SURAU.CO – Salahsatu hari yang istimewa bagi umat Islam adalah hari Jumat. Di hari tersebut umat Islam melaksanakan shalat Jumat secara berjamaah. Shalat Jumat merupakan salah satu kewajiban mingguan yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Ia tidak hanya menjadi ajang ibadah yang menggantikan shalat Zuhur pada hari Jumat, tetapi juga berfungsi sebagai media persatuan umat, sarana dakwah, dan forum komunikasi sosial-politik umat Islam. Sebagiamana ibadah lain dalam Islam, selain memiliki makna utama sebagai bentuk ketaatan kepada Allah juga memiliki makna sosial. Demikian juga dengan makna sosial Shalat Jumat yang wajib secara berjama’ah. Menarik untuk memahami riwayat shalat Jumat dan makna sosial-spritualnya.
Dalam riwayat sejarahnya, umat Islam telah menjalankan shalat Jumat sejak zaman Rasulullah ﷺ, dengan akar yang dapat ditelusuri bahkan sebelum beliau hijrah ke Madinah. Artikel ini akan membahas riwayat shalat Jumat secara lengkap, mulai dari latar belakang kemunculannya, perintah syariat, pelaksanaan pada masa Nabi, hingga perkembangan tradisinya sepanjang sejarah.
Asal-usul Sebelum Nabi Hijrah
Sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab telah mengenal pembagian pekan menjadi tujuh hari. Salah satunya adalah al-‘Arubah yang kemudian kita kenal sebagai hari Jumat. Menurut sebagian riwayat, suku Aus dan Khazraj di Madinah biasa mengadakan pertemuan pada hari tersebut untuk membicarakan urusan penting, makan bersama, dan menjalin silaturahmi.
Ketika Islam datang, kegiatan berkumpul ini mendapatkan dimensi spiritual. Terdapat riwayat bahwa sebelum Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, kaum Muslimin yang berada di sana telah melaksanakan shalat berjamaah khusus pada hari Jumat. Pelopornya adalah As’ad bin Zurarah, seorang sahabat dari suku Khazraj. Ia memimpin shalat dan memberikan nasihat kepada jamaah, berdasarkan arahan dari Nabi yang masih berada di Makkah. Namun, shalat Jumat dalam bentuk resmi dan lengkap seperti yang kita kenal sekarang baru terlaksana setelah Nabi ﷺ hijrah.
Perintah Shalat Jumat dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an surat Al-Jumu‘ah ayat 9-10 menegaskan kewajiban shalat Jumat, yakni:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu‘ah: 9-10)
Dari ayat ini, terdapat beberapa ketentuan penting:
- Shalat Jumat bersifat wajib bagi laki-laki Muslim yang memenuhi syarat (baligh, berakal, merdeka, sehat, dan tidak dalam perjalanan jauh).
- Waktu pelaksanaan bertepatan dengan waktu Shalat Zuhur.
- Mengerjakan Shalat Jumat wajib secara berjamaah bagi laki-laki Muslim yang memenuhi syarat.
- Khutbah Jumat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari shalat ini.
- Menghentikan aktivitas jual beli harus saat azan berkumandang, sebagai bentuk penghormatan kepada panggilan Allah.
Shalat Jumat Pertama di Masa Nabi
Shalat Jumat merupakan satu dari beberapa tuntunan syariat yang khusus untuk umat Nabi Muhammad SAW. Tidak pernah ada dalam sejarah nabi sebelum Rasulullah ﷺ tuntutan melakukan shalat Jumat. Kewajiban Jumat bermula saat Rasulullah ﷺ masih berada di Mekkah, tepatnya pada waktu malam Isra’ Mi’raj. Namun belum pernah melaksanakan shalat Jumat di sana karena belum terpenuhinya standar jumlah orang yang merupakan salah satu syarat wajibnya Jumat.
Riwayat paling masyhur menyebutkan bahwa shalat Jumat pertama yang dipimpin langsung oleh Rasulullah ﷺ terjadi pada saat beliau dalam perjalanan hijrah dari Quba menuju Madinah. Peristiwa ini terjadi setelah beliau tinggal di Quba selama empat hari, lalu melanjutkan perjalanan pada hari Jumat. Ketika melewati perkampungan Bani Salim bin ‘Auf, waktu Zuhur tiba. Nabi ﷺ pun berhenti, mengimami shalat Jumat, dan menyampaikan khutbah. Tempat itu kini bernama Masjid al-Jum‘ah di Madinah.
Dalam khutbahnya, Rasulullah ﷺ mengajak umat untuk bertakwa, mengingat Allah, dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Sejak saat itu, shalat Jumat menjadi ibadah rutin mingguan bagi umat Muslim Madinah.
Tata Cara Shalat Jumat pada Masa Nabi
Shalat Jumat di masa Rasulullah ﷺ memiliki susunan yang secara umum sama dengan pelaksanaan sekarang:
- Adzan, awalnya hanya satu kali, dikumandangkan ketika imam duduk di mimbar.
- Khutbah Pertama, berisi nasihat, peringatan, ajakan bertakwa, dan pengumuman penting.
- Duduk di antara dua khutbah, sebentar saja.
- Khutbah Kedua, berisi doa untuk umat Islam.
- Shalat dua rakaat berjamaah, menggantikan Zuhur.
Isi khutbah Nabi ﷺ biasanya tidak panjang, namun sarat makna. Beliau menggunakan kesempatan itu untuk menyampaikan wahyu terbaru, memberi arahan sosial, bahkan kadang menyampaikan strategi pertahanan.
Perkembangan Shalat Jumat Pasca Wafat Nabi
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, para khalifah melanjutkan tradisi ini. Pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq, khutbah tetap ringkas dan fokus pada penguatan iman. Di masa Umar bin Khattab, khutbah sering kali memuat arahan kebijakan negara dan seruan jihad. Utsman bin Affan memperkenalkan azan pertama (sebelum imam naik mimbar) untuk memberi waktu bagi jamaah mempersiapkan diri. Ali bin Abi Thalib menjaga fungsi shalat Jumat sebagai pengikat persatuan umat meski situasi politik saat itu penuh fitnah.
Seiring meluasnya wilayah Islam, kota-kota besar mulai memiliki lebih dari satu masjid yang mengadakan shalat Jumat, meski pada awalnya hanya di masjid jami‘ utama.
Hikmah dan Fungsi Shalat Jumat
Shalat Jumat tidak sekadar ibadah ritual, melainkan juga memiliki hikmah mendalam sebagai berikut :
- Persatuan Umat. Mengumpulkan kaum Muslimin setiap pekan akan memperkuat ukhuwah. Selain itu sebagai ruang interkasi sosial antara kaum Muslimin dari berbagai latar belakang sosial dan politik yang berbeda.
- Dakwah dan Pendidikan. Khutbah dalam shalat Jumat menjadi media penyampaian ilmu dan nasihat kepada para jamaah. Bagi anak-anak yang baru akil baligh, khutbah Jumat menjadi ajang pendidikan yang sangat tepat.
- Kontrol Sosial. Pemimpin dapat mengingatkan masyarakat tentang kewajiban moral. Dapat pula sebagai medium bagi pemimpin kemasyarakatan untuk menyampaikan himbauan sosial.
- Spiritualitas. Menjadi momentum untuk memperbarui keimanan setiap pekan.
Shalat Jumat di Masa Kini
Hingga saat ini, shalat Jumat tetap menjadi ibadah wajib bagi Muslim laki-laki yang memenuhi syarat. Di berbagai negara Muslim, khutbah Jumat tidak hanya berisi nasihat agama, tetapi juga membahas isu sosial, ekonomi, dan kemanusiaan.
Perbedaan mungkin muncul dalam aspek teknis seperti jumlah azan (satu atau dua kali) tergantung mazhab. Bahasa khutbah yang digunakan (Arab atau bahasa lokal) menyesuaikan kebutuhan jamaah. Serta tentu lokasi pelaksanaan, kini bisa shalat Jumat di banyak masjid, bukan hanya masjid utama. Namun, esensi shalat Jumat sebagai ibadah dan sarana persatuan umat tetap terjaga.
Penutup
Riwayat shalat Jumat menunjukkan bahwa ibadah ini memiliki akar sejarah yang dalam, dimulai dari masa Rasulullah ﷺ dan terus lestari hingga kini. Dari awalnya hanya komunitas kecil Muslim di Madinah yang melaksanakan, kini shalat Jumat menjadi simbol global persatuan umat Islam.
Shalat Jumat bukan hanya kewajiban yang jika meninggalkanya tanpa uzur berdosa besar, tetapi juga momentum memperkuat ukhuwah, menyegarkan iman, dan menyatukan langkah umat menuju kebaikan.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap Muslim secara berjamaah, kecuali bagi empat orang: budak, wanita, anak-anak, dan orang sakit.” (HR. Abu Dawud)
Dengan memahami riwayatnya, kita tidak hanya menjalankan shalat Jumat sebagai rutinitas, tetapi juga meresapi makna dan hikmahnya, sehingga ia menjadi sumber kekuatan spiritual dan sosial bagi kehidupan kita.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
