SURAU.CO. Dunia jurnalisme kembali berduka atas konflik di Gaza. Serangan udara Israel pada Minggu malam menewaskan jurnalis terkemuka Al Jazeera, Anas al-Sharif dan empat rekan sesama wartawan lainnya. selain itu ada dua warga sipil yang ikut terbunuh akibat serangan biadab ini. Insiden tragis ini terjadi ketika serangan menghantam tenda pers mereka. Tenda tersebut berada dekat Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza.
Peristiwa memilukan ini terjadi hanya beberapa jam setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak kecaman global. Petinggi Israel ini bersikeras melanjutkan rencana pendudukan atas wilayah kantong Palestina tersebut. Kematian Anas ini menambah daftar panjang jurnalis yang menjadi korban jiwa saat meliput perang.
Jaringan Media Al Jazeera merilis pernyataan tegas dan menuduh pasukan Israel sengaja membunuh para jurnalis. Serangan itu adalah upaya untuk membungkam suara kebenaran dari Gaza. Para korban tewas lainnya teridentifikasi sebagai Mohammed Qraiqea, Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Mosaab Al Sharif.
Serangan yang Diklaim Disengaja
Anas al-Sharif, ayah dua anak berusia 28 tahun memang sedang bertugas di lokasi. Ia berada di luar gerbang utama rumah sakit bersama rekan-rekannya. Tiba-tiba, serangan menghantam tenda tempat mereka berlindung dan bekerja.Dalam pernyataan resminya, Al Jazeera memberikan penghormatan mendalam. Mengutip laman middleeasteye, Anas dan rekan-rekannya termasuk di antara suara-suara terakhir yang tersisa dari Gazayang memberikan liputan langsung. Mereka memberitakan tanpa filter kepada dunia tentang realitas mengerikan yang dialami rakyat Gaza.
Jurnalis Al Jazeera tetap berada di Gaza yang terkepung san merasakan kelaparan dan penderitaan yang mereka dokumentasikan melalui lensa mereka. “Melalui liputan langsung yang berkelanjutan dan berani, mereka telah menyampaikan kisah-kisah saksi mata yang memilukan tentang kengerian yang dilepaskan selama lebih dari satu setengah tahun pengeboman dan penghancuran tanpa henti,” tambah Al Jazeera.
Sementara itu pihak militer Israel menuduh Anas al-Sharif bertugas sebagai “kepala sel teroris di organisasi teroris Hamas.” Namun, militer Israel tidak menyertakan bukti apa pun untuk mendukung tuduhan serius tersebut. Klaim ini bukanlah yang pertama. Sejak perang pecah pada Oktober 2023, Israel secara rutin menuduh jurnalis Palestina sebagai anggota Hamas. Kelompok hak asasi manusia menilai ini sebagai taktik. Tujuannya adalah untuk mendelegitimasi dan mendiskreditkan laporan mereka mengenai pelanggaran yang terjadi di lapangan.
Jodie Ginsberg, kepala eksekutif Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), menyoroti pola ini. Ia menyatakan bahwa pembunuhan Anas bukanlah insiden tunggal. “Ini bukan hanya tentang Anas al-Sharif, ini adalah bagian dari praktik selama puluhan tahun di mana Israel membunuh jurnalis,” katanya kepada Al Jazeera.
Dedikasi di Tengah Ancaman dan Kehilangan
Anas al-Sharif terkenal sebagai jurnalis yang mempunyai dedikasi tinggi. LahirPria ini lahir di Kamp Pengungsi Jabalia dan mendedikasikan hidupnya untuk menyuarakan kisah rakyat Palestina. Ia tetap bertahan di Gaza utara meski menghadapi ancaman nyata. Bahkan, ia menolak perintah evakuasi dari militer Israel.
Tragedi pribadi juga menimpanya selama konflik. Pada Desember 2023, serangan Israel menghancurkan rumah keluarganya. Ayahnya yang berusia 65 tahun meninggal dalam serangan itu. Namun, kehilangan tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melaporkan.
Ancaman terhadap Anas juga datang secara terbuka. Bulan lalu, juru bicara militer Israel, Avichai Adraee, secara terang-terangan mengancamnya melalui sebuah video di media sosial X. Tindakan ini dikecam luas karena menargetkan seorang jurnalis secara langsung.
Pesan Terakhir Seorang Jurnalis Pemberani
Sesaat sebelum tewas, Anas masih aktif bekerja. Ia mengunggah video yang menunjukkan serangan rudal Israel di Kota Gaza. Video terakhirnya merekam suara ledakan dahsyat yang sangat dekat dengan posisinya. Setelah kematiannya, Al Jazeera merilis pesan terakhir yang ditulis Anas pada 6 April. Tulisan itu menjadi wasiatnya yang kuat tentang perjuangan dan kebenaran. “Saya telah mengalami semua detail rasa sakit, merasakan penderitaan dan kehilangan berkali-kali, namun saya tidak pernah ragu untuk menyampaikan kebenaran apa adanya, tanpa distorsi atau pemalsuan,” tulis Anas.
Ia melanjutkan pesannya dengan nada pilu. “Semoga Allah menjadi saksi atas mereka yang tetap diam. Mereka yang menerima pembunuhan kami, mereka yang mencekik napas kami, dan yang hatinya tak tergerak oleh sisa-sisa tubuh anak-anak dan perempuan kami yang berserakan, yang tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pembantaian yang telah dihadapi oleh rakyat kami selama lebih dari satu setengah tahun.”
Gugurnya Anas al-Sharif dan rekan-rekannya menjadi pengingat pahit atas risiko besar yang dihadapi jurnalis di zona konflik. Kematian mereka adalah kehilangan besar bagi kebebasan pers dan bagi dunia yang membutuhkan suara-suara jujur dari Gaza. ( Berbagai Sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
