Khazanah Kisah
Beranda » Berita » Pembebasan Budak di Zaman Rasulullah

Pembebasan Budak di Zaman Rasulullah

pembebasan budak
ilustrasi pembebasan budak di zaman rasulullah

Surau.co. Perbudakan adalah sistem sosial-ekonomi yang telah mengakar dalam masyarakat Arab pra-Islam dan wilayah sekitarnya. Rasulullah Muhammad SAW menghadapi kondisi ini bukan dengan melakukan pembebasan budak secara radikal.

Pada masa pra-Islam, budak diperoleh dari hasil peperangan, perampokan kafilah, penculikan, atau pembelian di pasar budak. Budak tidak memiliki hak hukum, dipandang sebagai properti, dan sering mengalami kekerasan fisik maupun psikis.

Budak pada masa itu berperan dalam pekerjaan domestik, perdagangan, hingga pelayan perang, namun tanpa perlindungan hukum yang layak. Perbedaan ras, suku, dan status ekonomi memperburuk diskriminasi terhadap mereka.

Al-Qur’an terhadap Perbudakan

Al-Qur’an tidak langsung melarang perbudakan karena akan mengguncang stabilitas ekonomi dan sosial yang sangat bergantung padanya. Namun, Al-Qur’an mendorong pembebasan budak sebagai amal kebajikan, penebusan dosa, dan langkah menuju masyarakat yang lebih adil (QS. Al-Balad: 13).

فَكُّ رَقَبَةٍۙ ۝١٣(Itulah upaya) melepaskan perbudakan

Abu Nawas dan Teguran untuk Penguasa

Perintah “fakk raqabah” dalam Al-Qur’an menjadi landasan teologis yang kuat untuk memutus rantai perbudakan. Ayat-ayat tersebut mengarahkan umat Islam untuk memandang budak sebagai manusia penuh martabat, bukan sekadar harta.

Islam menerapkan pendekatan bertahap dalam menghapus perbudakan, dengan memulai dari perbaikan hak dan kondisi hidup budak. Rasulullah SAW menetapkan aturan yang membatasi kekerasan, memberikan hak makanan dan pakaian setara dengan pemilik, serta melarang menyebut budak dengan istilah yang merendahkan.

Dengan pendekatan ini, masyarakat didorong untuk melihat budak sebagai sesama hamba Allah, sehingga proses pembebasan menjadi bagian dari norma sosial baru. Perubahan ini mengurangi resistensi dari mereka yang ekonominya bergantung pada perbudakan.

Rasul Menolak Perbudakan

Rasulullah Muhammad SAW menolak perilaku yang merendahkan budak dan menegaskan kesetaraan derajat di hadapan Allah. Beliau bersabda,

“Budak-budakmu adalah saudaramu, Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaanmu; maka siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberi makan dari apa yang ia makan dan memberi pakaian dari apa yang ia pakai” (HR. Bukhari, Muslim).

Sedekah Sebagai Penolak Bala: Hikmah yang Sering Terlupakan

Dalam kehidupan pribadi, Rasulullah Muhamamd SAW membebaskan banyak budak, termasuk Zaid bin Haritsah yang kemudian menjadi anak angkat beliau. Hal ini menjadi teladan moral bahwa status kemanusiaan lebih tinggi daripada status sosial.

Al-Qur’an menjadikan pembebasan budak sebagai kafarat untuk pelanggaran tertentu, misalnya melanggar sumpah (QS. Al-Mujadilah : 3). Ini menunjukkan bahwa pembebasan budak bukan hanya amal sunnah, tetapi juga bagian dari hukuman syar’i yang mengandung nilai kemanusiaan.

Selain itu, konsep mukatabat (QS. An-Nur : 33) memberi kesempatan bagi budak untuk menebus kebebasannya melalui perjanjian kerja dengan majikan. Mekanisme ini memastikan transisi sosial dan ekonomi yang adil.

“Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu….”

Rasulullah SAW bersabda,

Momen Maulid: Mewujudkan Indonesia Damai dan Sejahtera

“Barang siapa membebaskan seorang budak Muslim, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya dari neraka, sebagai balasan setiap anggota tubuh budak tersebut” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini memperkuat motivasi spiritual untuk memerdekakan budak.

Pembebasan Budak: Mukatabat, Diyat, dan Hadiah

Mukatabat memberi peluang budak menebus dirinya secara bertahap, sambil tetap mendapat perlindungan hukum dari tuannya. Mekanisme ini mencegah eksploitasi berkelanjutan sekaligus mendorong kemandirian ekonomi bagi mantan budak. Pembebasan juga dapat dilakukan sebagai diyat (tebusan) atau hadiah.

Banyak sahabat yang memilih membebaskan budak di bulan-bulan mulia atau setelah peristiwa kemenangan sebagai bentuk syukur. Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam dari Habasyah, mengalami siksaan berat karena memeluk Islam.

Abu Bakar membebaskannya dengan harga yang sangat tinggi, menjadikannya salah satu simbol perlawanan terhadap penindasan. Praktik ini mematahkan tradisi jahiliyah yang menempatkan budak sebagai kasta rendah.

Masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW perlahan mengurangi ketergantungan pada perbudakan. Banyak pemilik yang membebaskan budaknya setelah masuk Islam atau sebagai bagian dari wasiat sebelum wafat.

Meski begitu, beberapa budak masih ada karena sistem ekonomi dan peperangan yang menghasilkan tawanan. Pembebasan budak mengubah status hukum seseorang menjadi mawla (mantan budak yang mendapat perlindungan dari bekas tuannya). Status ini memberikan hak untuk menikah, memiliki harta, dan menjadi warga penuh komunitas Muslim.

Secara ekonomi, pembebasan berarti hilangnya aset bagi pemilik, tetapi menjadi langkah menuju masyarakat yang lebih setara. Beberapa bekas budak bahkan menjadi tokoh penting, pedagang, atau panglima perang.

Sejarawan Muslim maupun Barat mencatat bahwa Islam membawa reformasi signifikan, meski penghapusan total perbudakan baru terjadi berabad-abad kemudian. Perubahan ini membutuhkan konteks sosial-politik global yang lebih luas.

 Teladan Nabi dan sahabat menunjukkan bahwa pembebasan manusia adalah jalan menuju kemuliaan di sisi Allah. Prinsip ini membentuk fondasi moral bagi umat Islam untuk terus menolak segala bentuk perbudakan, baik klasik maupun modern, demi mewujudkan keadilan dan kemanusiaan sejati. *TeddyNs

× Advertisement
× Advertisement