Khazanah
Beranda » Berita » Akhlak Yang Baik: Landasan Keindahan Diri Dan Masyarakat

Akhlak Yang Baik: Landasan Keindahan Diri Dan Masyarakat

Akhlak Yang Baik: Landasan Keindahan Diri Dan Masyarakat

AKHLAK YANG BAIK: LANDASAN KEINDAHAN DIRI DAN MASYARAKAT.

 

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata: “Hakikat akhlak yang baik adalah bersungguh-sungguh dalam memberi kebaikan kepada orang lain, menahan diri tidak mengganggu orang lain, dan wajah yang berseri-seri.” (Mawaizh lil Imam Hasan Al-Bashri, hal. 187)

Akhlak Adalah Mahkota Seorang Mukmin

Akhlak yang baik bukan sekadar hiasan, melainkan identitas seorang Muslim. Ia adalah buah dari keimanan yang tertanam dalam hati dan termanifestasi dalam perilaku sehari-hari.

Seseorang mungkin berilmu tinggi, tetapi tanpa akhlak, ilmunya menjadi kering. Sebaliknya, orang yang berakhlak mulia akan selalu dikenang dan dicintai, bahkan setelah ia tiada.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Memberi Kebaikan dengan Kesungguhan: Ucapan Al-Hasan Al-Bashri mengajarkan bahwa akhlak baik dimulai dari kesungguhan memberi manfaat. Dalam Islam, kebaikan itu luas—dari sedekah harta, memberi nasihat yang tulus, hinggaq sekadar membantu mengangkat beban orang lain. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Menahan Diri dari Mengganggu Orang Lain

Tidak semua orang bisa memberi secara materi, tetapi setiap orang mampu menahan lisannya dari ucapan menyakitkan, dan menahan tangannya dari perbuatan yang merugikan. Inilah bagian dari akhlak yang sering dilupakan: menjaga agar orang lain merasa aman di sekitar kita. Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Wajah yang Berseri-seri: Sedekah yang Mudah: Tersenyum tulus adalah bahasa universal kebaikan. Wajah yang cerah dan ramah membuat hati orang lain merasa nyaman.

Senyum bukan hanya ekspresi, tetapi ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)

Akhlak Baik: Investasi Dunia dan Akhirat

Akhlak yang baik bukan hanya memperindah hubungan sosial, tetapi juga menjadi penentu berat ringannya timbangan amal di akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan amal seorang mukmin di hari kiamat daripada akhlak yang baik.”
(HR. Tirmidzi)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Menjadi Teladan di Tengah Masyarakat: Di zaman yang penuh dengan ujaran kebencian dan perselisihan, orang yang berakhlak baik akan menjadi oase penyejuk.

Sikap santun, tutur kata lembut, dan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain akan membuat kita dihormati dan diikuti, bahkan tanpa diminta.

Jalan Menuju Kedekatan dengan Allah

Akhlak mulia adalah sebab seseorang dekat dengan Rasulullah ﷺ kelak di surga. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. Tirmidzi)

Kesimpulan. Akhlak yang baik mencakup tiga pilar sebagaimana pesan Al-Hasan Al-Bashri:

1. Bersungguh-sungguh memberi manfaat
2. Menahan diri dari menyakiti orang lain
3. Menebar keceriaan dengan wajah yang berseri-seri

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Jika ketiga hal ini menjadi kebiasaan kita, insya Allah hidup akan lebih tenang, hati lapang, hubungan sosial terjaga, dan akhirat pun bercahaya.

Mari mulai hari ini dengan satu niat sederhana: menjadi pribadi yang bermanfaat, aman bagi sekitar, dan membahagiakan lewat senyum tulus.

 

 


 

“Benih dan Simpul Kebenaran” Refleksi Cara Berfikir dan Tanggung Jawab Berfikir.

Berfikir rasional memiliki batas. Ada titik di mana logika ilmiah berhenti, bingung, bahkan buntu, ketika berhadapan dengan fakta yang melampaui jangkauan metode penelitian atau perhitungan nalar. Sering kali para ilmuwan dan pemikir baru dapat memahaminya setelah datang fakta baru yang melengkapi potongan teka-teki itu.

Namun, logika keimanan tidak mengenal batas itu. Para nabi dan para ulama, meskipun akal tidak mampu memberikan semua jawaban, tetap melangkah penuh keyakinan. Mereka percaya pada janji Allah ﷻ, hingga datanglah bukti berupa mukjizat atau karomah yang menguatkan kebenaran wahyu.

Berfikir rasional menuntut perjalanan panjang melalui etape-etape ilmu — dari observasi, hipotesis, verifikasi, hingga kesimpulan — sebelum akal dapat berkata “aku mengerti.” Tetapi logika keimanan menembus langsung ke ruang hati melalui jalur nubuwah — wahyu yang murni — sehingga hati mampu berkata “aku yakin” bahkan sebelum akal memahami seluruh rahasianya.

> “Itulah Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)

Berfikir rasional melahirkan cara berfikir atas amal — bagaimana kita melakukan, mengukur, dan menilai perbuatan. Sedangkan logika keimanan melahirkan tanggung jawab berfikir atas iman — bagaimana kita menjaga, memelihara, dan mempertanggungjawabkan keyakinan. Keduanya adalah benih kebenaran yang harus ditumbuhkan, atau simpul kebenaran yang mesti dikuatkan dengan Al-Qur’an.

Rangkaian ayat yang menguatkan:
QS. 2:2 | QS. 3:60 | QS. 4:82 | QS. 5:105 | QS. 7:3 | QS. 10:108 | QS. 15:9 | QS. 17:9 | QS. 18:1-2 | QS. 21:50 | QS. 32:2 | QS. 38:29 | QS. 47:24

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)

Akhirnya, ini bukan sekadar soal cara berfikir, tetapi tanggung jawab berfikir. Sebab, berpikir tanpa tanggung jawab akan melahirkan keraguan; sementara berpikir dengan tanggung jawab akan menumbuhkan keyakinan yang kokoh di atas kebenaran wahyu. (Iskandar)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement