SURAU.CO. Sebuah hikmah mendalam datang dari riwayat sufi agung Mesir, Dzun Nun al-Misri. Beliau mengisahkan sebuah pengalaman spiritual luar biasa yang dialami seorang sufi bernama al-Washity. Kisa itu berula dari mempertemukannya dengan seorang pria Badui yang seluruh hidupnya tercurah untuk berdzikir.
Dalam sebuh perjalanan Al-Washity melintasi berbagai wilayah hingga tiba di sebuah perkampungan terpencil. Di sana, dirinya menjumpai seorang pria dari suku Badui sedang duduk sendirian dan tampak khusyuk. Wajahnya memancarkan ketenangan yang mendalam. Merasa penasaran, Al-Washity pun memberanikan diri mendekat. Ia dengan hormat mengucapkan salam untuk memulai percakapan.
“Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh,” sapa Al-Washity dengan lembut.
Pria Badui itu membalas salamnya dengan penuh takzim. ”Wa’alikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Namun, setelah menjawab salam, pria Badui itu sepertinya enggan melanjutkan percakapan. Ia terlihat sedang sibuk dengan sesuatu yang tak kasatmata. Tak lama berselang, ia memberikan nasihat singkat namun menusuk kalbu kepada Al-Washity.
”Sibukkanlah dirimu dengan dzikrullah, karena Dzikrullah itu penyembuh hati,” katanya.
Pria Badui itu juga melanjutkan ucapannya dengan sebuah perenungan. Kalimatnya melambangkan betapa singkatnya hidup di hadapan kemuliaan.
”Bagaimana bisa manusia merampungkan dzikir dan baktinya sedangkan maut sudah didepannya dan Allah Ta’ala memandangnya.”
Rasa Takut
Seketika, pria Badui menangis dengan sangat pilu. Air matanya mengalir deras, menunjukkan betapa dalam rasa takut dan cintanya pada Sang Pencipta. Al-Washity pun merasakan hal yang sama. Ia ikut menangis tersedu-sedu mendengar kata-kata yang begitu menggemparkan jiwa itu.
Di tengah isak tangisnya,
Al-Washity mencoba menghibur. “Aku tidak melihatmu sendiri…”
Ahli dzikir itu langsung menukas dengan keyakinan penuh. Ia mengungkapkan rahasia dari ketenangannya.
“Aku memang tidak pernah sendiri. Allah selalu bersama denganku. Aku sendiri tidak pernah merasa terasing karena Allah adalah sahabat mesraku,” jawab pria Badui itu.
Sesaat kemudian, ia bangkit berdiri. Sebelum berlalu, ia melantunkan sebuah munajat yang indah. Doa itu menggambarkan puncak kerinduannya.
”Oh Tuanku, kebanyakan makhluk Mu sibuk jauh darimu selain diri Mu!
Sedangkan Engkau menjadi pengganti dari segala yang hilang darinya.
Wahai Teman orang asing, wahai Teman Mesra setiap yang kesepian.
Wahai tempat berlabuhnya orang yang sendirian…”
Al-Washity yang terpesona mencoba mengikutinya. Namun, pria Badui itu menoleh dan memberi nasihat terakhir.
”Kembalillah semoga Allah memaafkanmu kepada orang yang lebih baik daripadaku, dengan kamu. Jangan kamu sibukkan diriku hingga menghalangi diriku dengan Yang Lebih Baik dibandingkan dirimu sendiri.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, pria Badui tersebut menghilang dari pandangannya. Al-Washity hanya bisa berdiri tercenung. Ia merencanakan peristiwa agung yang baru saja ia saksikan.
Dzikir sebagai Pilar Utama Jalan Rohani
Kisah Badui ahli dzikir ini bukan sekadar cerita. BAdui itu adlah cerminan tentang posisi sentral dzikir dalam dunia tasawuf. Bagi seorang sufi atau salik (pejalan spiritual) menyebut dzikir adalah sebuah keniscayaan. Perjalanan menuju Tuhan mustahil berhasil tanpa terus-menerus mengingat-Nya. Pentingnya kedudukan dzikir ditegaskan oleh Syaikh Abu Ali al-Daqqaq yang dikutip oleh Imam al-Qusyairi menuturkan kata-katanya yang masyhur: “Zikir merupakan tiang penopang yang sangat kuat di atas jalan menuju Allah. Sungguh, zikir merupakan landasan bagi tarekat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah SWT, kecuali dengan terus-menerus berzikir di lingkungannya.”
Dzikir menjadi media utama seorang hamba. Melaluinya, ia bisa mencapai kedekatan istimewa dengan Tuhannya. Dengan Dzikir seseorang dapat memusatkan seluruh perhatiannya hanya kepada Allah. Seluruh kesadarannya terisi penuh oleh ingatannya. Syekh Fadhlullah Haeri menjelaskan tujuan agung ini. Menurutnya, mengingat Allah bertujuan membersihkan pikiran secara psikologis. Dzikir memerdekakan jiwa dari berbagai doktrin duniawi. Ia juga ampuh menghilangkan segala penghalang menuju Tuhan. Inilah maknanyatajrid, yaitu pengosongan batin dari segala sesuatu selain Dia.
Ragam Metode Dzikir dalam Tarekat
Setiap tarekat dalam tasawuf memiliki metode dzikir yang khas. Perbedaan ini mencakup cara pengucapannya hingga teknik pelaksanaannya. Namun, secara umum, dzikir terbagi menjadi dua jenis utama. Pertama adalah Dzikir Jali (Dzikir yang Nyaring).Metode ini adalah dengan melafalkan bacaan dzikir secara keras dan terdengar. Tujuannya agar konsentrasi eksternal dan menyatu internal. Tarekat seperti Chisti dan Qadiriyah kerap mengamalkan dzikir ini.
Kedua Dzikir Khafi (Dzikir dalam Hati) yaitu metode ini melakukan dzikir secara batiniah, tanpa suara. Fokusnya adalah pada getaran di dalam hati. Tarekat Naqsyabandiyah lebih mengutamakan dzikir jenis ini untuk mencapai perenungan yang lebih mendalam.
Pada akhirnya, kisah ahli dzikir Badui mengajarkan kita sebuah esensi. Dzikir bukan sekadar ritual lisan. Ia adalah kondisi batin yang merasa selalu dikelilingi dan ditemani oleh Allah. Inilah persahabatan sejati yang menjadi penyembuh segala lara dan kesepian.
Wallahu A’lam Bishowab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
