Al-Qur’an adalah jantung dari kehidupan seorang muslim. Ia berfungsi sebagai petunjuk, obat, sekaligus cahaya yang menerangi jalan. Setiap muslim berinteraksi dengan Al-Qur’an melalui berbagai cara, seperti membacanya, mentadabburinya, hingga menghafalkannya. Namun, pernahkah kita berpikir tentang kondisi sebaliknya? Apa yang terjadi jika hati seorang muslim benar-benar hampa dari firman Allah? Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ memberikan sebuah perumpamaan yang sangat kuat dan menakutkan mengenai hal ini.
Hadits Rumah Rusak: Sebuah Perumpamaan Penuh Makna
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah ﷺ memberikan peringatan keras. Peringatan ini secara khusus ditujukan kepada siapa saja yang tidak memiliki hafalan Al-Qur’an sama sekali di dalam hatinya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya orang yang tidak ada sedikit pun Al-Qur’an di dalam rongganya, ia seperti rumah yang rusak.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini mengandung sebuah analogi yang sangat mendalam. Untuk memahaminya, mari kita bedah makna di baliknya. Ungkapan “di dalam rongganya” (fî jaufihi) merujuk pada hati atau benak seseorang. Sementara itu, “rumah yang rusak” (al-bayt al-kharib) menggambarkan sebuah bangunan yang telah ditinggalkan, kosong, dan mulai runtuh.
Ciri-Ciri Hati yang Bagaikan Rumah Rusak
Perumpamaan rumah rusak memberikan gambaran yang sangat jelas tentang kondisi hati yang hampa dari Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa ciri dari rumah seperti itu.
Pertama, Kosong dari Kebaikan dan Kehidupan. Rumah yang rusak tentu tidak berpenghuni. Ia kosong dari perabotan, kehangatan, dan aktivitas. Begitu pula dengan hati yang tidak memiliki hafalan Al-Qur’an. Hati itu menjadi hampa dari zikir, hikmah, dan nasihat ilahi. Ia menjadi sebuah ruang kosong yang tidak terisi dengan kebaikan.
Kedua, Gelap Tanpa Cahaya Penerang. Selanjutnya, rumah yang rusak pasti gelap gulita karena tidak ada lampu yang menyala. Al-Qur’an adalah cahaya (nuur) yang Allah turunkan. Akibatnya, jika hati tidak memiliki sedikit pun cahaya itu, maka ia akan berada dalam kegelapan abadi. Hati yang gelap akan sulit membedakan antara yang benar dan yang salah, sehingga mudah tersesat.
Ketiga, Menjadi Sarang Setan dan Keburukan. Terlebih lagi, tempat yang kosong, gelap, dan terbengkalai adalah lokasi yang paling disukai oleh setan. Dengan demikian, hati yang kosong dari Al-Qur’an menjadi sasaran empuk bagi bisikan dan godaan setan. Hati itu tidak memiliki benteng pelindung dari ayat-ayat suci.
Al-Qur’an Sebagai Penjaga dan Penghias Hati
Sebaliknya, hati yang dihiasi dengan hafalan Al-Qur’an adalah laksana rumah yang megah. Rumah itu terawat dengan baik, terang benderang, dan penuh dengan kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang tersimpan di dalam dada menjadi penjaga hati yang kokoh. Ia melindungi dari serangan setan dan berbagai penyakit hati.
Orang yang memiliki hafalan Al-Qur’an akan senantiasa teringat kepada Allah. Dalam shalatnya, ia memiliki banyak pilihan surah. Dalam kesendiriannya, ia bisa mengulang-ulang hafalannya. Hal ini membuat hatinya selalu terhubung dengan Sang Pencipta. Karena itulah, para penghafal Al-Qur’an (huffazh) memiliki kedudukan yang sangat mulia di sisi Allah.
Memulai Langkah Pertama: Tidak Ada Kata Terlambat
Kabar baiknya adalah, hadits ini memberikan ancaman bagi mereka yang tidak punya hafalan sedikit pun. Artinya, kondisi yang sangat berbahaya adalah kondisi “nol” atau benar-benar kosong. Ini seharusnya menjadi motivasi besar bagi kita semua. Memiliki hafalan meskipun hanya beberapa surah pendek jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
Setiap muslim tentu hafal surah Al-Fatihah, dan ini sudah menjadi modal awal. Akan tetapi, jangan berhenti di situ. Mulailah menambah hafalan sedikit demi sedikit, misalnya dengan surah-surah pendek di juz 30. Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas adalah benteng perlindungan yang sangat agung.
Tujuannya adalah mengeluarkan hati kita dari kategori “rumah rusak”. Proses menghafal adalah perjalanan seumur hidup. Oleh karena itu, tidak ada kata terlambat untuk memulainya. Jangan biarkan setan membuat kita merasa rendah diri. Setiap satu ayat yang kita hafal adalah satu lampu baru yang kita nyalakan di dalam rumah hati kita.
Pada akhirnya, menghafal Al-Qur’an adalah sebuah kebutuhan mendasar. Ia adalah cara kita merawat dan memperindah aset paling berharga yang kita miliki, yaitu hati. Mari kita mulai hari ini. Jangan biarkan hati kita menjadi bangunan kosong yang lapuk dan tak bercahaya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
