Banyak orang memahami bahwa nafkah adalah kewajiban mutlak suami. Pandangan ini tentu tidak salah. Islam memang meletakkan tanggung jawab finansial utama pada pundak laki-laki. Namun, anggapan bahwa wanita sama sekali tidak memiliki peran atau tanggung jawab terkait nafkah perlu ditelaah lebih dalam. Islam memandang isu ini secara lebih luwes dan komprehensif.
Kewajiban utama untuk menafkahi keluarga memang milik suami. Hal ini menjadi landasan kuat dalam membangun rumah tangga.
Kewajiban Utama Nafkah Ada pada Suami
Al-Qur’an secara tegas menjelaskan posisi suami sebagai pemimpin. Suami bertanggung jawab penuh atas nafkah istri dan anak-anaknya. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 34, yang menegaskan peran ini.
Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm menjelaskan dasar kewajiban ini. Beliau berkata:
“Dan (karena) kewajiban atas suami untuk memberikan mahar kepada istrinya, memberikan nafkah kepadanya ketika keduanya telah serumah atau ketika istri telah diserahkan kepadanya meski ia belum berhubungan badan dengannya.”
Kutipan ini memperjelas bahwa nafkah adalah hak istri yang wajib dipenuhi suami. Ini adalah pondasi dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Kewajiban ini muncul karena laki-laki memiliki kelebihan fisik dan peran sebagai pelindung.
Peran Wanita sebagai Manajer dan Penjaga Harta
Meskipun suami menjadi pencari nafkah utama, istri memiliki peran krusial. Istri bertugas sebagai manajer atau pengelola di dalam rumah. Ia bertanggung jawab atas harta suami dan keberlangsungan rumah tangga. Posisi ini bukan sekadar peran pasif.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Al-Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa istri memegang amanah penting. Ia harus bijak mengelola keuangan dari suaminya. Dengan tanggung jawab ini, ia menggunakan nafkah secara efektif dan efisien untuk seluruh kebutuhan keluarga.
Ketika Suami Lalai atau Tidak Mampu
Lalu, bagaimana jika suami lalai atau pelit dalam memberikan nafkah? Islam memberikan solusi praktis. Kasus Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan, menjadi contoh terkenal. Hindun mengadu kepada Rasulullah karena suaminya sangat kikir.
Ia bertanya apakah boleh mengambil harta suaminya tanpa izin. Jawaban Rasulullah sangat mencerahkan. Beliau bersabda:
“Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.”
Jawaban Rasulullah tersebut menjadi sebuah landasan hukum yang penting. Oleh karena itu, seorang istri diperbolehkan untuk bertindak demi memenuhi haknya. Ia boleh mengambil harta suaminya secara patut. Namun, tindakan ini memiliki batasan yang jelas, yaitu harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf (baik) dan hanya sebatas kebutuhan. Pada akhirnya, hal ini menunjukkan bahwa istri punya peran aktif dalam memastikan kesejahteraan keluarga.
Tanggung Jawab Sekunder Saat Kondisi Mendesak
Konsep tanggung jawab nafkah wanita menjadi lebih jelas saat kondisi mendesak. Jika suami jatuh miskin, sakit keras, atau tidak mampu bekerja, peran istri bisa berubah. Ketika suami tidak lagi sanggup memenuhi kewajibannya, tanggung jawab bisa beralih.
Jika istri memiliki harta atau penghasilan sendiri, ia memiliki tanggung jawab sekunder. Ia dapat menopang keuangan keluarga. Tindakan ini tidak hanya membantu suami tetapi juga bernilai sedekah yang sangat mulia. Ia menafkahi orang terdekatnya, yaitu suami dan anak-anaknya.
Islam mengakui hak wanita untuk memiliki harta pribadi. Harta tersebut sepenuhnya miliknya. Ia tidak wajib menyerahkannya kepada suami. Namun, dalam semangat kerja sama (ta’awun), kontribusi istri saat suami kesulitan sangat dianjurkan.
Kesimpulan: Peran Saling Melengkapi
Pada akhirnya, Islam menempatkan tanggung jawab nafkah secara berjenjang.
-
Kewajiban Primer: Suami adalah penanggung jawab utama nafkah keluarga.
-
Peran Manajerial: Istri adalah pengelola amanah dan harta suami di rumah.
-
Tanggung Jawab Sekunder: Istri dapat menjadi penyokong finansial jika ia mampu dan suami berada dalam kondisi sulit.
Jadi, anggapan wanita tidak punya tanggung jawab nafkah sama sekali adalah mitos. Wanita memiliki peran penting sebagai pengelola dan penyokong. Ini adalah wujud kemitraan yang indah dalam Islam. Suami dan istri saling melengkapi untuk membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
