Sejarah
Beranda » Berita » Peristiwa Isra dan Mi’raj: Perjalanan Agung dengan Jasad dan Ruh

Peristiwa Isra dan Mi’raj: Perjalanan Agung dengan Jasad dan Ruh

Sumber gambar dibuat oleh AI (Sejarah Isra dan Mi'raj)

SURAU.CO – Peristiwa Isra dan Mi’raj merupakan salah satu mukjizat terbesar yang Allah anugerahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa agung ini datang sebagai penghiburan setelah Rasulullah ﷺ melewati masa-masa penuh duka dalam perjuangan dakwahnya. Kejadian luar biasa ini terdiri dari dua fase perjalanan yang berbeda namun saling terhubung, masing-masing sarat dengan makna mendalam. Oleh karena itu, memahami detail peristiwa ini dapat memperkuat keimanan kita kepada kekuasaan Allah dan kebenaran risalah kenabian.

Isra: Perjalanan Malam Horizontal yang Penuh Makna

Secara bahasa, kata “Isra” berarti perjalanan yang dilakukan pada malam hari. Dalam konteks sejarah Islam, Isra merujuk pada perjalanan suci Nabi Muhammad ﷺ dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsa di Palestina. Allah SWT secara langsung mengabadikan permulaan perjalanan menakjubkan ini dalam Al-Qur’an:

“Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. al-Israa`/17:1) [1]

Untuk menempuh jarak yang sangat jauh itu dalam waktu singkat, Nabi Muhammad ﷺ mengendarai Buraq. Buraq adalah seekor hewan tunggangan istimewa berwarna putih yang memiliki kecepatan luar biasa. Setiap langkahnya mampu menjangkau sejauh mata memandang. Dengan demikian, perjalanan ini secara gamblang menunjukkan kekuasaan mutlak Allah yang melampaui batas ruang dan waktu yang dikenal manusia.

Mi’raj: Mendaki Langit Menuju Sidratul Muntaha

Setelah tiba di Masjidil Aqsa, perjalanan agung itu berlanjut ke tahap berikutnya yang dikenal sebagai Mi’raj. Secara harfiah, “Mi’raj” berarti tangga atau alat untuk naik. Istilah ini menggambarkan naiknya Rasulullah ﷺ dari Masjidil Aqsa menembus lapisan-lapisan langit.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Beliau kemudian melintasi tujuh lapis langit hingga tiba di Sidratul Muntaha. Lokasi ini merupakan sebuah tempat yang sangat mulia, yang belum pernah dijangkau oleh satu pun makhluk sebelumnya. [1] Di sinilah, di puncak perjalanan vertikal ini, Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah agung secara langsung dari Allah Azza wa Jalla. Peristiwa ini sekaligus menegaskan kedudukan beliau yang teramat istimewa di sisi Allah SWT.

Sebuah Perjalanan Nyata dengan Jasad dan Ruh

Salah satu aspek yang sering menjadi pembahasan adalah hakikat dari perjalanan ini. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa peristiwa Isra Mi’raj terjadi secara nyata. Artinya, Nabi Muhammad ﷺ menjalaninya dengan jasad dan ruh beliau dalam keadaan terjaga, bukan sekadar pengalaman ruhani atau mimpi.

Imam ath-Thahawi, dalam kitab akidahnya, secara tegas mendukung pandangan ini. Beliau menyatakan bahwa Isra Mi’raj terjadi secara fisik dan dalam keadaan sadar. [1] Pandangan ini bersandar pada dalil-dalil yang sangat kuat. Seandainya peristiwa ini hanyalah sebuah mimpi, tentu tidak akan dianggap sebagai mukjizat yang luar biasa. Selain itu, hal tersebut tidak akan memicu kehebohan dan penolakan keras dari kaum kafir Quraisy pada masa itu. Mereka menentangnya justru karena kejadian tersebut terjadi di alam nyata dan terasa mustahil bagi akal mereka.

Meskipun terdapat pandangan lain yang menyebutnya sebagai mimpi, argumen tersebut dianggap lemah. Penggunaan frasa “memperjalankan hamba-Nya (bi ‘abdihi)” dalam surat Al-Isra’ secara eksplisit menunjukkan kesatuan antara jasad dan ruh. Dalam bahasa Arab, kata ‘hamba’ selalu merujuk pada manusia seutuhnya, bukan hanya ruhnya saja.

Hadiah Teragung: Lahirnya Perintah Shalat Lima Waktu

Puncak dari peristiwa Mi’raj adalah momen ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah shalat secara langsung dari Allah. Pada awalnya, Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat sebanyak 50 waktu dalam sehari semalam. Rasulullah ﷺ menerima perintah ini dengan penuh kepatuhan. Namun, ketika turun, beliau bertemu dengan Nabi Musa ‘alaihis salam. [1]

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Nabi Musa kemudian menyarankan agar beliau memohon keringanan kepada Allah. Menurut Nabi Musa, umat Nabi Muhammad ﷺ tidak akan sanggup menanggung beban tersebut. Atas saran itu, Rasulullah ﷺ beberapa kali kembali menghadap Allah untuk meminta keringanan. Akhirnya, Allah SWT dengan rahmat-Nya mengurangi kewajiban shalat menjadi lima waktu saja. Meskipun demikian, Allah berjanji bahwa pahala dari lima waktu shalat itu setara dengan 50 waktu. [1] Kisah ini menunjukkan betapa besar cinta dan kasih sayang Allah kepada umat ini.

Waktu Terjadinya Peristiwa Agung

Para ulama memiliki beberapa pandangan berbeda mengenai kapan tepatnya Isra Mi’raj terjadi. Tidak ada satu pun riwayat sahih yang menyebutkan tanggal pastinya. Beberapa pendapat menyebutkan peristiwa ini terjadi pada bulan Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Rajab, Ramadhan, atau Syawwal. [1] Keragaman ini mengisyaratkan bahwa hikmah dan substansi peristiwa lebih penting daripada perayaan tanggalnya.

Akan tetapi, pendapat yang dianggap paling kuat menempatkan peristiwa ini sekitar satu tahun sebelum Nabi ﷺ hijrah ke Madinah. [1] Momen tersebut sangat krusial, karena terjadi setelah “Tahun Kesedihan” (‘Amul Huzni), di mana Nabi ﷺ kehilangan istri tercinta beliau, Khadijah, dan paman pelindung beliau, Abu Thalib. Dengan demikian, Isra Mi’raj hadir sebagai anugerah, pelipur lara, sekaligus peneguh hati bagi Rasulullah ﷺ untuk meneruskan risalah dakwahnya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement