SURAU.CO. Jika Anda bepergian ke Sumatera Barat, belum lengkap jika belum sholat di Masjid Raya Sumatera Barat. Masjid terbesar dan terindah yang menjadi kebanggaan dan landmark Sumatera Barat. Masjid ini menjadi ikon arsitektur modern Sumatera Barat, dan juga pernah dinobatkan sebagai salah satu dari tujuh masjid dengan desain terbaik di dunia. Arsitektur uniknya menggambarkan falsafah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”, dengan atap berbentuk gonjong rumah adat budaya Minangkabau, dan masjid ini juga dipenuhi ukiran khas Minangkabau. Arsiteknya, Rizal Muslimin berhasil merancang bangunan seluas 18.000 meter persegi tanpa kubah, dan terpilih melalui sayembara terbuka. Karya ini mendapat penghargaan dari Abdullatif Al-Fozan Award for Mosque Architecture pada tahun 2021 dalam kompetisi internasional di Madinah.
Pada 1 Muharram 1446 Hijriah atau 7 Juli 2024, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat resmi menamai Masjid Raya kebanggaan Sumatera Barat ini dengan nama Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Sumatera Barat. Gubernur Mahyeldi Ansharullah memimpin langsung prosesi penamaan ini. Dua mantan gubernur, Gamawan Fauzi dan Irwan Prayitno, mendampinginya. Acara ini menjadi sangat bersejarah dengan hadirnya keturunan langsung Syekh Ahmad Khatib dari Arab Saudi.
Apa alasan di balik penamaan Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Sumatera Barat? Siapa Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi?
Syekh Ahmad Khatib: Ulama Visioner dari Minangkabau
Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (1860–1916) adalah sosok ulama besar asal Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Beliau menjadi orang Minang pertama dan satu-satunya yang pernah menjabat Imam Besar dan Khatib di Masjidil Haram, Makkah. Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi merupakan imam pertama dari orang non -Arab di Majidil Haram Makkah, sebuah kemuliaan yang tidak mudah diperoleh. Kecemerlangan keilmuannya menjadikannya guru dari para ulama besar Nusantara. Dalam biografi karya Khairul Jasmi, beliau dijuluki sebagai “Guru Para Ulama Indonesia.”
Dalam buku Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982), Prof. Dr. Hamka menjelaskan bahwa Syekh Ahmad Khatib mewarisi darah pejuang agama dari kedua orang tuanya. Hamka mencatat bahwa Syekh Ahmad Khatib lahir di Koto Gadang, Luhak Agam, pada 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M). Ayahnya, seorang Khatib Nagari, berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Sementara dari garis ibu, Syekh Ahmad Khatib berasal dari Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Canduang, Agam, Sumatera Barat. Saat berusia 11 tahun, ayahnya membawanya ke Makkah untuk menuntut ilmu. Ia hanya sekali kembali ke Indonesia, itu pun hanya untuk beberapa bulan.
Syekh Ahmad Khatib wafat di Makkah pada 13 Maret 1916 (Jumadil Awal 1334 H). Meski telah lebih dari satu abad berlalu, nama dan ilmunya terus hidup dalam karya, murid, dan pemikirannya yang mengakar kuat dalam sejarah umat Islam Indonesia.
Kontribusi Intelektual dan Perjuangan
Syekh Ahmad Khatib dikenal luas sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam dan pejuang anti-penjajahan. Ia mengajarkan pentingnya jihad melawan penjajah sebagai bagian dari kewajiban agama, sebagaimana disampaikan oleh Haji Agus Salim dalam sebuah seminar di Cornell University pada tahun 1953.
Walaupun tinggal di Makkah dan tidak kembali ke tanah air, Syekh Ahmad Khatib tetap menjalin hubungan erat dengan Minangkabau melalui para jemaah haji dan murid-murid yang datang belajar. Semangat dan pemikirannya turut menyemai lahirnya tokoh-tokoh pembaharu dan pejuang kemerdekaan di tanah air.
Syekh Ahmad Khatib secara aktif menanamkan semangat dan kesadaran anti-penjajahan kepada murid-muridnya di Makkah, yang mayoritas berasal dari Indonesia. Berkat ajaran tersebut, banyak di antara mereka tampil sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam sekaligus menjadi tokoh penting dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di tanah air.
Disamping itu, Syekh Ahmad Khatib menanamkan pentingnya kemerdekaan berpikir dalam bingkai akidah Islam yang murni. Ia menolak taklid buta dan mendorong murid-muridnya untuk berijtihad sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak heran jika murid-muridnya kemudian bergerak dalam berbagai corak: dari kalangan “Kaum Muda” yang modernis hingga “Kaum Tua” yang tradisionalis. Meski berbeda pendekatan, ulama Indonesia zaman dahulu tetap saling bersahabat dan berdiskusi secara ilmiah, karena mereka belajar dari banyak guru.
Ketika terjadi polemik pemikiran antarulama di tanah air, Syekh Ahmad Khatib tak tinggal diam. Ia menulis surat terbuka untuk menjawab dan memberikan fatwa atas persoalan tersebut, menunjukkan komitmennya pada dialog dan penyelesaian ilmiah.
Guru dari Pendiri Muhammadiyah dan NU
Murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang berguru kepada beliau di Makkah, kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studi mereka di Makkah. Mereka pun tampil sebagai ulama dan mufti yang berpengaruh di daerah masing-masing. Dua pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, K.H. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (Nahdlatul Ulama), tercatat pernah menimba ilmu langsung kepada Syekh Ahmad Khatib di Makkah. Selain mereka, murid-murid beliau juga berasal dari berbagai penjuru Nusantara, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Semenanjung Melayu.
Beberapa murid terkemuka asal Minangkabau yang pernah belajar langsung kepada beliau antara lain: Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Prof. Dr. Hamka), Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Daud Rasjidi (ayah Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo), Syekh Dr. H. Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Sulaiman Ar Rasuli, Syekh Muhammad Djamil Djaho, Syekh Abdul Latif, Syekh Mustafa Padang Japang, Syekh Khatib Ali, dan Syekh Abbas Qadhi (ayah K.H. Siradjuddin Abbas), dan banyak lagi yang lain.
Syekh Ahmad Khatib menjadi tujuan utama bagi para pemuda Minangkabau yang merantau ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Di bawah asuhannya, mereka tumbuh menjadi ulama yang gigih membela agama sekaligus memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Para muridnya berperan besar dalam menggerakkan pembaruan Islam, baik di Minangkabau maupun di wilayah Nusantara lainnya. Dengan bimbingan langsung, pengajaran mendalam, serta karya-karya tulisnya, Syekh Ahmad Khatib turut mendorong lahirnya gerakan tajdid, yaitu gerakan pembaruan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
Ulama Serba Bisa
Keilmuan Syekh Ahmad Khatib meliputi bidang Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Falak, Hisab, dan Aljabar, bahkan beliau mempelajari geografi dan astronomi secara otodidak. Beliau bermazhab Syafi’i, yang juga menjadi mazhab mayoritas umat Islam di Indonesia.
Tulisan-tulisan dan fatwa-fatwanya menjadi rujukan penting di berbagai kerajaan dan komunitas Islam di Nusantara dan Semenanjung Melayu. Pandangan kritis beliau mengenai hukum pembagian harta warisan menurur adat Minangkabau menjadi bahan klasik yang tidak pernah usang dibaca dan ditelaah sampai sekarang.
Gagasan Syekh Ahmad Khatib tentang kemajuan beragama, pembaruan pemikiran Islam, dan perlawanan terhadap penjajahan berhasil menanamkan pengaruh kuat dalam hati, pikiran, dan tindakan para muridnya. Melalui ajarannya, para murid tampil sebagai pejuang yang membela agama dan bangsa. Syekh Ahmad Khatib juga secara tegas menjalankan syariat Islam dan menolak segala bentuk hukum atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama.
Warisan Tak Ternilai
Lebih dari sekadar guru, Syekh Ahmad Khatib juga meninggalkan warisan dalam bentuk kitab-kitab keislaman dalam bahasa Arab dan Melayu. Buku-buku tersebut beredar luas hingga ke Hindia Belanda dan masih dibaca hingga kini. Pemerintah Turki Utsmani pernah menganugerahinya gelar kehormatan Bey Tunis, sebagai bentuk pengakuan atas jasa-jasanya di bidang ilmu pengetahuan.
Sekitar empat bulan sebelum wafat, beliau menulis autobiografinya dalam bahasa Arab, berjudul “Al-Qaulu at-Tahief fii Tarjamati Tarikh Hayaati” yang kini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: “Otobiografi Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi – Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam” (2016). Dalam pengantarnya, beliau menyatakan menulis otobiografi ini atas permintaan murid-muridnya, agar generasi berikut mengenal perjuangannya.
Putra beliau, Syekh Abdul Hamid Al Khatib, yang pernah menjadi Duta Besar Arab Saudi untuk Pakistan dan Bangladesh, juga menulis biografi ayahnya yang diterbitkan di Damaskus pada tahun 1958.
Dalam satu bagian otobiografinya, Syekh Ahmad Khatib menulis penuh kerendahan hati:
“Sesungguhnya kehidupan manusia adalah sejarah hidupnya. Setelah meninggal, ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Maka beruntunglah mereka yang menghiasi hidupnya dengan hiasan yang baik dan mengisi umurnya dengan amal shaleh.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
