SURAU.CO – Di tengah arus dakwah yang kadang terkesan berat, kaku, dan penuh tekanan, hadir sosok KH. Bahauddin Nursalim yang akrab disapa Gus Baha membawa suasana berbeda. Ia mengajarkan agama dengan wajah teduh, tawa yang tulus, dan logika yang membumi. Ceramahnya sering kali diselipi humor, kisah sederhana, dan pemikiran mendalam yang membuat para pendengarnya pulang dengan hati ringan. Melalui gaya ini, Gus Baha menunjukkan bahwa beragama tidak harus menakutkan, tetapi bisa dijalani dengan riang gembira.
Siapa Gus Baha?
Gus Baha lahir di Rembang, Jawa Tengah, dan dikenal sebagai salah satu ulama muda Nahdlatul Ulama yang sangat menguasai tafsir Al-Qur’an. Sejak kecil, ia belajar langsung dari ayahnya yang juga seorang kiai, kemudian menempuh pendidikan di pesantren-pesantren ternama, termasuk di Lirboyo, Kediri. Karier intelektualnya semakin menonjol ketika menjadi salah satu murid kesayangan KH. Maimoen Zubair. Kedalaman ilmunya membuat banyak kalangan mulai dari santri, akademisi, hingga masyarakat umum, terkesan dengan cara pandangnya yang luas namun tetap membumi.
Namun, yang menjadikan Gus Baha unik bukan hanya keluasan ilmunya, tetapi juga caranya mengemas ajaran agama menjadi sesuatu yang dekat dan familier. Ia menghindari nada menggurui, dan lebih memilih berdialog dengan hati.
Mengubah Wajah Agama yang Terlalu Serius
Tidak sedikit orang yang merasa bahwa agama itu identik dengan beban: daftar panjang kewajiban, larangan, dan ancaman. Akibatnya, sebagian umat merasa canggung bahkan takut mendekat. Gus Baha mematahkan stigma itu. Ia mengajak jamaahnya untuk memahami agama sebagai sumber kebahagiaan, bukan tekanan.
Misalnya, dalam banyak ceramahnya, Gus Baha sering mengingatkan bahwa Allah Maha Pengampun. Ia mencontohkan bahwa rahmat Allah jauh lebih luas daripada dosa manusia. Pesan seperti ini membuat orang merasa diperhatikan, bukan dihakimi. “Kalau Allah sudah berjanji mengampuni, kenapa kamu malah sibuk menyalahkan?” begitu kira-kira logika santai yang ia sampaikan.
Pendekatan ini bukan berarti menyepelekan syariat, melainkan memosisikan agama sebagai jalan yang menenangkan jiwa. Dengan demikian, orang terdorong menjalani ibadah dengan sukarela dan penuh cinta, bukan karena rasa takut semata.
Humor sebagai Media Dakwah
Salah satu ciri khas Gus Baha adalah kemampuannya membuat jamaah tertawa di tengah pembahasan serius. Humor yang ia lontarkan bukan sekadar lelucon kosong, tetapi mengandung makna. Misalnya, ketika membicarakan kesabaran, ia berkata, “Kalau sabar itu mudah, malaikat banyak yang jadi manusia.” Kalimat ringan seperti ini membuat orang merenung sambil tersenyum.
Humor dalam dakwah memiliki kekuatan ganda. Pertama, ia mencairkan suasana sehingga jamaah tidak merasa tertekan. Kedua, ia membantu pesan utama lebih mudah diingat. Dengan cara ini, Gus Baha membuktikan bahwa tawa dan pelajaran agama bisa berjalan beriringan.
Gus Baha tidak hanya menyampaikan ajaran agama secara tekstual, tetapi juga mempertimbangkan realitas kehidupan umat. Ia memahami bahwa setiap orang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Oleh karena itu, ia tidak memaksakan standar yang sama untuk semua orang.
Misalnya, ia pernah menjelaskan bahwa tidak semua orang bisa langsung berubah menjadi sempurna dalam beribadah. Ada prosesnya dan Allah melihat usaha itu. Prinsip ini membuat orang merasa bersyukur dalam perjuangannya menuju kebaikan. Mereka tidak takut untuk memulai, meski dari langkah terkecil.
Riang Gembira dalam Ibadah
Beragama dengan riang gembira bukan berarti mengabaikan keseriusan ibadah, tetapi menjalaninya dengan hati yang lapang. Gus Baha mencontohkan bahwa membaca Al-Qur’an, shalat, atau sedekah akan lebih bermakna jika dilakukan dengan rasa syukur, bukan terpaksa. Dalam salah satu ceramahnya, ia menyarankan agar orang mengingat nikmat Allah sebelum memulai ibadah, sehingga ibadah itu menjadi ungkapan cinta, bukan kewajiban yang santai.
Ia juga menegaskan bahwa senyum, menolong tetangga, atau menyapa orang lain dengan ramah adalah bagian dari ibadah. Dengan sudut pandang ini, beragama menjadi lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, bukan hanya ritual di masjid.
Meski beragama dengan suasana riang gembira, Gus Baha tetap menjaga agar umat tidak terjebak dalam kelonggaran berlebihan. Ia mengingatkan bahwa kelapangan hati harus diiringi dengan kesadaran akan batas-batas yang telah Allah tetapkan. Riang gembira dalam beragama berarti mampu menikmati ketaatan tanpa mengabaikan aturan.
Ia juga sering mencontohkan kisah para ulama terdahulu yang hidup sederhana namun penuh tawa. Mereka tetap menjalankan ibadah dengan disiplin, namun tidak kehilangan sisi kemanusiaannya.
Gus Baha mengajarkan bahwa beragama seharusnya membuat kita bahagia, bukan terbebani. Ibadah adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang lapang. Tawa, kehangatan, dan kelapangan hati bukanlah lawan dari keseriusan, tetapi pelengkap yang membuat agama menjadi lebih hidup.
Sumber Referensi
- Bahauddin Nursalim (Gus Baha’). Ngaji Santai: Agama Itu Membahagiakan . Rekaman ceramah, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA, Rembang, 2020.
- Harian NU Online. “Gus Baha: Beragama Itu Harus Bikin Bahagia, Bukan Tertekan.” NU Online, 15 Maret 2021. https://www.nu.or.id
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
