Sebagian masyarakat kita masih sering terjebak dalam pemikiran mistis. Mereka mencari penjelasan gaib untuk masalah dunia nyata. Pola pikir ini mengabaikan logika dan akal sehat. Akibatnya, solusi nyata menjadi sulit ditemukan. Padahal, Islam mendorong umatnya untuk menjadi cerdas dan bijaksana. Sudah saatnya kita meninggalkan logika mistika untuk membangun peradaban yang unggul.
Pola pikir ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Cara pandang ini membuat kita tidak fokus pada akar masalah sebenarnya. Kita lebih memilih penjelasan yang sederhana namun tidak masuk akal. Ini menjadi penghambat besar bagi kemajuan individu dan komunal.
Mengidentifikasi Logika Mistika di Sekitar Kita
Logika mistika seringkali muncul dalam berbagai bentuk. Mari kita lihat beberapa contoh nyata yang sering terjadi.
Pertama, ketika terjadi sebuah kecelakaan di jalan. Beberapa orang mungkin langsung menyalahkan “penunggu” pohon besar di tikungan. Mereka lupa menganalisis faktor lain yang lebih logis. Mungkin pengemudi mengantuk atau rem kendaraannya blong. Mungkin juga kondisi jalan yang buruk atau kurangnya penerangan. Menyalahkan hal gaib membuat kita lalai memperbaiki penyebab sesungguhnya. Akibatnya, kecelakaan serupa bisa terulang kembali di masa depan.
Contoh kedua adalah saat seseorang kehilangan uang di rumah. Pikiran sering langsung tertuju pada “tuyul” atau makhluk gaib pencuri. Padahal, ada banyak kemungkinan logis yang terabaikan. Bisa jadi uang itu terselip di tempat lain. Mungkin ada anggota keluarga yang mengambilnya tanpa izin. Atau, bisa juga ada pencuri yang masuk ke rumah. Pola pikir mistis menutup pintu untuk investigasi yang rasional.
Ketiga, dalam dunia usaha. Ketika sebuah bisnis bangkrut, pemiliknya mungkin merasa terkena “santet” dari pesaing. Pikiran ini mengabaikan analisis bisnis yang krusial. Mungkin strategi pemasarannya kurang tepat. Mungkin kualitas produknya menurun. Atau, bisa jadi harga yang ditawarkan tidak kompetitif. Menyalahkan ilmu hitam adalah jalan pintas yang tidak menyelesaikan masalah. Sebaliknya, hal itu justru mencegah evaluasi dan perbaikan.
Pandangan Islam: Mendorong Akal dan Ikhtiar
Islam sesungguhnya sangat memuliakan akal. Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk berpikir. Kita sering menemukan ayat-ayat yang bertanya:
-
“Afalaa ta’qiluun?” (Apakah kalian tidak berpikir?).
-
“Afalaa tatadabbaruun?” (Apakah kalian tidak merenungi?).
-
“Afalaa tatafakkaruun?” (Apakah kalian tidak memikirkan?).
Pertanyaan-pertanyaan retoris ini adalah perintah halus. Allah SWT mendorong kita untuk menggunakan potensi akal yang telah diberikan. Akal adalah anugerah besar untuk membedakan benar dan salah, serta mencari solusi atas permasalahan hidup. Mengabaikan akal berarti menyia-nyiakan anugerah tersebut.
Selain itu, Islam mengajarkan konsep ikhtiar (usaha maksimal) sebelum tawakal (berserah diri). Sebuah hadis populer menceritakan kisah seorang sahabat Nabi. Ia membiarkan untanya tanpa diikat, lalu bertawakal kepada Allah. Nabi Muhammad SAW kemudian menasihatinya dengan tegas:
“I’qilhaa wa tawakkal” (Ikatlah untamu, baru bertawakal).
Pesan ini sangat jelas. Usaha manusia harus didahulukan. Kita harus melakukan semua langkah logis dan rasional yang kita bisa. Setelah usaha maksimal dilakukan, barulah kita menyerahkan hasilnya kepada Allah. Tawakal tanpa ikhtiar adalah bentuk kepasrahan yang keliru.
Dampak Buruk Logika Mistika bagi Kemajuan Umat
Ketika logika mistika mendominasi, dampaknya sangat merusak. Pola pikir ini melahirkan mentalitas fatalistik. Orang menjadi pasrah pada keadaan. Mereka enggan berusaha keras mencari solusi. Mereka percaya semua sudah menjadi takdir gaib yang tidak bisa diubah.
Sikap ini mematikan inovasi dan kreativitas. Umat menjadi enggan belajar sains dan teknologi. Mereka merasa ilmu pengetahuan duniawi tidak sepenting urusan gaib. Akibatnya, kita tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang mengedepankan riset dan pengembangan. Kita hanya menjadi konsumen, bukan produsen teknologi.
Lebih jauh, ketergantungan pada penjelasan mistis membuat umat menjadi lemah. Kita tidak mampu menganalisis masalah sosial, ekonomi, dan politik secara tajam. Kita mudah diadu domba karena tidak berpikir kritis. Akhirnya, kita kehilangan daya saing dan kehormatan di panggung dunia.
Menuju Umat yang Bijaksana (Khairu Ummah)
Untuk bangkit, kita harus mengubah cara pandang secara fundamental. Kita harus berani meninggalkan logika mistika. Gantilah dengan pendekatan yang rasional, ilmiah, dan berbasis data, tentu dengan tetap berpegang pada iman.
Inilah jalan untuk menjadi “…menjadi khairu ummah, umat terbaik.” Umat terbaik adalah umat yang seimbang. Imannya kuat, ibadahnya benar, dan akalnya berfungsi optimal. Mereka mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan bersama. Mereka menyelesaikan masalah dengan analisis mendalam, bukan dengan menyalahkan hantu atau jin.
Mari kita didik generasi muda untuk berpikir kritis. Ajarkan mereka untuk selalu bertanya “mengapa” dan “bagaimana”. Bekali mereka dengan ilmu agama dan ilmu dunia secara seimbang. Dengan begitu, kita bisa melahirkan umat yang cerdas, bijaksana, dan siap memimpin peradaban di masa depan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
