Perdagangan internasional adalah pilar penting ekonomi global. Setiap negara pasti terlibat dalam aktivitas ekspor dan impor. Namun, setiap ideologi memiliki cara pandang yang berbeda. Kapitalisme dan sosialisme menawarkan kerangka kerja yang dominan. Islam, sebagai sebuah pandangan hidup yang komprehensif, juga memiliki konsep unik. Sistem ini mengatur politik perdagangan luar negeri dalam Islam dengan sangat rinci.
Tujuan utama sistem ini bukanlah sekadar mengejar keuntungan materi. Islam menempatkan kemaslahatan umat dan kedaulatan negara sebagai prioritas tertinggi. Hal ini sangat kontras dengan sistem kapitalis. Kapitalisme sering kali mendorong liberalisasi perdagangan tanpa batas. Akibatnya, negara lemah bisa menjadi korban eksploitasi negara kuat.
Peran Negara dalam Mengatur Perdagangan
Dalam sistem Islam, negara (Daulah Khilafah) memegang peran sentral. Negara bertindak sebagai regulator dan pelindung ekonomi domestik. Kebijakannya tidak diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas. Negara secara aktif memastikan bahwa setiap transaksi perdagangan luar negeri membawa manfaat. Selain itu, negara mencegah dampak buruk yang mungkin timbul.
Kebijakan ini mencakup dua aspek utama: impor dan ekspor. Negara mengawasi arus barang yang masuk dan keluar. Tujuannya untuk menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi industri dalam negeri. Negara juga memastikan kebutuhan pokok rakyat terpenuhi terlebih dahulu sebelum melakukan ekspor besar-besaran.
Kebijakan Impor yang Ketat dan Terukur
Islam menetapkan aturan yang jelas mengenai impor barang. Tidak semua produk dari luar negeri boleh masuk dengan bebas. Prinsip utamanya adalah melindungi akidah, moral, dan ekonomi umat.
Negara Islam akan melarang impor komoditas tertentu. Pertama, barang yang berasal dari negara yang secara nyata memusuhi Islam (harbi fi’lan). Membeli produk dari mereka sama saja dengan memperkuat musuh. Ini adalah tindakan yang membahayakan keamanan negara.
Kedua, negara melarang impor barang yang tidak memiliki nilai strategis. Contohnya adalah barang-barang mewah yang hanya menghabiskan devisa negara. Impor semacam ini tidak memberikan manfaat produktif bagi masyarakat luas. Sebaliknya, hal itu hanya menguntungkan segelintir orang kaya dan merusak neraca perdagangan.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Daulah Islam menjelaskan:
“Negara mengawasi barang-barang yang diimpor ke dalam negeri. Negara akan melarang impor komoditas yang membahayakan negara dan rakyatnya.”
Kebijakan ini menunjukkan bahwa perdagangan luar negeri dalam Islam bersifat protektif. Namun, proteksi ini bukan untuk anti-asing. Tujuannya adalah membangun kemandirian dan kedaulatan ekonomi.
Sistem Bea Cukai (‘Ushr) yang Berkeadilan
Salah satu instrumen penting dalam mengatur impor adalah bea cukai. Dalam khazanah Islam, bea cukai dikenal dengan istilah ‘ushr. Sistem ini diterapkan secara berbeda tergantung dari mana pedagang itu berasal.
Imam Al-Mawardi mengklasifikasikan pedagang asing menjadi dua kategori utama: kafir harbi (dari negara musuh) dan kafir mu’ahad (dari negara yang punya perjanjian).
Aturan bea cukainya adalah sebagai berikut:
-
Pedagang dari Wilayah Islam: Pedagang muslim dari satu wilayah Daulah ke wilayah lain tidak dikenakan bea cukai sama sekali. Ini mendorong integrasi ekonomi di antara negeri-negeri muslim.
-
Pedagang dari Negara Perjanjian (Darul Ahd): Bea cukai dikenakan berdasarkan prinsip resiprokal atau sesuai isi perjanjian. Jika negara mereka mengenakan tarif 10%, maka negara Islam akan melakukan hal yang sama. Jika mereka tidak mengenakan tarif, maka negara Islam juga tidak memungutnya.
-
Pedagang dari Negara Musuh (Darul Harb): Mereka dikenakan bea cukai yang disebut ‘ushr, yaitu sebesar 10 persen. Tarif ini berfungsi sebagai disinsentif dan alat kontrol terhadap barang dari negara yang berpotensi mengancam.
An-Nabhani menegaskan kebijakan bea cukai ini:
“Negara akan memungut bea cukai (custom) atas perdagangan luar negeri. Bea cukai ini dipungut dari para pedagang berdasarkan status kewarganegaraan mereka, bukan berdasarkan komoditas yang diperdagangkan.”
Ekspor sebagai Sarana Dakwah dan Pengaruh
Di sisi ekspor, negara Islam mendorong penjualan komoditas ke luar negeri. Terutama barang-barang yang sudah surplus atau menjadi keunggulan produksi dalam negeri. Aktivitas ekspor membantu meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan produsen lokal.
Namun, ada batasan yang sangat penting. Negara melarang keras ekspor barang-barang yang bersifat strategis. Contoh utamanya adalah persenjataan atau teknologi militer. Menjual barang seperti itu kepada negara lain, terutama yang berpotensi menjadi musuh, adalah tindakan bunuh diri.
Lebih dari sekadar transaksi ekonomi, perdagangan juga menjadi sarana dakwah. Para pedagang muslim yang berinteraksi dengan dunia luar menjadi duta Islam. Mereka diharapkan menunjukkan akhlak mulia, kejujuran, dan keadilan. Melalui muamalah yang baik, mereka mengenalkan keindahan Islam kepada bangsa lain.
Secara ringkas, politik perdagangan luar negeri dalam Islam sangatlah komprehensif. Sistem ini menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi, kedaulatan politik, dan misi penyebaran nilai-nilai luhur. Tujuannya bukan dominasi, melainkan menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan sejahtera bagi semua.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
