Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar ikatan biologis. Ia merupakan sebuah perjanjian agung dan sakral. Al-Qur’an menyebutnya sebagai mitsaqan ghalidzan. Ikatan ini menuntut tanggung jawab besar dari kedua pasangan. Tujuannya sangat mulia. Yakni membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kesiapan penuh adalah syarat mutlak. Selama ini, banyak orang menganggap baligh sebagai standar utama. Baligh atau pubertas memang menjadi penanda kedewasaan biologis. Namun, apakah itu cukup untuk memikul amanah pernikahan? Ulama dan pakar sepakat bahwa kesiapan mental jauh lebih penting.
Dari Batasan Baligh Menuju Konsep Rusyd
Secara fikih, baligh menandai dimulainya kewajiban syariat. Seseorang yang sudah baligh dianggap cakap hukum. Namun, pernikahan memiliki dimensi yang lebih kompleks. Ia menyangkut pengelolaan emosi, finansial, dan sosial. Di sinilah konsep rusyd menjadi relevan sebagai standar ideal.
Rusyd berarti kedewasaan akal, mental, dan finansial. Seseorang dianggap rusyd saat mampu mengelola urusannya dengan bijak. Ia bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Ia juga mampu mengatur keuangan secara mandiri. Kematangan inilah yang menjadi bekal sesungguhnya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tanpa rusyd, pernikahan sangat rentan terhadap konflik.
Para ulama fikih telah lama membahas pentingnya kematangan ini. Mereka mengaitkannya dengan kemampuan seseorang dalam mengelola harta. Kemampuan ini menjadi cerminan kesiapan dalam memimpin keluarga.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menegaskan:
“Kematangan berpikir (rusyd) dalam pernikahan adalah kemampuan seorang suami untuk mengatur rumah tangga dan istrinya dengan baik, sesuai dengan tradisi yang berlaku, serta kemampuannya dalam mengelola keuangan, baik itu dalam konteks pemberian mahar, nafkah, maupun kebutuhan lainnya. Sementara itu, bagi seorang istri, kematangan berpikir berarti kemampuannya untuk menjaga harta suaminya, merawat anak-anaknya, serta mengatur urusan rumah tangga dengan efisien dan bijaksana.”
Penjelasan Syekh Wahbah sangat jelas. Kesiapan mental pernikahan mencakup keterampilan praktis. Suami harus mampu menjadi pemimpin yang bijak. Istri harus mampu menjadi manajer rumah tangga yang andal. Semua ini membutuhkan kedewasaan yang melampaui sekadar usia biologis.
Kematangan sebagai Bagian dari Kafa’ah (Kesetaraan)
Konsep kafa’ah atau kesetaraan juga menyoroti pentingnya kematangan. Pasangan yang kufu’ (setara) memiliki peluang lebih besar untuk harmonis. Kesetaraan ini tidak hanya soal status sosial atau nasab. Kesetaraan dalam pola pikir dan kedewasaan emosional justru lebih esensial.
Pasangan yang matang secara mental lebih mudah berkomunikasi. Mereka dapat menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Mereka juga saling mendukung dalam menjalankan peran masing-masing. Ini sejalan dengan pandangan para ulama terdahulu.
Syekh Nawawi Banten dalam kitab Nihayatuz Zain menyebutkan:
“Dan termasuk dalam kategori sekufu (kafa’ah) adalah terbebas dari aib yang dapat membatalkan pernikahan.”
Meski aib di sini merujuk pada cacat fisik atau penyakit, ketidakdewasaan mental bisa dianggap aib modern. Ketidakmatangan dapat merusak keharmonisan. Ia memicu konflik yang seharusnya tidak perlu terjadi. Karena itu, kesiapan mental menjadi bagian tak terpisahkan dari kafa’ah.
Dampak Nyata Pernikahan Tanpa Kesiapan Mental
Memaksakan pernikahan tanpa kesiapan mental membawa banyak risiko. Data menunjukkan angka perceraian yang tinggi. Banyak di antaranya terjadi pada pasangan usia muda. Mereka belum siap menghadapi tekanan dan tanggung jawab pernikahan.
Selain itu, risiko kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga meningkat. Emosi yang tidak stabil membuat konflik kecil menjadi besar. Kesehatan fisik dan mental pasangan pun terancam. Bagi perempuan, pernikahan dini meningkatkan risiko kematian saat melahirkan. Anak-anak yang lahir juga berisiko mengalami stunting.
Pemerintah Indonesia menyadari bahaya ini. Melalui UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019, batas usia minimal menikah dinaikkan menjadi 19 tahun. Aturan ini selaras dengan semangat syariat Islam. Yaitu untuk mencegah kerusakan (mafsadah) dan mewujudkan kemaslahatan (maslahah).
Pada akhirnya, Islam menginginkan pernikahan yang membangun peradaban. Pernikahan menjadi fondasi lahirnya generasi berkualitas. Hal itu hanya bisa tercapai jika dibangun oleh pasangan yang matang. Pasangan yang siap secara fisik, mental, spiritual, dan finansial. Kedewasaan mental adalah kuncinya. Ia bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
