Opinion
Beranda » Berita » Menjadi Muslim yang Aktif dan Relevan di Tengah Pergaulan Modern  

Menjadi Muslim yang Aktif dan Relevan di Tengah Pergaulan Modern  

Muslim di Tengah Pergaulan Modern
Ilustrasi Muslim Aktif di Tengah Pergaulan Modern. Sumber Foto: Meta AI

SURAU.CO. Dalam sebuah percakapan anak muda, muncul celetukan bernada ejekan. Ah, kurang gaul lu… Makanya sini gaul ama kita-kita… Anak gaul mah gak kayak itu… Dan seterusnya, yang menggambarkan seolah menjadi anak gaul itu suatu capaian atau standar yang harus terpenuhi.

Sebagian anak muda menggunakan istilah “gaul” sebagai ekspresi untuk menunjukkan bahwa mereka mengikuti perkembangan zaman dan tren sosial yang sedang populer. Dalam banyak kasus, semangat ingin eksis atau tampil menonjol di kalangan sebaya menjadi salah satu bentuk pencarian jati diri pemuda. Mereka menginginkan pengakuan, penerimaan, dan kesempatan untuk menjadi bagian dari arus pergaulan yang sedang berlangsung.

Namun, dalam konteks Islam, penting bagi seorang muslim untuk tetap aktif berinteraksi dengan masyarakat, tanpa kehilangan arah dan prinsip syar’i.

Islam Membolehkan Pergaulan Selama Tidak Melanggar Batas Syariat

Syariat Islam tidak melarang umatnya untuk bersosialisasi atau bergaul, selama aktivitas tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Dalam kaidah fikih disebutkan: “Hukum asal dalam muamalah (urusan dunia) adalah mubah (boleh)”

Artinya, seorang muslim boleh mengikuti gaya hidup atau kebiasaan sosial yang berkembang di sekitarnya, selama tidak mengandung unsur maksiat atau menyelisihi ajaran Islam. Bahkan, mencocokkan diri dengan adat dan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan syariat dapat menjadi bentuk hikmah dalam berdakwah dan menjaga harmoni sosial.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Misalkan dalam menghadiri sebuah acara pesta yang semua orang menggunakan batik. Atau ketika mengikuti acara resmi, dimana semua orang menggunakan stelan jas. Maka, lebih bijak bagi seorang muslim untuk memakainya juga, daripada memilih pakaian ibadah seperti jubah atau koko yang bisa terkesan tidak sesuai konteks.

Hal ini sejalan dengan penjelasan ulama besar, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin: “Menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan haram adalah disunnahkan. Karena menyelisihi kebiasaan umum justru bisa termasuk dalam kategori syuhrah (mencari sensasi atau tampil mencolok), Nabi ﷺ melarang berpakaian syuhrah. Jadi sesuatu yang menyelishi kebiasaan masyarakat setempat, itu dilarang dilakukan.” (Syarh al-Mumti’, 6/109)

Lebih dari itu, Islam mengajarkan kita untuk tetap hidup di tengah masyarakat, berkontribusi, dan bersabar atas segala ujian dari interaksi sosial. Namun, kita tetap berusaha istiqamah dan memohon pertolongan Allah Swt. Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang muslim sejati, jika ia bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi – Shahih)

Waspadai Pergaulan yang Menyalahi Syariat

Meski niatnya baik, pergaulan yang melampaui batas dan tidak lagi mengindahkan nilai-nilai Islam perlu dihindari. Mencari pengakuan sosial dengan mengorbankan prinsip agama merupakan kesalahan fatal. Menjadi “gaul” tidak berarti harus meniru gaya hidup yang melanggar akhlak dan adab Islam. Apa yang kita cari adalah ridha Allah, bukan pujian atau penerimaan manusia. Kualitas beragama jauh lebih penting, dari pada semata-mata kuantitas sekadar mengumpulkan manusia dalam jumlah yang banyak.

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah pada saat manusia tidak menyukainya, maka Allah akan mencukupkannya dari beban manusia. Sebaliknya, barangsiapa yang mencari ridha manusia namun Allah murka, maka Allah akan membiarkannya bergantung kepada manusia.” (HR. Tirmidzi – Shahih)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Upaya mengajak orang kepada agama, termasuk dalam gerakan hijrah, tidak boleh dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan prinsip Islam. Ridha manusia tidak memiliki batas dan terus berubah; sedangkan ridha Allah adalah tujuan sejati yang kekal.

Imam Syafi’i rahimahullah menyampaikan hikmah berharga: “Mencari ridha semua manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai. Maka tetaplah berbuat baik dan istiqamahlah.” (Mukhtashar Sifatus Shafwah, 1/85)

Jadikan Gaul Sebagai Sarana

Muslim yang cerdas senantiasa berperan aktif dalam kehidupan sosialnya. Ia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan tanpa kehilangan identitas keislamannya. Ia menggunakan gaya hidup gaul sebagai sarana untuk memperkuat hubungan sosial, bukan sebagai tujuan akhir, selama ia tetap berpegang pada prinsip syar’i. Dalam setiap interaksi, ia tetap menjaga prinsip-prinsip syariat, menjadikan nilai Islam sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak.

Karena itu, seorang muslim semestinya hadir di tengah masyarakat sebagai pribadi yang bijak, adaptif, dan berintegritas, yang mampu menyebarkan nilai kebaikan melalui pergaulan yang terarah dan penuh makna.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement