SURAU.CO – Ini bukan sekadar perjalanan menaklukkan ketinggian; ini adalah sebuah pendakian menuju puncak kesadaran. Enam personel dari Pesantren Tahfidz dan Digital Marketing Nihadlul Qulub berhasil menorehkan jejak di Puncak Surono, titik tertinggi Gunung Slamet yang agung. Mereka menamai ekspedisi ini Tadabbur Jibal Nihadlul Qulub, sebuah kanvas perenungan. Bagi mereka, setiap langkah menjadi dzikir dan setiap embusan napas menjadi tafakur di tengah alam raya yang berfungsi sebagai ruang kelas spiritual raksasa di atap Jawa Tengah.
Bagi para santri ini, gunung bukanlah arena untuk ditaklukkan. Sebaliknya, gunung adalah guru yang mengajarkan tentang batas diri dan kebesaran Ilahi. Perjalanan ini merupakan bagian integral dari kurikulum pesantren yang unik, yang bertujuan melahirkan generasi cerdas secara intelektual, spiritual, mental, fisikal, dan finansial. Oleh karena itu, Gunung Slamet pun menjadi saksi bagaimana mereka menempa pendidikan karakter melalui ujian nyata.
Menempa Fisik dan Mental Menembus Batas
Perjalanan dalam Tadabbur Jibal Nihadlul Qulub ini dimulai pada Kamis pagi, 7 Agustus 2025. Udara sejuk Basecamp Permadi di Guci, Tegal, menyambut langkah pertama mereka. Tim sengaja memilih Jalur Permadi yang terkenal panjang dan menantang. “Kami memilih jalur ini sesuai semangat tadabbur kami. Perlahan tapi penuh makna,” ujar Kyai Ali Sobirin, pimpinan tim sekaligus pengasuh pesantren. Dengan kata lain, mereka tidak mengejar kecepatan, melainkan mencari kedalaman perenungan di setiap jengkalnya.
Perjalanan menuju Pos 4 selama 6,5 jam menjadi babak pertama dari ujian fisik. Jalur landai di awal mereka manfaatkan sebagai pemanasan. Namun, tanjakan dari Pos 1 ke Pos 2 segera menguji kekuatan napas dan otot. Mereka memanfaatkan setiap jeda bukan hanya untuk istirahat, tetapi juga untuk saling menguatkan. Puncaknya, jalur dari Pos 3 ke Pos 4 yang panjang dan melelahkan benar-benar menguras stamina dan menguji ketahanan mental.
Justru, ujian sesungguhnya datang saat kegelapan masih pekat. Jumat dini hari pukul 03.00 WIB, tim melanjutkan pendakian ke puncak berbekal cahaya senter dan tekad baja. Ini adalah titik di mana fisik berteriak menyerah. “Selangkangan sakit, otot paha dan betis pegal, jantung berdegup kencang dan napas tersengal,” kenang Kyai Ali Sobirin. Akan tetapi, di sinilah esensi kebersamaan dan ukhuwah memancarkan cahayanya paling terang. “Untung ada santri yang setiap kali berhenti langsung memijat. Itu yang bikin saya kuat sampai puncak,” tambahnya. Dukungan kecil itu menjadi bahan bakar tak ternilai, membuktikan bahwa dalam kelemahan, kekuatan persaudaraan justru mencapai puncaknya.
Meraih Puncak Kemenangan: Dzikir di Atas Awan dan Makna yang Tertanam
Setelah enam jam berjuang menembus dingin dan tanjakan terjal, akhirnya mereka tiba di Puncak Surono saat fajar mulai merekah. Seketika, pemandangan itu membayar lunas semua lelah mereka. Hamparan awan seperti permadani putih terbentang di bawah kaki. Di ketinggian 3.428 mdpl, mereka melambaikan tangan, menyapa lembah hijau dan kawah belerang yang menjadi saksi bisu perjuangan.
Lebih dari sekadar euforia, di puncak, tim mengalami sebuah momen reflektif. Meskipun sempat terpikir untuk mengibarkan bendera bajak laut, mereka akhirnya mantap memilih bendera Merah Putih. Tim mengambil keputusan ini dengan makna yang dalam. “Kami kesal pada beberapa kebijakan pemerintah, tapi hormat kami pada pahlawan membuat kami tetap mengibarkan bendera negara,” tegas Ali Sobirin.
Namun, makna pendakian ini jauh lebih dalam. Bagi tim Nihadlul Qulub, ekspedisi ini adalah cara “membaca” ayat-ayat kauniyah Allah. “Setiap detak jantung dan rasa sakit adalah pengingat bahwa manusia lemah tanpa Allah,” ungkap Andar, seorang santri dari Nabire. Ekspedisi ini secara langsung menempa kecerdasan fisikal dan mental para santri. “Mendaki gunung adalah strategi kami mengawal tumbuhnya dua kecerdasan itu,” tutup Ali Sobirin.
Perjalanan ini membuktikan bahwa pembelajaran sejati tidak terbatas di ruang kelas. Di sanalah mereka menemukan hikmah di setiap langkah dan napas. Pada akhirnya, para santri ini tidak hanya menaklukkan puncak gunung, tetapi juga menemukan puncak baru dalam diri mereka sendiri. (KAN)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.