SURAU.CO – Abu Lahab tercatat dalam sejarah Islam sebagai tokoh yang secara terang-terangan memusuhi Nabi Muhammad ﷺ. Allah mengabadikan namanya dalam Surah Al-Lahab sebagai simbol perlawanan terhadap risalah Islam. Ironisnya, ia adalah paman Nabi sendiri. Namun, di balik kisah kelam sang paman, tersimpan cerita lain yang jauh lebih indah: putrinya, Durrah binti Abu Lahab, justru memeluk Islam, berhijrah ke Madinah, dan menjadi teladan bahwa hidayah Allah mampu menembus benteng kekufuran setebal apapun.
Jejak Durrah dalam Lintasan Sejarah
Durrah binti Abu Lahab lahir dari pasangan Abdul ‘Uzza bin Abdul Muthalib yang lebih dikenal sebagai Abu Lahab dan Ummu Jamil, sosok yang terkenal sebagai penghasut permusuhan terhadap Nabi. Latar belakang keluarganya ibarat pusaran kebencian terhadap Islam. Namun, Durrah menolak larut dalam pusaran itu.
Sejarah menyebut bahwa Durrah memeluk Islam pada periode awal dakwah Nabi di Makkah. Meski catatan sejarah tidak merinci kronologi masuk Islamnya, ia jelas berani menentang keyakinan orang tuanya pada masa itu. Di tengah tekanan sosial Quraisy, ia berdiri teguh di pihak kebenaran.
Keimanan Durrah membuktikan bahwa garis keturunan, kedekatan keluarga, atau tekanan sosial tidak menentukan mutlak datangnya hidayah. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberikan petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Qashash: 56).
Tantangan Iman di Tengah Keluarga Penentang
Beriman di lingkungan yang penuh permusuhan menjadi ujian berat. Durrah mengalaminya langsung dari keluarganya sendiri. Abu Lahab memimpin kampanye anti-Islam di Makkah, sementara Ummu Jamil lantang memfitnah Nabi. Dalam situasi seperti itu, mempertahankan iman berarti siap menghadapi penolakan keluarga, cemoohan masyarakat, bahkan ancaman kekerasan.
Sejarawan meriwayatkan bahwa suatu hari perempuan dari Bani Zuraiq mengejeknya:
“Engkau adalah putri Abu Lahab. Ayahmu dicela dalam Al-Qur’an. Apa manfaat hijrahmu?”
(Riwayat dalam Musnad Ahmad dan sumber sejarah Islam awal)
Kisah Durrah sejalan dengan pengalaman sahabat Nabi lainnya, seperti Mush’ab bin ‘Umair yang ibunya usir setelah ia memeluk Islam, atau Sa’ad bin Abi Waqqash yang ibunya ancam agar ia meninggalkan agamanya. Mereka semua membuktikan bahwa iman sejati lahir dari keberanian memilih kebenaran.
Pembelaan Nabi ﷺ
Mendengar laporan Durrah, Nabi ﷺ naik ke mimbar dan berkhutbah di hadapan para sahabat:
“Mengapa kalian menyakitiku karena keluargaku? Demi Allah, syafaatku akan menjangkau kerabatku, sejauh mereka tidak meninggalkan agama mereka.” (HR. Ahmad; juga tercatat dalam Sirah Ibnu Hisyam)
Ucapan beliau menunjukkan dua hal penting. Pertama, Nabi ﷺ menegaskan bahwa hubungan darah tidak menghalangi kasih sayang beliau kepada kerabat yang beriman. Kedua, iman menjadi syarat utama untuk meraih syafaat, bukan keturunan.
Dukungan moral itu membuat Durrah semakin teguh. Ia menyadari bahwa meskipun keluarganya di Makkah memusuhinya, ia memiliki keluarga besar di Madinah—komunitas Muslim—yang menyambut dan melindunginya.
Durrah sebagai Perawi Hadis
Perjalanan Durrah tidak berhenti pada keimanan dan hijrah. Ia juga meriwayatkan hadis. Salah satu riwayatnya dalam Musnad Ahmad menceritakan:
Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi ﷺ, “Siapakah manusia terbaik?”
Beliau menjawab:
“Orang yang paling berilmu, paling takut kepada Allah, paling banyak mengajak berbuat baik, paling banyak melarang kemungkaran, dan paling menjaga hubungan silaturahmi.”
Hadis ini membuktikan bahwa Durrah tidak hanya menerima hidayah, tetapi juga memikul amanah untuk menyampaikan ilmu kepada umat.
Nilai-Nilai dari Kisah Durrah
- Hidayah Tidak Mengenal Batas Keturunan
Abu Lahab dan Ummu Jamil menjadi musuh besar Islam, tetapi anak mereka justru menjadi Muslimah salehah. Hidayah adalah karunia Allah yang tidak otomatis berpindah melalui keturunan. - Keberanian Menentang Arus
Durrah memilih kebenaran meski harus meninggalkan kenyamanan keluarga. Ia menanggung risiko sosial yang besar demi menjaga imannya. - Peran Dukungan Komunitas
Pembelaan Nabi ﷺ menunjukkan bahwa dukungan moral dari komunitas beriman mampu menguatkan seseorang di tengah tekanan. Lingkungan yang baik memudahkan seseorang untuk istiqamah. - Islam Mengajarkan Keadilan
Nabi ﷺ menegaskan bahwa hubungan darah tidak bisa menjadi alasan untuk membenarkan kebatilan. Beliau tetap mengecam perilaku Abu Lahab, sekaligus menghormati keimanan Durrah.
Kita mungkin tidak mengalami cemoohan karena keturunan seperti yang dialami Durrah, tetapi ujian iman hadir dalam bentuk lain: pengaruh budaya populer yang mengikis nilai agama, lingkungan kerja atau pergaulan yang meremehkan ketaatan, bahkan tekanan dari keluarga yang kurang mendukung komitmen beragama.
Kisah Durrah mengajarkan bahwa menjadi minoritas dalam ketaatan bukan alasan untuk goyah. Keberanian seperti yang ia miliki tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari keyakinan yang tertanam kuat dan hubungan yang kokoh dengan Allah.
Penutup: Iman di Tengah Kekufuran
Durrah binti Abu Lahab membuktikan bahwa iman bukan warisan keluarga atau sekadar hasil pengaruh lingkungan. Ia memilih imannya dengan sadar dan mempertahankannya dengan berani. Di rumah yang dipenuhi kebencian terhadap Nabi, ia justru menaruh cinta dan hormat kepada beliau sebagai utusan Allah.
Kisahnya mengingatkan kita bahwa di setiap zaman selalu ada orang-orang yang berani melawan arus demi kebenaran. Mereka mungkin tidak tercatat panjang dalam buku sejarah, tetapi Allah telah menuliskan nama mereka di catatan-Nya yang mulia.
Jika Durrah bisa beriman di tengah kekufuran dan kebencian keluarganya, apa alasan kita untuk goyah di tengah kemudahan berislam yang kita nikmati sekarang?
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
