Sosok
Beranda » Berita » UIN Syekh M. Djamil Djambek Bukittinggi dan Ulama Pembaharu dari Ranah Minang 

UIN Syekh M. Djamil Djambek Bukittinggi dan Ulama Pembaharu dari Ranah Minang 

UIN Syekh M Djamil Djambek Bukittinggi
UIN Bukittinggi dan Syekh Muhammad Djamil Djambek (Sumber foto: uinbukittinggi.ac.id dan Repro Buku "Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat" (1981) Terbitan Islamic Centre Sumatra Barat)

SURAU.CO. Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi berdiri sebagai lembaga pendidikan tinggi keagamaan Islam yang berlokasi di Sumatera Barat. Universitas ini mengabadikan nama seorang ulama besar Minangkabau, Syekh Muhammad Djamil Djambek, yang dikenal sebagai tokoh pembaruan Islam pada awal abad ke-20. Penamaan ini mencerminkan penghormatan terhadap kontribusi intelektual dan spiritual beliau yang monumental dalam sejarah Islam di Nusantara.

Siapa sebenarnya Syekh M. Djamil Djambek?

Syekh Djamil Djambek: Dari Jalan Gelap ke Cahaya Ilmu

Muhammad Djamil Djambek lahir pada 2 Februari 1862 (13 Sya’ban 1279 H) di Bukittinggi dari pasangan Muhammad Saleh Datuk Maliko, seorang kepala nagari, dan seorang ibu berdarah bangsawan Betawi. Djamil menghabiskan masa kecilnya di lingkungan adat yang kuat. Ia sempat mengenyam pendidikan dasar kolonial (gouvernement school) di Bukittinggi, namun tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan formal karena terjerumus dalam pergaulan negatif.

Djamil kecil terbawa kenakalan pergaulan anak muda masa itu. Selama sekitar satu dekade, Djamil hidup sebagai parewa (preman), terlibat dalam praktik sihir, perjudian, minuman keras, dan pencurian. Buku Ensiklopedi Minangkabau (2005) yang disusun Masoed Abidin dan tim menyebut, selain belajar silat, di masa muda Djamil juga mempelajari ilmu sihir. Dia tak jauh dari candu, judi, sabung ayam dan bahkan mencuri. Sebagaimana biasanya seorang parewa alias preman, ia bandel sekaligus jagoan.

Kehidupan Djamil berubah drastis ketika ia menemukan pencerahan di Surau Angko Kayo, Mandiangin. Guru yang bijak ini berhasil menyentuh nuraninya. Djamil lalu memulai perjalanan tobat dan secara intensif mempelajari agama. Ia cepat menguasai bahasa Arab serta berbagai pelajaran agama Islam.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Pendidikan ke Mekah dan Transformasi Intelektual

Pada 1896, Djamil berangkat ke Mekah bersama ayahnya untuk menunaikan ibadah haji. Meski ayahnya wafat di tengah perjalanan, Djamil melanjutkan perjalanannya ke Tanah Suci seorang diri. Ia menimba ilmu dari para ulama besar, termasuk Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, ulama Minang dan guru para pembaharu Islam Nusantara, seperti KH Agus Salim, Syekh Abdul Karim, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Selain itu, ia juga belajar kepada Ulama Minangkabau lainnya, seperti Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Abdullah Ahmad, Tuangku Khatib Kumango dan ulama internasional seperti Syekh Serawak dan Syekh Bafadhal.

Selama sekitar tujuh tahun di Mekah, Djamil mendalami fiqih, tafsir, hadis, sejarah Islam, dan ilmu falak. Keahliannya dalam ilmu falak menjadikannya dikenal sebagai “Al-Falaky”. Ia juga menguasai beberapa bahasa asing seperti Arab, Hindi, Urdu, dan Jerman. Selama di Mekah, dua ulama Minangkabau lainnya, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Abbas Abdullah Padang Japang sempat belajar ilmu falak pada Djamil.

Dakwah dan Pembaruan Islam di Minangkabau

Sekembalinya ke Bukittinggi pada 1903, Djamil aktif berdakwah dan mengajar di Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang, dua surau yang ia dirikan untuk mengajarjan ilmu agama. Ia mengubah pendekatan pengajaran dari sistem halaqah tradisional menjadi metode tabligh publik yang lebih komunikatif. Dikutip dari Ensiklopedia Islam, Syekh Djamil Djambek dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum.

Ia juga mengganti pembacaan Barzanji berbahasa Arab atau marhaban pada saat perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan ceramah berbahasa Melayu agar pesan agama dapat dipahami masyarakat awam. Menurutnya, agama diperuntukkan untuk semua orang, maka harus diajarkan dengan bahasa yang dipahami khalayak. Djamil membuka kesempatan diskusi melalui tanya jawab setiap dengan jemaahnya setiap selesai bertabligh.

Inovasi ini sempat menuai kontroversi, mengingat latar belakang Djamil yang kelam dan pemikirannya yang progresif. Ia mendapatkan cibiran dan bahkan dimusuhi. Namun, pendekatan komunikatif dan keterbukaan dalam diskusi membuat ceramahnya menarik perhatian masyarakat dan kalangan ulama.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Bung Hatta, adalah salah satu murid mengaji Djamil Djambek di Surau Tengah Sawah. “Pagi-pagi aku bersekolah, malam hari sesudah magrib aku belajar mengaji di surau Inyik Djambek,” tulis Hatta dalam biografinya, “Memoir” (1981).

Panggilan inyiak Djambek kepada Syekh M Djamil karena kebiasaan beliau memelihara jambang. Pada saat itu, hampir tak ada ulama yang memelihara jambang. Jambang yang dalam bahasa Minang disebut jambek, membuat nama belakangnya bertambah menjadi Syekh Muhammad Djamil Djambek. Akrabnya, orang Minang di masa itu, memanggil beliau, Inyiak Djambek.

Peran dalam Dunia Ilmu, Sosial dan Politik

Orang mengenal Djamil sebagai ahli falak. Pada 1911, ia menyusun jadwal waktu salat dan imsakiyah Ramadan untuk beberapa dekade ke depan. Ia memperkenalkan metode hisab dalam penentuan waktu ibadah, uatamanya sholat dan awal Ramadhan, menggantikan metode rukyat konvensional. Masyarakat menantikan beduk di suraunya sebagai penanda waktu berbuka.

Meski awalnya mengikuti tarekat, Djamil kemudian berpindah haluan dan bergabung dengan kaum pembaharu seperti H. Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrullah dan Syekh Daud Rasyidi. Bersama mereka, ia mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) pada 1921. Ia juga menulis buku “Memahami Tasawuf dan Tarekat”, dan beberapa karya penting termasuk buku tentang tasawuf, hisab, dan ilmu falak.

Tak hanya aktif dalam pendidikan dan keagamaan, Djamil juga menjalin komunikasi dengan kaum adat. Ia ikut mendirikan organisasi Persatuan Kebangsaan Minangkabau pada 1929 dan hadir dalam kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) pada 1939.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Kemudian, Djamil membentuk Laskar Fii Sabilillah untuk melindungi rakyat pada masa pendudukan Jepang. Jepang mengangkatnya sebagai penasihat militer di Bukittinggi karena pengaruhnya yang luas. Bersama Syekh Daud Rasyidi, ia juga mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi pada zaman Jepang. Ia juga tercatat aktif di ormas Muhamamdiyah dan Sumatera Thawalib.

Akhir Hayat dan Warisan

Syekh Muhammad Djamil Djambek wafat pada 30 Desember 1947, meninggalkan 17 anak dari lima istri. Keluarga memakamkan Djamil di kompleks suraunya tempat ia berdakwah di Tengah Sawah, Bukittinggi.

Salah seorang putra beliau yang terkenal adalah Dahlan Djambek, seorang tokoh militer dalam perjuangan kemerdekaan Bung Hatta, mantan murid mengajinya, hadir memberikan penghormatan terakhir bersama beberapa menteri pada pemakaman inyiak Djambek. Saat itu Bung Hatta sudah menjadi wakil presiden Republik Indonesia.

Masyarakat terus mengenang warisan intelektual dan pemikirannya yang mendalam. Pengabadian nama beliau pada UIN Bukittinggi menjadi bentuk penghormatan atas dedikasinya dalam membangun masyarakat yang berilmu dan religius. Nama beliau juga menjadi nama jalan, Sekolah Dasar, dan SMP IT di Jalan Djamil Djambek Bukittinggi sebagai penghormatan kepada jasa-jasa beliau.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement