto ini menangkap suasana sederhana di depan pintu Instalasi Gawat Darurat (IGD). Ada yang berseragam medis, seolah siap siaga melayani pasien, dan ada pula sekelompok orang yang duduk di meja kecil, bercengkerama sambil menunggu. Tampak biasa, namun sesungguhnya menyimpan pelajaran besar tentang kehidupan.

IGD adalah ruang yang selalu identik dengan kesibukan, kegelisahan, dan harapan. Di sanalah setiap orang datang membawa rasa sakit, luka, bahkan ketakutan. Namun di saat yang sama, IGD juga menjadi tempat lahirnya harapan baru, kesembuhan, dan kesempatan kedua dalam hidup.

Pelayan Kemanusiaan

Kita melihat bagaimana petugas medis berdiri di pintu, seakan menyimbolkan kesiagaan seorang pelayan kemanusiaan. Sementara di sisi lain, orang-orang duduk dengan tenang, mungkin keluarga pasien yang tengah berdoa, atau sekadar menunggu kabar dari dalam ruang perawatan. Ada rasa cemas yang berbaur dengan ikhlas, karena di hadapan sakit, manusia sadar betapa lemahnya dirinya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hidup memang sering kali seperti suasana di IGD: tak terduga, penuh kejutan, dan membuat kita harus selalu siap. Kita bisa sehat hari ini, tetapi esok belum tentu. Kita bisa tertawa detik ini, tetapi beberapa menit kemudian bisa saja harus menahan tangis. IGD mengingatkan kita akan kefanaan dunia, bahwa kesehatan, kebahagiaan, dan usia hanyalah titipan Allah.

Maka, ada beberapa renungan penting dari suasana ini:  Sehat adalah nikmat yang sering terlupakan. Kita baru menyadari betapa berharganya sehat ketika tubuh tak lagi mampu berdiri tegak. Sungguh benar sabda Rasulullah ﷺ: “Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari).

Kesabaran adalah obat hati di ruang tunggu

Menanti kabar orang yang kita cintai di IGD bukanlah hal mudah. Namun di situlah iman diuji: sejauh mana kita bertawakal dan percaya bahwa semua sudah dalam genggaman takdir Allah.

Ikhlas melayani adalah jalan mulia: Sosok tenaga medis yang siap di pintu adalah simbol pengabdian.

Mereka bekerja bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan hati. Tanpa mereka, mungkin banyak nyawa yang tak terselamatkan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Doa adalah kekuatan terbesar

Tidak semua sakit bisa sembuh dengan obat, tetapi doa mampu menenangkan hati dan menghadirkan harapan.

Memandang foto ini, kita diingatkan bahwa hidup terlalu singkat untuk disia-siakan. Gunakan waktu sehat untuk memperbanyak amal. Gunakan kesempatan lapang untuk menolong sesama. Dan jadilah seperti petugas medis itu: selalu siap siaga, bukan hanya menolong tubuh, tetapi juga mendoakan jiwa.

Semoga Allah menjaga kesehatan kita, memberi kesabaran saat sakit, dan menguatkan hati keluarga yang tengah menunggu di ruang IGD.

 

 

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi


 

Ampera Bu Atun: Warung Sederhana, Rasa Nusantara.

 

Di tengah hiruk-pikuk jalanan, berdiri sebuah warung makan sederhana yang penuh dengan kehangatan: Ampera Bu Atun. Dari luar, kaca etalase yang dipenuhi aneka lauk pauk khas rumahan sudah menggoda selera. Nasi hangat, sayur segar, sambal pedas, hingga gorengan renyah—semuanya tersaji dengan aroma yang mengingatkan kita pada masakan ibu di rumah.

Ampera, singkatan dari “Ampera Rakyat” memang identik dengan warung makan murah meriah yang lahir dari semangat kebersamaan dan kerakyatan. Ampera bukan sekadar tempat makan, melainkan ruang sosial tempat masyarakat dari berbagai lapisan berkumpul, duduk bersila, menikmati hidangan dengan penuh kesederhanaan.

Di Ampera Bu Atun, kesederhanaan itu berpadu dengan cita rasa. Menu yang tersaji bukan hanya soal kenyang, tetapi juga soal cerita: ada sambal hijau khas Minang, ikan goreng garing, gulai ayam, hingga sayur daun singkong yang khas. Setiap suapan menghadirkan nostalgia, seakan kembali ke kampung halaman.

Lebih dari sekadar makanan, warung kecil ini adalah simbol ketulusan dan keikhlasan. Bu Atun menyajikan makanan bukan hanya untuk berdagang, tetapi untuk berbagi. Setiap pengunjung yang datang merasakan suasana kekeluargaan—sebuah nilai yang semakin jarang kita temukan di tengah modernitas.

Dari sudut pandang dakwah, Ampera mengajarkan kita arti qana’ah (merasa cukup) dan ukhuwah (persaudaraan). Dengan harga terjangkau, semua orang bisa makan, tanpa memandang status. Inilah bentuk nyata dari ajaran Rasulullah ﷺ: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim).

Maka, ketika kita singgah di warung seperti ini, jangan hanya sekadar mengisi perut. Jadikan ia sebagai ruang refleksi—tentang bagaimana kesederhanaan mampu menghadirkan kebahagiaan, tentang bagaimana rezeki yang halal dan barokah bisa lahir dari tangan-tangan yang tulus.

Ampera Bu Atun bukan hanya tempat makan, tapi juga tempat belajar: belajar menghargai rezeki, menghormati usaha orang kecil, dan mensyukuri nikmat yang Allah berikan. (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement