SURAU.CO. Autisme merupakan kondisi spektrum yang memengaruhi cara seseorang berkomunikasi, memahami emosi, dan memproses informasi. Meskipun demikian, banyak penyandang autisme yang mampu membangun hubungan sehat serta menjalani kehidupan berumah tangga. Dalam perspektif hukum, pernikahan penyandang autisme menjadi isu penting karena berkaitan dengan hak asasi manusia, perlindungan hukum, dan ketentuan agama. Oleh karena itu, pembahasan ini menjelaskan bagaimana hukum Indonesia dan hukum Islam mengatur pernikahan penyandang autisme.
Hak Menikah dalam Hukum Indonesia
Pernikahan di Indonesia tunduk pada beberapa peraturan, dan hak menikah bagi penyandang autisme tercantum dalam dua undang-undang utama. Berikut poin-poin pentingnya:
-
Persetujuan Kedua Calon Mempelai
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedua calon mempelai harus memberikan persetujuan secara sukarela. Calon mempelai memberikan persetujuan yang sah jika mereka memahami siapa pasangannya, tujuan menikah, dan konsekuensi dasar pernikahan. -
Batas Usia Minimal
Sejak berlakunya UU Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh warga negara, termasuk penyandang autisme. -
Tidak Ada Halangan Perkawinan
Pasal 8 UU Perkawinan melarang pernikahan antara pihak yang memiliki hubungan darah tertentu, hubungan semenda, atau hubungan susuan. Selain itu, larangan juga berlaku jika salah satu pihak masih terikat pernikahan sah. -
Hak Membentuk Keluarga bagi Penyandang Disabilitas
Pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 2016 menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah. Hak ini mendapat perlindungan dari segala bentuk diskriminasi. -
Akomodasi yang Layak
Pasal 9 UU 8/2016 mengatur hak penyandang disabilitas untuk memperoleh akomodasi yang layak dalam layanan publik. Dalam pernikahan, hal ini mencakup penyesuaian komunikasi, penjelasan sederhana, dan lingkungan akad yang nyaman. -
Pengampuan Tidak Otomatis
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XX/2022 menyatakan bahwa pengampuan adalah opsional dan hanya berlaku jika diperlukan. Orang menilai kapasitas hukum penyandang autisme berdasarkan kondisi nyata, bukan sekadar diagnosis.
Pandangan Hukum Islam
Hukum Islam memandang pernikahan sebagai ibadah sekaligus perjanjian yang memiliki rukun dan syarat. Rukun nikah mencakup calon suami, calon istri, wali nikah, dua saksi, serta ijab kabul. Syarat pentingnya adalah kedua mempelai memiliki akal sehat dan memahami maksud akad nikah.
Autisme tidak selalu menghalangi seseorang untuk berakal. Dengan penjelasan yang tepat, banyak penyandang autisme memahami makna pernikahan. Apabila mereka mampu memberikan persetujuan jelas, akad nikah sah secara syariat. Namun, jika pemahaman tetap tidak tercapai meskipun sudah dijelaskan, akad tidak dapat dilakukan. Apabila wali menolak tanpa alasan syar’i, wali hakim dapat menggantikannya.
Contoh Kasus Hipotetis
Berikut ilustrasi kasus yang mencerminkan prinsip-prinsip hukum tersebut:
- Rina dan Fadli – Autisme Ringan, Menikah Lancar
- Rina (23) punya autisme ringan. Saat di KUA, petugas menjelaskan akad dengan bahasa sederhana. Rina mengerti dan setuju menikah.
- Dasar hukum: UU No. 8 Tahun 2016, UU No. 1 Tahun 1974.
- Dimas dan Sari – Autisme, Butuh Dukungan Keuangan
- Dimas (25) memahami arti menikah, tetapi ia sulit mengatur uang. Keluarga mengajukan pengampuan terbatas hanya untuk urusan keuangan. Nikah tetap sah.
- Dasar hukum: Putusan MK No. 93/PUU-XX/2022.
- Bunga – Wali Menolak, Gunakan Wali Hakim
- Bunga (24) ingin menikah, tapi ayahnya menolak karena stigma autisme. Calon suami mengajukan permohonan wali hakim ke Pengadilan Agama. Hakim mengabulkan dan akad nikah terlaksana.
- Dasar hukum: UU No. 8 Tahun 2016, Kompilasi Hukum Islam.
Prinsip Pelaksanaan Pernikahan Penyandang Autisme
Agar proses pernikahan berjalan lancar, prinsip-prinsip berikut perlu diterapkan:
- Persetujuan yang Dipahami: Pastikan calon mempelai mampu menjawab pertanyaan dasar tentang pasangan dan tujuan menikah.
-
Akomodasi yang Tepat: Sediakan penyesuaian komunikasi, jadwal, dan lingkungan yang ramah sensori.
-
Pendampingan Profesional: Libatkan psikolog atau psikiater untuk menilai kapasitas persetujuan.
-
Pengampuan Terbatas: Gunakan hanya untuk urusan tertentu, misalnya pengelolaan harta, tanpa mencabut hak menikah.
-
Perlindungan dari Diskriminasi: Hindari penolakan yang tidak memiliki alasan syar’i.
Penyandang autisme memiliki hak yang sama untuk menikah, baik menurut hukum Indonesia maupun hukum Islam, selama rukun dan syarat nikah terpenuhi. Hukum nasional menjamin hak ini melalui UU Perkawinan, UU Penyandang Disabilitas, dan putusan Mahkamah Konstitusi. Hukum Islam menekankan ridha dan kapasitas memahami akad, serta menyediakan mekanisme wali hakim untuk mengatasi penolakan yang tidak berdasar. Dengan dukungan keluarga, layanan publik yang inklusif, dan perlindungan hukum, pernikahan penyandang autisme dapat terwujud secara sah, bermartabat, dan setara.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
