Khazanah
Beranda » Berita » Tertawa dalam Cahaya Islam

Tertawa dalam Cahaya Islam

Tertawa dalam Cahaya Islam

Tertawa dalam Cahaya Islam.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa terlepas dari rasa senang, bahagia, bahkan tawa. Tertawa adalah fitrah manusia, tanda bahwa hati sedang lapang dan jiwa sedang riang. Dalam bahasa Arab, kata ضحك – يضحك على bermakna “tertawa atas sesuatu”. Seperti contoh kalimat:
يضحك عباس على تصرّفات أخيه الصغير (Abbas tertawa melihat tingkah laku adiknya yang kecil).

Tertawa, dalam kadar yang wajar, adalah anugerah Allah untuk menyegarkan jiwa. Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa Allah-lah yang menjadikan manusia mampu tertawa dan menangis:

> وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ
“Dan sesungguhnya Dialah (Allah) yang menjadikan orang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa tawa bukan sekadar reaksi spontan, melainkan bagian dari rahmat Allah agar hidup manusia tidak selalu berat dengan kesedihan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Tertawa yang Menyehatkan

  • Para pakar kesehatan menjelaskan bahwa tertawa dapat menurunkan stres, memperkuat sistem imun, dan membuat tubuh lebih rileks. Rasulullah ﷺ menghiasi wajahnya dengan senyum yang menenangkan sahabat-sahabatnya.

Namun, meskipun tertawa adalah sesuatu yang baik, Islam mengajarkan agar tidak berlebihan. Nabi ﷺ bersabda:

> “Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah)

Maksudnya, jika tawa melampaui batas, ia bisa melalaikan hati dari dzikir, menjauhkan dari keseriusan dalam ibadah, dan membuat orang lupa pada tanggung jawabnya.

Tawa yang Bernilai Ibadah

Tertawa kita menjadi bernilai ibadah saat kita gunakan untuk menyenangkan hati orang lain. Misalnya:

Orang tua tertawa melihat tingkah lucu anaknya.
Seorang kakak tertawa atas kelucuan adiknya, sebagaimana contoh kalimat dalam gambar.
Sahabat yang tertawa bersama, sehingga memperkuat persaudaraan.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam Islam, menyenangkan hati seorang mukmin adalah amalan yang dicintai Allah. Dengan demikian, tawa yang lahir dari kasih sayang, persahabatan, dan kelembutan hati, menjadi bagian dari akhlak mulia.

Batasan dalam Tertawa

Agar tawa tetap bernilai positif, ada beberapa adab yang perlu dijaga:

1. Tidak menertawakan aib orang lain. Islam melarang kita menjadikan kekurangan orang sebagai bahan tertawaan.
2. Tidak berlebihan hingga melalaikan. Tertawa boleh, tetapi jangan sampai lupa waktu, lupa ibadah, atau jatuh pada senda gurau tanpa batas.
3. Tawa yang sopan. Rasulullah ﷺ tertawa dengan senyum lebar, bukan dengan terbahak-bahak. Itu menunjukkan ketenangan jiwa dan kewibawaan.

Penutup: Tertawa adalah bagian dari kehidupan manusia, karunia Allah yang menjadikan hati lapang. Namun, Islam mengajarkan agar kita menertawakan hal-hal yang baik, bukan mengejek, bukan menghina, dan tidak berlebihan. Dengan menjaga adab tertawa, kita bukan hanya memperoleh keceriaan, tetapi juga pahala di sisi Allah.

Maka, sebagaimana Abbas tertawa melihat tingkah laku adiknya dalam contoh kalimat Arab tadi, kita pun bisa belajar bahwa tawa yang tulus dan penuh kasih sayang adalah bagian dari kebahagiaan yang diridhai Allah. Tersenyumlah dengan hati, tertawalah dengan adab, niscaya hidup akan terasa lebih indah.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

 

 


SEBUAH CERITA DARI KOIN LAMA.

Pernahkah kita memandang uang koin lama, kemudian teringat betapa banyak kisah yang melekat padanya?
Inilah koin Rp100 keluaran tahun 1978–1992 yang menampilkan Rumah Gadang, ikon budaya Minangkabau.

Dulu, koin ini sangat berarti. Dengan Rp100, anak-anak bisa membeli es lilin, permen karet, atau jajan pasar. Nilainya sederhana, namun maknanya begitu dalam. Kini, koin ini sudah jarang beredar. Bagi sebagian orang, mungkin hanya logam tak bernilai. Namun, bagi yang paham sejarah, koin ini adalah jejak perjalanan bangsa.

Rumah Gadang di Uang Koin

Mengapa dipilih Rumah Gadang? Karena uang bukan sekadar alat tukar, tetapi juga sarana memperkenalkan identitas bangsa. Rumah Gadang mencerminkan kearifan lokal, kebersamaan, dan falsafah hidup adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah. Sebuah pesan budaya yang diabadikan dalam benda sederhana bernama uang.

Pelajaran dari Koin Lama

Nilai benda bisa berubah, tapi makna sejarahnya tetap abadi.

Apa yang dulu dianggap kecil, kini menjadi harta berharga bagi kolektor.

Begitu juga kehidupan: jangan remehkan kebaikan sekecil apa pun, karena di kemudian hari bisa menjadi kenangan yang abadi.

Hari ini, koin Rp100 Rumah Gadang bukan lagi sekadar alat tukar, tapi menjadi pengingat tentang kesederhanaan, budaya, dan perjalanan ekonomi Indonesia.

Hidup seperti koin lama: meski kecil dan mungkin terlupakan, tetaplah punya nilai yang tak tergantikan di mata yang menghargai.  (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement