SURAU.CO. Sebuah perjalanan spiritual seringkali membawa pelajaran dari sumber tak terduga. Hal tersebut ternyata juga pernah ada dalam perjalanan spiritual dua sufi besar yaitu Ayyub al Sikhtiyani dan Abdul Wahid bin Zaid. peritiwanya terjadi ketika keduanya tengah melakukan perjalanan penting menuju Syam. Mereka tidak menyangka akan bertemu guru sejati di tengah jalan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Guru itu adalah seorang budak hitam yang tampak sederhana.
Perjumpaan mereka terjadi saat sang budak sedang memikul seikat kayu kering. Penampilannya biasa saja. Namun, pancaran kebijaksanaan tersembunyi di baliknya. Salah satu sufi kemudian memulai percakapan untuk menguji pengetahuannya.
βHai budak hitam siapa Tuhanmu!β tanya sufi itu.
Pertanyaan tersebut justru dijawab dengan pertanyaan balik yang menohok. Sang budak menunjukkan kedalaman imannya.
βApakah dengan orang seperti aku ini maka Anda bertanya demikian?β jawabnya dengan tegas.
Keajaiban Bukan Tolok Ukur Iman
Untuk membuktikan ucapannya, sang budak tidak perlu berdebat panjang. Ia memilih menunjukkan langsung kekuasaan Tuhannya. Ia menengadahkan kepala ke langit. Lalu, ia memanjatkan doa dengan penuh keyakinan.
βOh Tuhanku rubahlah kayu kering ini menjadi emas.β
Seketika, sebuah keajaiban besar terjadi di depan mata kedua sufi. Kayu kering yang berada di pundaknya berubah menjadi emas berkilauan. Pemandangan itu sungguh luar biasa. Sang budak lalu bertanya dengan tenang kepada mereka.
βApakah anda melihat perubahan ini,β tanyanya.
βYa,β jawab kedua sufi itu serempak, masih diliputi rasa takjub.
Namun, budak itu tidak berhenti di sana. Ia ingin mengajarkan pelajaran yang lebih dalam. Ia kembali berdoa kepada Allah.
βYa Allah balikkanlah kayu kering ini seperti semula.β
Emas yang berkilau itu langsung kembali menjadi kayu kering biasa. Momen ini menjadi puncak pelajarannya. Ia lalu memberikan nasihat penting kepada Ayyub dan Abdul Wahid.
βMintalah kalian karena orang βarifun itu tidak tergoyahkan oleh keajaiban-keajaibannya.β
Mendengar nasihat itu, Ayyub al Sikhtiyani merasa sangat tersentuh. Ia mengaku, βAku sungguh malu dengan si budak hitam ini. Rasa malu yang tak pernah aku alami sebelumnya dari siapapun.β
Hidangan dari Langit dan Makna Keikhlasan
Rasa penasaran kedua sufi belum usai. Abdul Wahid kemudian bertanya, βApakah Anda punya makanan.β.
Budak hitam itu tidak menjawab dengan kata-kata. Ia kembali berdoa. Tiba-tiba, di hadapan mereka tersaji segumpal madu. Warnanya lebih putih dari salju. Aromanya lebih harum dari wangi minyak misik.
βMakanlah demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Madu ini tidak muncul dari perut lebah,β kata budak tersebut.
Ayyub al Sikhtiyani dan Abdul Wahid bin Zaid segera memakannya. Mereka mengakui belum pernah merasakan madu selezat itu seumur hidup. Kekaguman mereka terhadap sang budak semakin bertambah. Namun, budak itu kembali memberikan pelajaran tentang hakikat seorang βarif (orang yang mengenal Allah).
βBukanlah disebut orang βarif, manakala masih kagum pada ayat-ayat. Siapa yang masih kagum pada tanda kebesaran Nya berarti masih jauh dari Allah Taβala. Siapa yang beribadah kepada Allah karena melihat kebesaran ayat-ayatnya berarti ia sangat bodoh kepada Allah.β
Ucapan itu membuat kedua sufi terdiam dan merenung dalam. Mereka sadar telah mendapat pelajaran berharga. Salah satunya berkata, βSemoga Allah memuliakan si budak hitam itu. Betapa ia telah mencapai makrifat.β
Memahami Makrifat dan Tanda-tandanya
Kisah tadi menjadi pengantar sempurna untuk memahami makrifat. Secara bahasa, makrifat berarti mengenal secara mendalam. Dalam terminologi tasawuf, makrifat adalah metode mengenal Allah SWT. Caranya melalui perenungan atas tanda kekuasaan-Nya di alam semesta.
Menurut hadis riwayat Sayyidina Utsman bin Affan, ada beberapa tanda orang yang mencapai makrifat (maβrifatbillah). pertama adalah hati yang seimbang antara takut dan harap. Orang yang makrifat memiliki rasa khauf (takut) dan rajaβ (harapan) di hatinya. Rasa takut muncul dari kesadaran akan keagungan dan siksa Allah. Hal ini membuatnya menjauhi perbuatan maksiat. Di sisi lain, ia memiliki harapan besar pada rahmat Allah. Ia yakin akan janji indah Allah bagi orang yang taat.
Kedua mata yang menunjukkan rasa Malu dan tangis. Tanda kedua terlihat pada pandangan matanya. Ia memiliki rasa malu yang mendalam kepada Allah. Matanya juga mudah menangis karena penyesalan dan kerinduan kepada Sang Pencipta. Ketiga mampu mengendalikan hawa nafsu. Ciri berikutnya adalah kemampuannya menahan keinginan pribadi. Ia lebih memilih ridha terhadap kehendak Allah SWT. Cintanya kepada Allah mengalahkan segalanya. Ia rela meninggalkan keinginan nafsunya demi meraih cinta Ilahi.
Kisah budak hitam mengajarkan bahwa makrifat sejati bukanlah soal kemampuan menunjukkan keajaiban. Makrifat adalah kondisi batin yang kokoh, tidak goyah oleh dunia, dan hatinya senantiasa terpaut hanya kepada Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.