Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai berbagai praktik kecil yang tampak sepele. Contohnya seperti mengisi daya ponsel di kantor, menggunakan printer untuk mencetak dokumen pribadi, atau memakai kendaraan dinas untuk urusan keluarga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana Islam memandang hal ini? Artikel ini akan mengupas tuntas hukum menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi berdasarkan kaidah fiqih.
Tindakan ini mungkin terlihat wajar bagi sebagian orang. Namun, dalam perspektif syariat Islam, masalah ini memiliki bobot yang sangat serius. Sebab, semua aset dan fasilitas milik negara pada hakikatnya adalah amanah yang ditujukan untuk kemaslahatan publik.
Status Kepemilikan Aset Negara dalam Islam
Langkah pertama untuk memahami masalah ini adalah dengan mengetahui status kepemilikan aset negara. Fasilitas seperti gedung kantor, komputer, kendaraan, dan bahkan listrik, bukanlah milik pribadi seorang pejabat atau pegawai. Aset tersebut merupakan milik kolektif seluruh rakyat (umat).
Pemerintah atau aparatur negara hanya bertindak sebagai pengelola (mutasharrif). Tugas mereka adalah memastikan semua aset tersebut dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan umum (mashlahah ‘ammah). Prinsip ini dijelaskan dalam sebuah kaidah fiqih yang sangat populer dari Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wan Nazha’ir.
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus terikat dengan kemaslahatan (publik).”
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap kebijakan dan pengelolaan aset oleh pemimpin harus berorientasi pada manfaat bagi masyarakat luas. Jika seorang pejabat menggunakan fasilitas negara untuk tujuan pribadi, maka ia telah keluar dari prinsip kemaslahatan umum tersebut.
Ancaman Serius Bernama Ghulul
Penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dalam Islam digolongkan sebagai ghulul. Ghulul adalah istilah untuk pengkhianatan atau korupsi terhadap harta publik, termasuk harta rampasan perang, zakat, atau aset milik negara. Perbuatan ini termasuk dosa besar dengan ancaman yang sangat berat.
Rasulullah SAW memberikan peringatan keras melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hadits ini menceritakan tentang seorang sahabat bernama Kirkirah yang bertugas menjaga harta rampasan perang. Ketika ia wafat, Nabi bersabda bahwa orang tersebut berada di neraka. Para sahabat pun terkejut dan mencari tahu penyebabnya. Mereka menemukan sebuah mantel (‘aba’ah) yang telah ia sembunyikan dari harta rampasan perang sebelum dibagi.
Imam An-Nawawi, dalam penjelasannya di kitab Syarh Shahih Muslim, mengomentari hadits ini:
وَفِيْهِ أَنَّ غُلُوْلَ أَمْوَالِ الْغَنِيْمَةِ مِنْ الْكَبَائِرِ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَ أَنَّهُ يُعَذَّبُ بِسَبَبِهَا فِي النَّارِ
Artinya: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa ghulul (korupsi) harta rampasan perang termasuk dosa besar. Sebab, Rasulullah SAW mengabarkan bahwa pelakunya akan disiksa di neraka karena perbuatan tersebut.”
Kisah ini memberikan pelajaran penting. Jika mengambil sehelai mantel saja sudah mendapat ancaman neraka, bagaimana dengan penyalahgunaan aset negara yang nilainya jauh lebih besar? Ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga integritas dan amanah dalam pengelolaan harta publik.
Apakah Ada Pengecualian?
Meskipun hukum asalnya adalah haram, para ulama memberikan beberapa catatan mengenai batasan penggunaan fasilitas negara. Penggunaan tersebut bisa menjadi boleh dengan dua syarat utama:
-
Adanya Izin yang Jelas: Jika ada izin secara eksplisit dari pihak yang berwenang untuk penggunaan tertentu, maka hal itu diperbolehkan. Misalnya, sebuah instansi memberikan kebijakan resmi yang memperbolehkan pegawai menggunakan internet kantor untuk keperluan belajar di luar jam kerja.
-
Sudah Menjadi Kebiasaan Umum (‘Urf): Penggunaan tersebut sudah dianggap wajar, lumrah, dan tidak menimbulkan kerugian signifikan bagi negara. Contohnya adalah mengisi daya ponsel atau meminum air galon di kantor. Praktik semacam ini umumnya ditoleransi karena dianggap tidak mengganggu fungsi utama fasilitas dan tidak membebani anggaran secara berlebihan.
Namun, batasan ‘urf ini harus dipahami dengan cermat. Jika penggunaan tersebut berlebihan, seperti mencetak ratusan lembar skripsi atau mengunduh film berukuran besar, maka ia keluar dari batas kewajaran dan kembali menjadi haram.
Kesimpulan: Utamakan Sifat Wara’ dan Kehati-hatian
Pada akhirnya, hukum menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi adalah haram, kecuali ada izin resmi atau telah menjadi kebiasaan wajar yang tidak merugikan. Bagi setiap aparatur negara dan pegawai, menumbuhkan sifat wara’ (kehati-hatian) adalah kunci.
Sikap ini mendorong seseorang untuk menjauhi wilayah syubhat (samar) demi menjaga amanah yang diembannya. Ingatlah bahwa setiap perbuatan tidak hanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan hukum negara, tetapi juga di hadapan Allah SWT kelak.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
