SURAU.CO. Setiap kita pasti pernah berbuat salah ataupun dosa, karena memang fitrakhnya manusia tempat salah dan lupa. Setiap kali kita menyadari berbuat salah atau dosa, maka taubat adalah solusinya. Taubat bukan hanya sekedar meminta maaf, tapi juga merupakan proses memperbaiki diri dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Islam memandang taubat sebagai pintu kebaikan yang terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin berubah menjadi lebih baik. Taubat membantu membersihkan hati dari dosa dan kesalahan masa lalu, sehingga kita bisa merasa lebih tenang dan damai. Dengan taubat, kita berjanji untuk menjadi lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Tidak hanya itu, taubat membuka peluang bagi kita untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT, sehingga kita bisa merasa lebih lega dan bebas dari rasa bersalah. Dengan taubat, kita bisa mendapatkan peluang kedua untuk hidup lebih baik dan menjadi lebih dekat dengan Allah SWT.
Pertanyaannya, haruskah kita mengumumkan taubat secara terang-terangan atau menyembunyikannya?
Makna dan Esensi dalam Islam
Dalam ajaran Islam, taubat merupakan tindakan aktif seorang hamba yang sadar akan kesalahannya, kemudian menyesalinya dan dengan penuh kerendahan hati memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas dosa-dosa yang telah ia perbuat. Karena manusia tidak akan pernah lepas dari khilaf dan dosa. Maka Islam memerintahkan setiap Muslim untuk senantiasa mengintrospeksi diri dan kembali kepada Allah melalui taubat yang sungguh-sungguh.
Allah Azza wa Jalla, dengan sifat-Nya yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang, membuka pintu taubat seluas-luasnya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin memperbaiki diri. Firman-Nya dalam surah An-Nisa ayat 110 menegaskan: “Dan barangsiapa yang melakukan kejahatan atau menzalimi dirinya, lalu ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan dalam sabdanya: “Sungguh, Allah meluaskan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat hamba yang bermaksiat di siang hari, dan Allah meluaskan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat hamba yang bermaksiat di malam hari.” (HR. Muslim no. 7165)
Dalam hadis lain, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama ruh belum sampai di tenggorokan (sakaratul maut).” (HR. Tirmidzi no. 3880)
Kemudian hadis, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda: “Sungguh, Allah meluaskan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di siang hari. Dan Allah meluaskan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat dari hamba yang bermaksiat di malam hari” (HR. Muslim no.7165)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda: “Sungguh Allah menerima taubat hamba-Nya selama belum yu-ghor-ghir” (HR. At Tirmidzi). Yu-ghor-ghir artinya ketika nyawa sudah sampai di kerongkongan. Itulah batas waktu terakhir yang Allah tidak menerima lagi taubat hamba-Nya.
Apa Syarat Taubat ?
Para ulama menetapkan tiga syarat utama untuk taubat yang sah, yaitu menghentikan perbuatan maksiat (al-iqla’), menyesali perbuatan yang telah lalu (an-nadam), dan bertekad tidak mengulanginya (al-‘azm).
Jika seorang Muslim melaksanakan ketiga syarat ini, maka ia telah menjalankan taubat yang sah menurut syariat. Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu bahkan menggambarkan taubat nasuha sebagai keadaan ketika seseorang tidak mengulangi dosanya. Beliau berkata, “taubat nasuha adalah dengan tidak mengulang lagi dosa yang ia taubati, sebagaimana susu yang tidak akan masuk lagi ke perahannya” (Tafsir Al Baghawi, 8/169).
Kemudian, Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan: “Taubat seorang hamba adalah dengan menyesal terhadap apa yang telah ia lakukan, ditambah dengan tekad untuk tidak melakukannya lagi”. (Tafsir Al Baghawi, 8/169).
Sementara itu, Al Qurthubi rahimahullah mengatatakan,“Taubat itu menggabungkan 4 hal: istighfar dengan lisan, berhenti melakukan maksiat dengan badan, bertekad untuk tidak kembali melakukannya dengan anggota badan, dan menjauhi teman-teman yang buruk” (Tafsir Al Baghawi, 8/169).
Dari riwayat diatas, kita memahami penyesalan sebagai esensi dari taubat. Sadari dan menyesali ketika telah melakukan kesalahan, sambil terus berupaya memperbaiki diri.
Haruskah Kita Mengumumkan Taubat?
Pertanyaan penting muncul: haruskah seseorang mengumumkan taubatnya secara terbuka? Mayoritas ulama sepakat bahwa kita tidak perlu mengumumkan taubat secara terang-terangan. Sebaliknya, kita lebih utama melakukannya secara pribadi antara hamba dan Allah SWT.
Hal ini didukung oleh firman Allah dalam QS. Al-Furqan ayat 70: “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal yang saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ayat ini tidak menyebutkan keharusan untuk mengumumkan taubat. Namun, Allah menjanjikan ampunan dan mengganti dosa-dosa dengan kebaikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: “Penyesalan adalah taubat.” (HR. Ahmad no.3568 dan Ibnu Majah no. 4252)
Seorang hamba telah melakukan taubat yang sah, jika dia menyesali dosanya, berhenti melakukannya, dan bertekad memperbaiki diri, meskipun tanpa diumumkan. Ustadz Mu’tashim, Lc., dalam bimbingan BIAS, menegaskan bahwa mengumumkan taubat bisa mendatangkan mudarat, seperti timbulnya riya’ (pamer amal) atau ujub (merasa diri suci), yang justru bisa merusak keikhlasan dan niat taubat itu sendiri.
Kapan Kita Perlu Mengumumkan Taubat?
Namun, dalam kondisi tertentu, syariat menganjurkan kita untuk mengumumkan taubat. Jika seseorang melakukan dosa secara terbuka dan masyarakat mengetahuinya, maka dia harus menyatakan taubatnya secara terbuka juga. Ini bertujuan untuk meluruskan kesalahan yang telah menyebar, dan menghentikan dampak negatif (domino effect) dari perbuatannya.
Mengumunkan taubat pada khalayak, juga dapat menjadi motivasi bagi orang lain agar tidak mengikuti kesalahan tersebut, dan meninggalkan kemaksiatan dengan mengikuti jalan taubat. Dalam konteks ini, pengumuman taubat menjadi sarana dakwah dan bentuk tanggung jawab moral di hadapan umat.
Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa “Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang taubat hendaknya menyembunyikan taubatnya. Tidak menyampaikannya kepada siapa pun. Namun ia simpan antara dia dengan Allah ‘azza wa jalla. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan sahabat yang lain. Asy Syafi’i juga menegaskan pendapat ini. Dan di antara ulama madzhab kami (Hambali) ada yang mengatakan: jika orang tersebut tidak dikenal sebagai ahli maksiat maka hendaknya ia sembunyikan taubatnya. Namun jika ia mengumumkan maksiatnya sehingga ia masyhur dikenal sebagai pelaku maksiat tersebut, maka yang lebih utama ia nyatakan taubatnya di depan imam untuk membersihkan namanya” (Fathul Bari, 1/61-62).
Pada prinsipnya, seorang Muslim perlu mengumumkan taubatnya apabila kondisi menuntutnya untuk memulihkan reputasi dan membersihkan diri dari dosa yang telah ia lakukan secara terbuka. Tindakan ini bertujuan untuk menjaga kehormatan dan mencegah kesalahpahaman masyarakat.
Jika tidak ada maslahat atau kebutuhan syar’i yang mendesak, maka seorang hamba lebih utama merahasiakan taubatnya. Dengan demikian, dia menjaga keikhlasan dan menghindari riya atau ujub, menjadikan taubatnya sebagai urusan pribadi dengan Allah.
Pintu Kembali Kepada Allah
Islam mendorong setiap hamba untuk menempuh jalan taubat sebagai bentuk penghambaan yang mulia dan pintu kembali kepada Allah yang senantiasa terbuka bagi siapa pun yang ingin memperbaiki diri. Ajaran Islam tidak mewajibkan seorang Muslim untuk mengumumkan taubatnya. Akan tetapi, jika mengumumkan taubat dapat memberikan maslahat besar atau memenuhi kebutuhan syar’i tertentu, maka seorang Muslim dapat memilih untuk mengumumkan taubatnya.
Namun, dalam kondisi normal, IslamIslam mengajarkan agar seseorang menjaga keikhlasan dengan merahasiakan taubatnya, karena yang terpenting adalah menjadikan taubat itu sebagai bukti nyata atas ketundukan dan ketaatan tulus kepada Allah semata.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
