Khazanah
Beranda » Berita » Childfree dalam Timbangan Islam

Childfree dalam Timbangan Islam

Childfree Dalam Timbangan Islam
Ilustrasi tangan anak bayi yang berusaha menggapai tangan ibunya. Sumber Foto: Meta AI

SURAU.CO. Fenomena childfree yaitu keputusan sadar individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak, akhir-akhir ini kembali mencuat ke ruang publik setelah beberapa figur publik menyuarakannya secara terbuka. Sebagian kalangan mendukung pilihan ini dengan berbagai alasan, mulai dari menjaga stabilitas mental, fokus pada karier dan relasi, hingga keinginan untuk hidup tanpa beban tanggung jawab mengasuh anak. Tidak sedikit pula yang menganggap childfree sebagai jalan menuju hidup lebih sehat, lebih awet muda, dan lebih bahagia.

Namun, ketika kita menilai pilihan ini dari sudut pandang Islam, kita tidak bisa melepaskannya dari nilai-nilai wahyu dan tujuan agung dari pernikahan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Islam bukan sekadar memandang anak sebagai hasil biologis dari pernikahan, tetapi sebagai amanah, ladang pahala, dan jalan untuk meraih keberkahan hidup dunia dan akhirat.

Allah Menetapkan Siapa yang Memiliki Anak dan Siapa yang Tidak

Dalam Islam, memiliki anak bukan sekadar pilihan pribadi yang bisa diputuskan semata-mata oleh manusia. Allah Ta’ala secara tegas menyatakan bahwa Dia-lah yang menentukan siapa yang dikaruniai anak dan siapa yang tidak.

Allah berfirman dalam QS. Asy-Syura: 49–50:

“Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau menganugerahkan kedua jenis itu (laki-laki dan perempuan), dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

Ayat ini menegaskan bahwa kelahiran seorang anak bukan sekadar hasil dari keputusan logis dan perencanaan manusia. Manusia mungkin merencanakan, tetapi Allah yang menentukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Kehadiran anak merupakan bagian dari ketetapan ilahi yang berakar dari hikmah dan ilmu-Nya yang tak terbatas.

Jika Allah sudah berkehendak, tiada yang sanggup menghalanginya. Allah menetapkan segalanya dengan tujuan dan alasan yang tidak selalu dapat dijangkau oleh akal manusia.

Tujuan Pernikahan Lebih dari Sekadar Pemenuhan Biologis

Islam memandang pernikahan sebagai ikatan suci yang memiliki makna lebih dalam daripada sekadar memenuhi kebutuhan biologis. Islam menganggap pernikahan  sebagai sarana meningkatkan keimanan. Dan juga sebagai sarana untuk menjaga keturunan dan memperluas generasi yang taat kepada Allah.

Dalam QS. Al-Baqarah: 187, Allah berfirman: “…Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu…”.

Dalam tafsir Ibnu Katsir, frasa “apa yang telah ditetapkan Allah untukmu” sebagai motivasi  memiliki anak berdasarkan riwayat beberapa sahabat Nabi. Sahabat seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Anas bin Malik memiliki pandangan bahwa frasa ini mendorong umat untuk memiliki keturunan. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan utama hubungan suami istri dalam Islam adalah untuk melahirkan generasi penerus yang shalih dan bertakwa.

Riyadus Shalihin dan Fenomena FOMO: Mengapa Kita Takut Tertinggal?

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Nikahilah wanita yang pengasih dan punya banyak keturunan karena aku sangat berbangga karena sebab kalian dengan banyaknya pengikutku.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dengan sanad hasan).

Hadist ini kembali menegaskan, betapa pentingnya keturunan (anak) dalam Islam. Rasulullah ﷺ pun berbangga hati, apabila umatnya memiliki banyak keturunan.

Anak: Investasi Amal Jariyah dan Pemberi Syafaat

Dalam ajaran Islam, memiliki anak bukan hanya urusan duniawi. Anak shalih yang tumbuh dengan iman dan adab yang kuat akan menjadi amal jariyah bagi orang tuanya. Mereka membawa kebaikan dan pahala bagi orang tua yang telah mendidiknya dengan baik.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, seorang Muslim akan berusaha meraih semua pintu amal yang memungkinkan: sedekah, ilmu bermanfaat, dan anak yang shalih. Seorang Muslim hendaknya tidak menutup salah satu jalan pahala hanya karena gaya hidup modern.

Urgensi Riyadhus Shalihin sebagai Pondasi Utama Pendidikan Karakter Bangsa

Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa anak-anak Muslim yang wafat sebelum mencapai usia baligh dapat menjadi jalan bagi orang tuanya untuk meraih Surga. Allah, dengan rahmat-Nya yang luas kepada anak-anak tersebut.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang Muslim yang ditinggal wafat oleh tiga anaknya yang belum baligh kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam Surga karena rahmat-Nya kepada anak-anak tersebut.” (HR. Bukhari)

Setiap Muslim tentu mendambakan masuk Surga, karena berada di dalamnya, bahkan pada tingkatan paling rendah sekalipun, sudah merupakan anugerah besar. Meski demikian, Rasulullah ﷺ mendorong kita untuk mengharapkan tingkatan Surga yang tertinggi. Dalam perjalanan menuju Surga, Allah bisa saja mengangkat derajat seorang hamba yang semula berada di tingkatan rendah, karena sebab anaknya.

Tidak hanya anak yang telah wafat, anak yang masih hidup pun dapat menjadi sebab terangkatnya kedudukan orang tua di akhirat. Ketika seorang anak memanjatkan doa dan istighfar untuk orang tuanya, Allah mencatatnya sebagai amalan yang mendatangkan keutamaan besar.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang yang diangkat kedudukannya di Surga kelak. Maka dia bertanya, ‘Dari mana ini datangnya?’ Dijawab, ‘Dari istighfar anakmu untukmu.’” (HR. Ibnu Majah)

Dengan demikian, kehadiran anak bukan hanya menjadi karunia duniawi, tetapi juga investasi ukhrawi yang dapat mendatangkan syafaat, limpahan rahmat, dan peningkatan derajat di sisi Allah Ta’ala.

Childfree: Antara Gaya Hidup dan Penyimpangan dari Fitrah

Jika seseorang memilih childfree karena alasan gaya hidup, ketakutan terhadap beban tanggung jawab, atau karena ingin menikmati kebebasan individu, maka pilihan ini jelas bertentangan dengan ruh ajaran Islam. Islam memang mendorong umatnya untuk menjaga kesehatan mental dan meningkatkan kualitas hidup, namun Islam tidak pernah membenarkan upaya mencapai hal tersebut dengan cara mengingkari amanah besar berupa keturunan.

Dalam Islam, anak bukan sekadar pelengkap rumah tangga, melainkan bagian dari tanggung jawab syar’i yang bernilai ibadah dan berdampak hingga akhirat. Karena itu, keputusan untuk menolak anak secara prinsipil dan permanen dapat mencerminkan penyimpangan dari tujuan syariat, terutama dalam menjaga kelangsungan keturunan (hifzh al-nasl) sebagai salah satu dari lima maqashid asy-syariah.

Namun, Islam memberikan penerimaan kepada mereka yang tidak bisa memiliki anak karena alasan medis (childless). Kemandulan atau gangguan genetik bukanlah celaan bagi mereka di mata Islam. Islam menerima keadaan mereka dengan penuh kasih sayang dan pengertian. Karena kondisi itu berada di luar kemampuan manusia.

Dalam kasus ini, Islam memerintahkan agar mereka bersabar dan tetap bersyukur atas takdir yang Allah tetapkan, tanpa merasa rendah atau berdosa, karena Allah menilai hamba-Nya berdasarkan niat, usaha, dan ketakwaan, bukan dari hasil akhir semata.

Islam Mengarahkan, Bukan Memaksa

Islam tidak memaksa manusia untuk memiliki anak jika memang Allah belum menghendakinya. Namun, Islam memberikan arahan dan motivasi yang kuat agar umatnya menginginkan dan mempersiapkan diri untuk menerima karunia anak, karena begitu banyak keutamaan yang lahir dari keberadaan anak shalih dalam kehidupan seorang Muslim.

Maka, jika kita melihat semua keutamaan itu, masihkah kita menganggap bahwa menolak anak adalah keputusan yang sejalan dengan fitrah dan petunjuk Allah?

Wallahu a’lam bish-shawab.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement