Setiap tahun, bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan. Gema takbir dan sorak sorai memenuhi udara. Kita mengenang jasa para pahlawan. Mereka berjuang membebaskan negeri dari belenggu penjajahan fisik. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya? Apakah kemerdekaan hanya sebatas bebas dari penjajah asing? Islam menawarkan sebuah sudut pandang yang jauh lebih mendalam. Makna merdeka menurut Islam melampaui batas teritorial dan politik. Ia menyentuh esensi terdalam dari eksistensi manusia.
Merdeka dari Segala Bentuk Penghambaan Selain kepada Allah
Pondasi utama kemerdekaan dalam Islam adalah tauhid. Kalimat “Laa ilaaha illallah” (Tiada tuhan selain Allah) bukan sekadar ucapan. Kalimat ini adalah deklarasi kemerdekaan paling agung. Ia membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada makhluk. Manusia tidak lagi menjadi budak harta, takhta, atau hawa nafsu. Ia hanya menghamba kepada Sang Pencipta.
Allah SWT menegaskan tujuan penciptaan manusia dalam firman-Nya:
“وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ”
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini menjelaskan bahwa esensi hidup adalah pengabdian. Kemerdekaan sejati adalah ketika kita mengarahkan pengabdian ini hanya kepada Allah. Ketika seseorang masih menjadikan jabatannya sebagai tuan, mengkhawatirkan hilangnya popularitas, atau menuruti keinginan atasan yang zalim, ia belum sepenuhnya merdeka. Jiwanya masih terbelenggu. Islam datang untuk memutus semua rantai belenggu itu.
Kemerdekaan dari Belenggu Hawa Nafsu
Penjajah paling berbahaya seringkali tidak datang dari luar. Ia bersemayam di dalam diri kita sendiri. Penjajah itu bernama hawa nafsu. Seseorang mungkin hidup di negara yang merdeka. Namun, ia bisa jadi masih terjajah oleh amarahnya. Ia diperbudak oleh keserakahannya. Ia tunduk pada syahwatnya yang tidak terkendali. Inilah bentuk penjajahan internal yang seringkali lebih merusak.
Rasulullah SAW menyebut perjuangan melawan hawa nafsu sebagai jihad yang lebih besar (jihad al-akbar). Ini menunjukkan betapa beratnya perjuangan ini. Seseorang baru bisa disebut merdeka jika ia mampu menjadi tuan atas dirinya sendiri. Ia mampu mengendalikan nafsunya, bukan dikendalikan olehnya. Kemerdekaan ini memberinya kekuatan untuk menolak korupsi, menahan diri dari gibah, dan menjauhi segala perbuatan maksiat. Ia bebas karena jiwanya tidak lagi terikat pada keinginan rendahan.
Merdeka dari Ketidakadilan dan Kebodohan
Makna merdeka menurut Islam juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Sebuah masyarakat belum bisa dikatakan merdeka jika ketidakadilan masih merajalela. Kemerdekaan sejati terwujud ketika setiap individu mendapatkan haknya. Orang miskin tidak tertindas. Orang kaya tidak sewenang-wenang. Hukum berlaku adil untuk semua, tanpa memandang status sosial.
Selain itu, Islam sangat menekankan kemerdekaan dari kebodohan. Wahyu pertama yang turun adalah “Iqra!” (Bacalah!). Perintah ini adalah seruan untuk membebaskan manusia dari kegelapan jahiliah. Umat yang merdeka adalah umat yang cerdas. Mereka memiliki ilmu pengetahuan untuk mengelola sumber daya alamnya. Mereka memiliki pemahaman agama yang benar untuk membangun peradaban yang luhur. Sebaliknya, umat yang bodoh akan mudah diadu domba, ditipu, dan kembali dijajah dalam bentuk lain, seperti penjajahan ekonomi atau pemikiran.
Refleksi Kemerdekaan: Sebuah Perjuangan Berkelanjutan
Jadi, sudahkah kita benar-benar merdeka? Jika kita merefleksikan makna merdeka menurut Islam, jawabannya menjadi kompleks. Secara fisik dan politik, alhamdulillah, kita telah merdeka. Namun, perjuangan sejati baru saja dimulai. Perjuangan memerdekakan diri dari penghambaan kepada materi. Perjuangan memerdekakan jiwa dari tirani hawa nafsu. Serta perjuangan kolektif untuk memerdekakan masyarakat dari ketidakadilan dan kebodohan.
Kemerdekaan bukanlah sebuah tujuan akhir yang statis. Ia adalah sebuah proses. Sebuah jihad yang harus terus menerus kita kobarkan setiap hari. Kemerdekaan sejati adalah ketika jiwa, pikiran, dan tindakan kita selaras dengan tujuan penciptaan kita: menjadi hamba Allah yang seutuhnya. Itulah hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
