Kisah
Beranda » Berita » Cara Allah Menegur Rasulullah

Cara Allah Menegur Rasulullah

Gambar hanya ilustrasi yang dibuat oleh AI

SURAU.CO – Setiap Muslim tentu meyakini kesempurnaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah manusia terbaik dan suri teladan agung bagi seluruh alam. Meskipun demikian, Al-Qur’an yang mulia merekam beberapa momen unik, yaitu ketika Allah SWT secara langsung memberikan teguran kepada Nabi-Nya.

Sebagian orang mungkin bertanya, bagaimana mungkin seorang utusan pilihan menerima koreksi dari Tuhannya? Justru, di sinilah letak salah satu bukti terbesar atas kebenaran risalah Islam. Teguran ini secara gamblang menunjukkan dua hal fundamental. Pertama, ia membuktikan bahwa Al-Qur’an murni datang dari Allah. Kedua, ia menegaskan sifat kemanusiaan Nabi yang mulia dan senantiasa dibimbing.

Faktanya, jika Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad, mustahil beliau akan menulis ayat yang menegur dirinya. Seorang penulis tentu ingin membangun citra diri yang sempurna. Sebaliknya, Rasulullah dengan penuh amanah menyampaikan setiap wahyu apa adanya, termasuk ayat-ayat yang berisi koreksi lembut untuk beliau.

Prioritas Dakwah: Kisah dalam Surat ‘Abasa

Salah satu teguran paling terkenal muncul dalam Surat ‘Abasa. Suatu hari, Rasulullah sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Beliau sangat berharap mereka mau menerima Islam, karena keislaman mereka dapat membawa pengaruh besar bagi kaumnya.

Namun, di tengah keseriusan diskusi itu, seorang sahabat mulia bernama Abdullah ibn Ummi Maktum datang. Sebagai seorang tunanetra yang haus akan ilmu, beliau dengan semangat memanggil Rasulullah untuk meminta pengajaran. Karena sedang fokus pada para pembesar, Nabi tanpa sadar sedikit memalingkan wajah dan menunjukkan raut muka masam.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Akibatnya, Allah SWT seketika menurunkan wahyu sebagai pengingat. Teguran lembut ini terabadikan selamanya dalam Al-Qur’an:

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad), barangkali ia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau ia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya?” (QS. ‘Abasa: 1-4)

Melalui ayat ini, Allah mengingatkan Nabi-Nya tentang skala prioritas. Keikhlasan seorang pencari kebenaran jauh lebih berharga di sisi Allah, meskipun ia tidak memiliki kedudukan di mata manusia.

Kebijaksanaan Perang: Teguran Terkait Tawanan Badar

Kisah serupa juga kita temukan setelah Perang Badar usai. Saat itu, kaum muslimin meraih kemenangan gemilang dan berhasil menawan tujuh puluh orang musyrik. Kemudian, Rasulullah mengajak para sahabat untuk bermusyawarah mengenai nasib para tawanan ini.

Umar bin Khattab mengusulkan sikap yang sangat tegas. Menurutnya, mereka semua pantas dibunuh karena merupakan para pemimpin kekafiran. Di sisi lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq menawarkan pandangan berbeda. Beliau mengusulkan agar kaum muslimin membebaskan para tawanan dengan imbalan tebusan. Tujuannya agar harta tebusan tersebut dapat memperkuat dakwah Islam.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Di antara dua pilihan ini, Rasulullah lebih cenderung pada pendapat Abu Bakar. Akan tetapi, Allah memiliki ketetapan lain yang lebih utama pada saat itu. Allah pun menurunkan teguran dalam Surat Al-Anfal:

“Tidaklah pantas, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat untukmu. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal: 67)

Ayat ini memberikan pelajaran strategis yang sangat penting, yaitu mengutamakan kekuatan dan wibawa Islam di awal perjuangan.

Bimbingan Personal: Pelajaran dari Surat At-Tahrim

Tidak hanya itu, bimbingan Allah bahkan hadir dalam ranah pribadi Rasulullah. Ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi pernah mengharamkan madu atas dirinya sendiri. Beliau melakukan hal tersebut demi menyenangkan hati sebagian istri-istrinya. Merespons tindakan ini, Allah menurunkan wahyu dalam Surat At-Tahrim:

“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim: 1)

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Kejadian ini menunjukkan betapa Allah senantiasa menjaga Nabi-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Teguran ini, alih-alih merendahkan, justru merupakan bentuk kasih sayang dan pemuliaan dari Allah SWT.

Hikmah Agung di Balik Setiap Teguran

Pada akhirnya, dari semua kisah ini, kita dapat memetik hikmah yang sangat dalam. Setiap teguran ilahi menjadi bukti tak terbantahkan bahwa Rasulullah adalah seorang manusia (basyar). Beliau berijtihad sebagaimana manusia, tetapi wahyu ilahi senantiasa menjaga dan membimbing beliau. Ketika ijtihadnya kurang tepat, Allah langsung turun tangan untuk meluruskannya.

Hal ini justru semakin meninggikan derajat beliau. Kejujurannya dalam menyampaikan wahyu yang menegur dirinya sendiri adalah puncak dari sifat amanah. Fakta ini secara telak mematahkan tuduhan bahwa beliau mengarang Al-Qur’an. Dengan demikian, teguran cinta dari langit ini akan selamanya menjadi saksi atas kebenaran risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement