Hakikat Kenikmatan Dunia: Indah Sebelum Dimiliki, Biasa Setelah Digenggam.
Manusia adalah makhluk yang mudah tergoda oleh daya tarik dunia. Sesuatu yang belum dimiliki seringkali terlihat begitu indah, begitu memikat, seolah-olah ia adalah kunci kebahagiaan yang selama ini kita cari. Namun, ketika sudah berada dalam genggaman, pesonanya perlahan memudar. Rasa takjub berganti menjadi biasa, bahkan kadang menimbulkan rasa bosan. Itulah fitrah dunia: ia bersifat fana, cepat pudar, dan tidak pernah memberikan kepuasan yang hakiki.
Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah mengingatkan kita dalam firman-Nya:
> “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini adalah tamparan lembut bagi hati kita. Dunia memang punya pesona, tetapi pesona itu seringkali hanya ilusi. Ia memikat dari jauh, namun biasa saja ketika dekat. Seseorang bisa bekerja keras bertahun-tahun untuk mendapatkan sesuatu—harta, jabatan, popularitas—namun setelah tercapai, hati merasa: “Hanya ini?”
Mengapa Dunia Cepat Pudar Pesonanya?
1. Sifatnya sementara
Kenikmatan dunia tidak abadi. Apa yang kita miliki akan usang, rusak, atau berpindah tangan. Bahkan kenangan manisnya pun memudar seiring waktu.
2. Hati manusia tidak pernah puas
Nabi ﷺ bersabda:
“Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia ingin memiliki dua lembah. Dan tidak akan memenuhi mulutnya kecuali tanah (kematian).” (HR. Bukhari & Muslim)
3. Dunia diciptakan sebagai ujian, bukan tujuan
Allah menjadikan dunia sebagai tempat kita diuji: apakah kita akan terlena oleh gemerlapnya, atau justru menjadikannya sarana untuk meraih ridha-Nya.
Pelajaran yang Bisa Kita Ambil
Jangan tertipu oleh kilau semu
Apa yang terlihat memesona belum tentu membawa kebahagiaan. Terkadang, yang sederhana justru memberi ketenangan hati.
Latih hati untuk qana’ah (merasa cukup)
Orang yang merasa cukup akan menikmati hidup, meskipun secara materi tidak berlimpah.
Fokus pada bekal akhirat
Dunia hanyalah kendaraan, bukan tujuan akhir. Jangan sampai kita sibuk menghias kendaraan tetapi lupa arah perjalanan.
Penutup: Indah sebelum dimiliki, biasa saja setelah didapat—itulah hakikat kenikmatan dunia. Jangan biarkan kita menjadi hamba dunia, karena dunia tidak akan pernah memberi kebahagiaan sejati. Hanya dengan mengingat Allah, hati akan menemukan ketenangan yang abadi.
Allah telah memperingatkan kita, dan Rasulullah ﷺ telah mencontohkan bagaimana hidup sederhana namun penuh keberkahan. Maka, mari kita letakkan dunia di tangan, bukan di hati. Karena hati yang terpaut pada Allah akan selalu merasa kaya, meski tanpa harta yang melimpah.
Kisah yang mengesankan jiwa.
Kisah ini benar-benar menyentuh hati karena menampar dua sisi dalam diri kita: kecenderungan untuk menilai orang dari penampilan dan dorongan untuk ingin diketahui kebaikan kita.
Zaenal awalnya melihat Ahmad hanya dari pakaian, jam tangan, dan pekerjaan yang sedang ia lakukan—memegang kain pel di koridor masjid. Di kepalanya, Ahmad hanyalah “merbot masjid” yang pantas dikasihani dan diberi tawaran pekerjaan “lebih layak.” Padahal, kenyataannya justru sebaliknya: Ahmad adalah seorang dermawan besar, pewakaf tanah, pembangun masjid, pemilik hotel, sekaligus seorang haji yang tetap tawadhu, bahkan sengaja mengambil peran yang dianggap rendah oleh orang kebanyakan.
Poin paling kuat di sini adalah keikhlasan Ahmad. Ia tidak tergesa-gesa membela diri atau menjelaskan siapa dirinya. Ia membiarkan sangkaan itu tetap ada, karena ia tidak butuh pengakuan manusia—cukup Allah yang tahu. Dan akhirnya, Allah sendiri yang “membuka” siapa Ahmad sebenarnya, melalui orang lain.
Inilah makna ucapan Ya’qub rahimahullah:
> “Al-mukhlishu, man yaktumu hasanaatihi kamaa yaktumu sayyi-aatihi”
Orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya, sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.
Pelajaran dari kisah ini:
1. Jangan menilai dari penampilan luar. Kita tidak pernah tahu isi hati dan catatan amal seseorang.
2. Ikhlas berarti rela tidak dikenal. Bahkan rela disalahpahami, asalkan Allah tahu.
3. Hati-hati dengan kesombongan terselubung. Kadang, ketika kita menjelaskan siapa diri kita, niatnya bukan sekadar klarifikasi, tapi ingin diakui.
4. Allah-lah yang memuliakan hamba-Nya. Jika amal kita tulus, Allah yang akan menampakkannya dengan cara yang terbaik. (Tengku Iskandar, M.Pd)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
