SURAU.CO. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, yang dikenal luas sebagai Inyiak Canduang, lahir di Candung pada 10 Desember 1871. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Rasul Tuanku Mudo merupakan guru agama, sementara kakeknya, Tuanku Nan Paik, juga seorang alim terkemuka di Candung. Pendidikan agamanya bermula di Surau Tangah, dan sejak kecil, ia telah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu-ilmu keislaman.
Sang Pembelajar
Sejak 1881, Sulaiman Ar-Rasuli aktif menimba ilmu ke berbagai pusat pendidikan Islam di Minangkabau, seperti Batuhampar, Biaro, Sungai Dareh, Banuhampu dan Halaban. Ia belajar Al-Qur’an, bahasa Arab, fikih, tauhid, hingga tafsir kepada sejumlah ulama besar, termasuk Syekh Abdurrahman, Syekh Muhammad Arsyad, syekh Abdussamad Tuanku Samiak, Syekh Muhammad Ali Tuanku Kolok, Syekh Muhammad Salim Sungai Dareh, Syekh Abdussalam dan Syekh Abdullah.
Pada tahun 1896, Sulaiman Ar-Rasuli mulai mengabdikan diri sebagai pengajar di surau gurunya, menunjukkan dedikasi awalnya dalam dunia pendidikan Islam. Enam tahun kemudian, ia kembali ke kampung halamannya di Canduang untuk melanjutkan peran mulianya sebagai pendidik. Pada tahun 1903, ia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan memutuskan untuk menetap di Makkah selama empat tahun. Di sana, ia secara aktif memperdalam ilmu keislaman langsung dari para ulama besar dunia, diantaranya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mukhtar Atarid al-Bughuri, Syekh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syekh Ahmad Syata al-Makki, Syekh Ali al-Kalantani, Syekh Usman as-Sarawaqi, Syekh Said al-Yamani, dan Syekh Ahmad al-Fatani.
Setelah menimba ilmu dari para tokoh internasional, pada tahun 1923, Sulaiman Ar-Rasuli melanjutkan perjalanan spiritualnya dengan kembali ke Batuhampar untuk bersuluk di bawah bimbingan Syekh Muhammad Arsyad. Dari proses suluk tersebut, ia berhasil memperoleh ijazah sebagai mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, yang menegaskan kapasitas keilmuannya dalam bidang tasawuf dan membuktikan kedalaman spiritualitasnya sebagai ulama terkemuka.
Memulai Perjuangan dari Organisasi
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli turut memainkan peran strategis dalam dinamika sosial-politik umat Islam. Ia secara aktif memulai perjuangannya melalui berbagai organisasi yang berpengaruh dalam kehidupan umat Islam. Pada tahun 1918, ia memimpin cabang Syarikat Islam di wilayah Candung-Baso, menunjukkan kepeduliannya terhadap pergerakan sosial-politik umat. Tiga tahun kemudian, ia memperluas perannya dengan bergabung dalam Ittihad Ulama Sumatera pada 1921, sebuah wadah penting yang menghimpun ulama dari berbagai daerah. Ketika masa pendudukan Jepang pada tahun 1943, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli memimpin Majelis Islam Tinggi Minangkabau, mempersatukan para ulama lintas golongan demi menjaga kesatuan umat di tengah situasi nasional yang genting.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, pemerintah mempercayakan jabatan Ketua Mahkamah Syar’iyah Sumatera Tengah kepadanya pada tahun 1947. Ia menjalankan amanah tersebut hingga 1958, setelah sebelumnya mengabdi sebagai kadi di Candung selama hampir tiga dekade. Dalam kepemimpinannya di Mahkamah Syar’iyah yang berkedudukan di Bukittinggi, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli menegakkan hukum Islam dengan ketegasan yang bijaksana. Wibawa keilmuannya dalam bidang fikih serta komitmennya terhadap nilai-nilai keadilan syar’i menjadikan kepemimpinannya dihormati luas, baik oleh sesama ulama maupun oleh masyarakat umum.
Mengawali Karir Politik Bersama Perti
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli mengambil peran aktif dalam pengembangan pendidikan Islam dengan memulai pengajaran melalui sistem halaqah di Surau Baru, Candung. Pada tahun 1908, ia menunjukkan visi pendidikan yang maju dengan merintis sistem madrasah melalui pendirian Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Candung. Madrasah ini tidak hanya menjadi pusat pembelajaran keislaman, tetapi juga meletakkan fondasi bagi lahirnya organisasi besar Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Pada tahun 1928, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli bersama para ulama tradisionalis seperti Syekh Abbas Ladang Lawas dan Syekh Muhammad Jamil Jaho, secara aktif mendirikan Perti. Perti hadir sebagai wadah untuk menyatukan madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah yang tersebar di Minangkabau. Melalui Perti, mereka memperkuat sistem pendidikan Islam berbasis mazhab Syafi’i dan akidah Asy’ariyah, serta memperkuat peran ulama dalam membimbing masyarakat secara ilmiah dan spiritual.
Kemudian, pada tanggal 22 hingga 24 Desember 1945, Pimpinan Perti menyelenggarakan sebuah kongres penting di Bukittinggi yang menandai langkah strategis dalam perjalanan organisasi. Dalam semangat kebangkitan nasional pasca-kemerdekaan, kongres tersebut menghasilkan keputusan bersejarah dengan mentransformasikan Perti menjadi partai politik bernama Partai Islam Perti (PI Perti).
Dalam momentum yang sama, Sulaiman Ar-Rasuli yang menjabat sebagai Penasihat Tertinggi PI Perti, turut menggagas pembentukan Lasykar Muslimin Indonesia dan Lasykar Muslimat. Kedua laskar ini menjadi garda terdepan dalam mendukung perjuangan rakyat selama masa revolusi nasional, mencerminkan komitmen Perti terhadap cita-cita kemerdekaan dan nilai-nilai Islam.
Sulaiman Ar-Rasuli menjadi figur sentral dalam transformasi Perti menjadi partai politik. Keterlibatan politiknya juga terlihat saat ia menjadi anggota Konstituante pasca Pemilu 1955. Dan pada sidang perdana tanggal 10 November 1956, ia memimpin sebagai ketua sidang.
Berdebat dengan karya
Dalam perdebatan antara Kaum Tua dan Kaum Muda, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli konsisten membela tradisi keagamaan yang berpijak pada otoritas ulama mazhab. Ia menulis banyak karya untuk menjelaskan dan mempertahankan praktik seperti qunut subuh, zikir tarekat, taklid mazhab, dan lain sebagainya. Melalui tulisan, ia menjawab berbagai pemikiran modernis, termasuk menentang ajaran Ahmadiyah.
Sebagai mursyid Tarekat Naqsyabandiyah yang diijazahi langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad Batuhampar, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli gigih mempertahankan nilai-nilai tasawuf Sunni. Ia menulis argumen-argumen mendalam dengan dalil tentang pentingnya rabithah dan dzikir dalam kehidupan spiritual. Sementara itu, ia tetap mengkritisi ajaran tarekat yang menyimpang dari koridor fikih dan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Tak hanya dalam bidang agama, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli menunjukkan kepedulian luar biasa terhadap pelestarian adat Minangkabau. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli menerbitkan banyak tulisan tentang adat Minangkabau. Ia menghidupkan kembali falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah dalam wacana publik. Melalui ceramah-ceramah dan tulisan, ia menjembatani ketegangan antara penghulu adat dan ulama, serta memengaruhi tokoh adat seperti Idrus Hakimy Dt. Rajo Panghulu yang menjadi muridnya.
Akhir Hayat dan Warisan
Dalam kehidupan pribadi, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli menjalani 17 kali pernikahan sepanjang hayatnya, yang semuanya dilakukan secara bertahap, tidak bersamaan. Dari pernikahan-pernikahan itu, ia dikaruniai 19 anak. Beberapa di antaranya menjadi ulama seperti Baharuddin, Syahruddin, dan Muhammad Noer Arrasuli. Keluarga Syekh Sulaiman Ar-Rasuli memimpin MTI Candung secara turun-temurun hingga tahun 2020. Pada tahun 2020, kepemimpinan MTI Candung beralih ke tokoh di luar keluarga.
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli wafat pada 1 Agustus 1970. Ribuan umat Islam, murid, dan tokoh masyarakat menghadiri pemakamannya di MTI Candung. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat turut menyampaikan belasungkawa resmi dengan mengibarkan bendera setengah tiang.
Warisan pemikirannya terus hidup dalam institusi yang ia bangun. Banyak orang juga terus mengkaji pemikiran dan sistem nilai yang ia ajarkan hingga saat ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
